Rabu 15 Oct 2014 14:00 WIB

Monyet dan Gajah pun Keluar dari Hutan

Red:

Musim kemarau memengaruhi tingkat agresivitas hewan yang berada di kawasan hutan. Beragam laporan serangan hewan muncul dari mulai kera hingga gajah. Konflik dengan manusia pun tak terelakkan. Di Sukoharjo, puluhan tim pasukan relawan dan anggota TNI melakukan pengusiran terhadap kera yang turun ke permukiman penduduk Kecamatan Bulu.

Di Gunung Dempo, Pagar Alam, hewan liar seperti harimau dan rusa juga dilaporkan turun mendekati permukiman warga. Sementara di Kecamatan Jambe, Kabupaten Tangerang, korban gigitan monyet ekor panjang (Macaca Fascicularis) di Banten  mencapai 23 orang sejak Agustus. Sebanyak 17 di antaranya harus dirawat di RSU Balaraja.

Kepala Museum Zoologi Bogoriense Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Rosichon Ubaidillah, menjelaskan kepada Republika, Selasa (14/10),  perilaku hewan saat musim kemarau kerap melakukan migrasi atau bergerak dari satu tempat ke tempat lain.

Migrasi  reguler semacam ini dilakukan karena hewan seperti mamalia atau burung pemakan tidak menemukan pakan mereka di hutan.  Begitu pula kelelawar dan lebah madu bisa bermigrasi ratusan kilometer untuk mencari buah atau sumber nektar. "Hampir semua burung, ikan, mamalia, dan binatang lain sudah biasa migrasi karena situasi tidak sesuai yang diharapkan," kata Rosichon saat dihubungi Republika, Selasa (14/10).

Namun, migrasi satwa di Indonesia juga tak sedikit yang dilakukan secara insidental. Migrasi insidental tersebut disebabkan dua faktor yakni habitat  terganggu dan persediaan makanan sudah tidak ada. Sehingga, satwa mencari lokasi yang nyaman dan persediaan makanan cukup. Rosichon menilai, aktivitas migrasi hewan masuk kampung atau menyerang pertanian warga, tidak sepenuhnya kesalahan binatang. Sebab, satwa melakukan itu untuk mempertahankan populasi agar bisa selamat.

Seperti dalam kasus pembukaan atau alih fungsi lahan. Ketika lahan menyediakan pakan satwa kemudian dibuka menjadi area bisnis dipastikan satwa bergerak ke tempat lain. Rosichon mencontonkan kejadian di Lampung dan Riau. Jalur perlintasan gajah, kata dia, telah dibongkar. "Kalau binatang buas seperti macan atau ular tentu mengganggu masyarakat. Sehingga, yang disalahkan biasanya binatang, padahal sebetulnya manusia yang menggusur binatang," ujarnya.

Ubaidillah mengimbau masyarakat kaki gunung tidak usah terlalu panik. Masyarakat  perlu menanggapi secara arif dan tidak bertindak gegabah seperti langsung membunuh atau mengejar hewan.  Di sisi lain, migrasi hewan juga bisa diartikan sebagai tanda aktivitas gunung yang mau meletus. Suhu gunung menjadi tinggi sehingga para satwa tidak nyaman dan dipastikan turun gunung.

Di Riau,  peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi secara terus-menerus mengancam percepatan punahnya satwa-satwa dilindungi seperti gajah dan harimau.

Humas Organisasi World Wide Fund (WWF) Syamsidar mengatakan, salah satu dampak kebakaran adalah menyempitnya habitat sehingga potensi konflik antara manusia dan satwa dilindungi itu semakin tinggi. Menurut dia, jika penyempitan habitat terjadi secara terus-menerus, maka hewan yang memiliki daya jelajah jauh seperti gajah dan harimau akan keluar.

Syamsidar mengatakan, kebanyakan habitat gajah dan harimau yang sebelumnya merupakan hutan alam, beralih fungsi menjadi kawasan perkebunan dan hutan tanam industri. Hal itu pada akhirnya menyebabkan konflik dengan manusia. "Karena mereka masih menganggap kawasan Hutan Tanaman Industri dan perkebunan yang telah digarap manusia itu masih merupakan kawasan jelajah mereka," katanya.

Kebakaran hutan kerap terjadi selama musim kemarau. Tahun ini, kata Syamsidar, tingkat kematian gajah meningkat tajam seiring dengan maraknya peristiwa kebakaran hutan dan lahan.

WWF menyatakan, sepanjang 2012 hingga 2014 telah ada sebanyak 43 kasus pembunuhan gajah Sumatra liar di Provinsi Riau.  Pada 2012 terdapat 15 kasus. Pada 2014 jumlahnya makin meningkat karena pada kurun Januari-Maret sudah ditemukan 14 kasus pembunuhan terhadap gajah.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Genman S Hasibuan mengatakan, gangguan gajah terhadap areal perkebunan dan permukiman penduduk di sejumlah daerah di Aceh untuk masa-masa mendatang masih sulit dihentikan.

Sebab, katanya, di Banda Aceh, Selasa, hilangnya habitat gajah sudah antara lain akibat aksi perambahan kayu ilegal dan juga pembukaan areal perkebunan, baik yang diusahakan masyarakat maupun perusahaan perkebunan swasta.

"Kawasan hutan produksi yang dulunya cukup luas kini telah ada yang dialihfungsikan, misalnya, untuk areal perkebunan sehingga wilayah itu sebelumnya dijadikan lintasan gajah, kini sudah menjadi kebun-kebun," katanya.

Rosichon menilai, Indonesia perlu meniru Singapura yang meski memiliki lahan cukup sempit tapi dalam pembangunan tetap mempertahankan lahan untuk satwa. Di Singapura terdapat green space area untuk kehidupan satwa. n c87/antara ed: teguh firmansyah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement