Jumat 24 Oct 2014 15:35 WIB

Menuju Siaran TV Digital

Red:

Kesal dengan tayangan televisi yang kusut dan bikin sakit mata? Jangan khawatir. Ada kabar gembira hal tersebut akan segera berakhir. Sebab, Indonesia sudah mulai memasuki era TV digital. Pasalnya, sistem penyiaran televisi digital ini mampu memancarkan sinyal gambar dan suara yang berkualitas lebih tajam dan jernih dibandingkan siaran analog.

Kualitasnya yang lebih baik itu disebabkan pancaran sinyal digital relatif stabil dan tidak menurun. Dalam sistem ini, siaran TV digital hanya mengenal kondisi diterima atau tidak diterima sinyal sama sekali. Memang konsekuensinya, ketika tidak bisa diterima, gambar akan hilang sama sekali. Namun, selama sinyal bisa diterima, gambar dan suara konten siaran dapat dinikmati dengan kualitas prima.

Sementara, pada siaran TV analog, kualitas sinyal cenderung menurun ketika lokasi penerimaan jauh dari titik transmisi. Inilah yang membuat terkadang gambar tidak jelas atau 'bersemut'.

Hal ini memang bukan termasuk kabar baru. Sudah sejak akhir 2012, infrastruktur pendukung TV digital mulai dibangun. Proses ini dimulai dari Pulau Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Bahkan, Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Ismail Cawidu, mengatakan, sekarang melalui Kominfo, proses migrasi teknologi ini telah menjangkau ke 11 provinsi.

Sementara di luar negeri sendiri, tren ini sudah berjalan sejak awal 2000-an. Bahkan, beberapa negara sudah menghentikan siaran analog, seperti di Jepang, Korea, Eropa Barat, dan Amerika. Tadinya Indonesia sempat menetapkan Analog Switch Off (ASO) pada 2018. Namun, keputusan ini banyak menuai protes. Hingga akhirnya diputuskan untuk menetapkan switch off by natural.

"Artinya, TV analog akan ditiadakan dengan sendirinya sampai semua masyarakat secara alami beralih ke TV digital. Sementara di masa transisi ini, sinyal analog dan digital dipancarkan secara bersamaan yang dikenal dengan simulcast," kata Ismail kepada Republika.

Lalu, apa urgensinya pengalihan tersebut?  Menurut Ismail, pengalihan teknologi dari analog ke digital bukan hanya demi mendapatkan siaran TV yang jernih. Program ini juga bukan sekadar menjaga gengsi. Perubahan teknologi ke digital dibutuhkan negara ini.

Proses migrasi ini karena teknologi analog dianggap boros frekuensi. Padahal, saat ini penggunaan bandwidth semakin meningkat. Jaringan ini sudah digunakan masyarakat luas untuk komunikasi seluler melalui ponsel atau perangkat mobile lainnya.

"Seiring makin banyaknya penggunaan fitur dan aplikasi, digitalisasi diperlukan untuk menata komunikasi di masa yang akan datang. Jika tidak, komunikasi mobile di Indonesia akan mengalami stagnasi," ujarnya.

Dengan digitalisasi televisi, lanjut Ismail, penggunaan frekuensi bisa lebih hemat. Pasalnya, satu channel bisa diisi untuk beberapa program siaran. Bahkan, dengan teknologi terbaru yang dianut Indonesia saat ini, Digital Video Broadcasting Terrestrial generasi ke-2 (DVB-T2), kapasitas bisa lebih banyak. Dengan demikian, migrasi TV analog ke digital adalah sebuah keniscayaan.

Pengamat telekomunikasi dan anggota Dewan Penasihat Komisi Independen Telekomunikasi dan Penyiaran Indonesia (KITPI), Erina Tobing, menjelaskan, pada sistem penyiaran TV analog, satu kanal frekuensi digunakan untuk menyalurkan satu program siaran TV. Sementara pada sistem penyiaran digital DVB-T2, satu kanal frekuensi mampu membawa hingga 12 program siaran.

"Artinya, ada optimalisasi pemanfaatan kanal frekuensi pada sistem digital sehingga penggunaan frekuensi menjadi lebih efisien," katanya menjelaskan.

Menurut Erina, kapasitasnya yang memungkinkan banyak konten membuat siaran digital menjadi lebih personal. Artinya, tiap konten siaran bisa lebih khusus. Penonton lebih bisa memilih konten mana yang paling sesuai dengan kesukaannya. "Ada saluran golf sendiri, sepak bola sendiri, atau khusus saluran masak," ujarnya menambahkan.

Hal tersebut, tuturnya, membawa pada manfaat siaran digital lainnya, khususnya dalam bidang ekonomi. Dengan siaran khusus semacam itu, kreativitas bangsa bisa ikut terpacu. Pasalnya, lembaga penyiaran dipaksa untuk menjadi lebih kreatif menciptakan konten baru. Production house (PH) pun akan makin banyak bermunculan.

Sementara bagi masyarakat luas, mereka mendapat figur dan wadah baru untuk menyalurkan hobinya. Dengan ini, akan muncul banyak kreasi baru, yang akhirnya ekonomi pun menguat. "Kita bisa membangkitkan semangat lewat siaran digital semacam ini," Erina menegaskan.

Untuk bisa menikmati siaran analog, terang Erina, masyarakat tidak harus membeli TV digital. TV analog yang saat ini masih banyak digunakan, bisa menerima siaran itu dengan bantuan perangkat set top box (STB). Perangkat converter tambahan ini adalah alat bantu yang berfungsi mengonversi dan mengompresi sinyal digital. Hasilnya, sinyal digital ini tetap dapat diterima pada pesawat TV analog.

Maka, keberhasilan proses migrasi teknologi ini bisa dikatakan sangat bergantung pada keputusan masyarakat. Pemerintah, menurut Erina, diharapkan dapat mendorong dengan mengambil peran sebagai penerangan maupun fasilitator. Fasilitator di sini dengan memberikan suntikan bantuan bagi mereka yang tidak mampu, sebagaimana yang juga telah dilakukan di AS. N c69 ed: anjar fahmiarto

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement