Jumat 10 Oct 2014 12:00 WIB

Arsitektur Baru Kebijakan Energi

Red:

Oleh: Elba Damhuri (Wartawan Republika) -- Dalam satu pertemuan para menteri perminyakan di Amerika Serikat (AS), be berapa tahun lalu, Menteri Perminyakan Arab Saudi Ali al-Naimi me nye but zaman keemasan minyak akan ber akhir jauh sebelum minyak di perut bumi habis. Dunia saat ini, kata Ali, menghadapi persoalan serius atas ketersediaan energi fosil yang telah menjadi aktor utama pertumbuhan ekonomi global.

Lembaga-lembaga energi dan ekonomi in ternasional, seperti Agen Energi Internasional (IEA), Negara-Negara Produsen Minyak (OPEC), dan Dana Moneter Internasional (IMF), mengingatkan arti penting reformasi untuk membentuk lanskap atau arsitektur baru energi bagi bangsa-bangsa. IMF pun ikut menyiapkan sejumlah langkah reformasi yang diperlukan, begitu pun lembaga-lembaga lainnya, termasuk Forum Ekonomi Dunia (WEF).

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Soemarsono / Republika

Meksiko dan Iran menjawab ramalan Ali dan peringatan lembaga-lembaga eko nomi ini dengan melakukan perubahan atas kebijakan energi dalam negeri mereka. Meksiko menyiapkan arsitektur baru energi nasional sejak beberapa tahun ini. Pa da Agustus tahun ini, draf reformasi itu di ajukan dalam bentuk rancangan un dangundang untuk disetujui parlemen.

Presiden Meksiko Enrique Pena Nieto mengaku optimistis rancangan arsitektur baru energi ini akan mendorong negerinya berdaulat secara energi dan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. "Kita jelaskan kepada rakyat bahwa ini jalan terbaik yang harus dilalui," kata Pre siden Nieto, beberapa waktu lalu.

Meksiko menghadapi persoalan atas produksi minyak dalam negeri yang terus merosot. Jika pada tahun lalu saja, produksi minyak yang mayoritas dikuasai Petroleos Mexicanos (Pemex), BUMN migas, masih menyentuh angka 3,8 juta barel per hari (bph), maka pada tahun ini hanya tersisa 2,5 juta bph. Presiden Nieto ingin mengembalikan kejayaan produksi Meksiko pada 2018 agar bisa menyentuh tiga juta bph lagi.

Subsidi bahan bakar minyak (BBM) di Meksiko juga tergolong tinggi jauh se be lum reformasi energi diberlakukan. Se belum 2013, subsidi BBM Meksiko rata-ra ta mencapai 19 miliar dolar AS per ta hun atau 1,7 persen dari produk domestik bruto (PDB). Pada akhir 2012, sejalan dengan perubahan kebijakan energi, harga BBM dinaikkan secara bertahap untuk me ngurangi gejolak sosial. Jika pada 2009 harga BBM di Meksiko separuh harga di Amerika Serikat (AS) yang mencapai empat dolar AS per galon, pada tahun ini harga keduanya sudah sama.

Iran kurang lebih melakukan hal yang sama. Kese imbangan fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih produktif mendorong Iran mencabut subsidi BBM secara bertahap. Peningkatan produksi dan pengurangan subsidi BBM men jadi prioritas Iran. Seperti kata man tan presiden Iran Mahmud Ahmadi nejad, Iran tidak ingin menjadi saksi hidup habisnya era keemasan minyak ketika minyak masih berlimpah.

Satu hal yang tidak dilepaskan Iran dan Meksiko bahwa mereka tidak memperlemah peran perusahaan energi milik negara. Pemex dan National Iranian Oil Company (NIOC) diberikan peran besar untuk meningkatkan peran dan produktivitas mereka demi tujuan kesejahteraan rakyat. "Pasar migas memang kita buka, tetapi penguatan perusahaan minyak negara makin kita perkuat agar mereka tetap dominan," kata Presiden Nieto.

Forum Ekonomi Dunia memberikan perhatian besar atas masalah energi global. WEF mengajukan satu kerangka arsitektur baru energi global yang dirangkai dalam kesatuan segitiga energi. Roberto Bocca, kepala Energy Industries Forum Ekonomi Dunia, mengatakan, arsitektur energi diartikan sebagai sistem fisik yang terintegrasi di antara sumber-sumber energi, sistem pendistribusian energi, hingga permintaan pasar. Pemain utama dalam arsitektur baru ini adalah pemerintah, produsen, industri, dan masyarakat.

Tujuan segitiga energi ini, menurut Bocca, untuk mewujudkan tercapainya arsitektur energi yang memiliki tiga sisi. Per tama, me majukan pertumbuhan eko nomi dan pembangunan. di tahap ini, sektor energi ha rus memberikan andil dalam mengangkat pro duktivitas masyarakat. Dengan begitu, pen dapatan rakyat pun terangkat yang ber kolerasi dengan tingkat kesejahteraan mereka.

Bocca menjelaskan, harga energi pun, termasuk minyak, harus menjadi perhatian utama pada fase ini. Ekonomi yang produktif dan tumbuh berkualitas tidak bisa dilakukan jika postur anggaran nasional masih tidak sehat. Selama fiskal negaranegara masih tidak seimbang di mana terlalu banyak pengeluaran untuk hal-hal tidak produktif, sulit mengangkat pereko nomian ke arah yang lebih baik.

Secara teknis, harga bahan bakar di satu negara harus sesuai dengan biaya produksi yang dikeluarkan. WEF menegas kan, kebijakan ini dijalankan agar pasar tidak terdistorsi subsidi yang besar. Pro duser minyak pun, menurut WEF, bisa lebih produktif dengan menanamkan modalnya lebih luas dan membantu sektor-sektor lain bergerak lebih baik.

Dari data OPEC, pada setiap tahun, kebutuhan energi dunia, termasuk minyak dan gas, terus meningkat. Pada tahun ini sa ja, kebutuhan minyak dunia mencapai 80 juta-90 juta bph. OPEC hanya mampu memasok 30 juta bph dari total kebutuhan dunia itu, sisanya diproduksi negara-negara, se perti Rusia, Meksiko, dan lain-lainnya. Kon disi po litik yang buruk di se jum lah wilayah, kata OPEC, ikut memperburuk perdagangan minyak global yang terlihat dari naikturunnya harga minyak secara tidak rasional dalam beberapa kesempatan.

Subsidi bahan bakar minyak pada level internasional pun memprihatinkan. Sub sidi bahan bakar minyak berdasarkan se li sih biaya produksi dan harga jual pada 2013 mencapai 480 miliar dolar AS atau 0,70 persen PDB global dan 2,1 dari persen pendapatan global. Untuk subsidi bahan ba kar minyak dengan memperhitungan pajak terhadap produk BBM, seperti pajak pa da barang-barang lain sebesar 1,90 tri liun dolar AS atau 2,70 persen PDB global dan 8,1 persen dari pendapatan global. Kedua, arsitektur energi harus menjamin keamanan dan ketersediaan energi dengan benar. Suplai energi di beberapa negara menjadi persoalan serius mengingat ketidakstabilan politik dan keamanan yang buruk.

Sisi keamanan energi ini pun, me nurut Bocca, termasuk masalah harga ener gi yang harus stabil dan tidak mendistorsi pasar. Distribusi energi yang buruk akan menyebabkan fluktuasinya harga energi. Ketika sistem dan perdagangan energi glo bal terintegrasi antarnegara, fluktuasi ini akan ikut memberikan guncangan keras ter hadap ketahanan energi negara-negara lain.

Negara-negara yang bergantung pada im por minyak dan menetapkan kebijakan subsidi BBM tinggi akan terkena konflik ini. Ketiga, WEF mengaitkan kedua hal di atas dengan pengurangan secara drastis atas kerusakan lingkungan. Reformasi ener gi harus ramah terhadap lingkungan, mencakup alam, manusia lokal, dan ke bia sa an setempat. Penurunan kualitas ling kungan akan berdampak pada ketidakstabilan pasokan dan produksi energi, apalagi di negara-negara yang secara politik dan sosial kurang stabil.

Kebijakan energi yang baru ini, me nurut WEF, harus mampu mengangkat da ya beli masyarakat, menaikkan pendapat an per kapita, dan mengurangi kemiskinan. Memang, pada satu sisi, harga energi menjadi lebih mahal, namun publik memiliki modal kuat untuk tetap bisa hidup di atas rata-rata. Dalam hal ini, akses publik ter hadap pendidikan, kesehatan, dan transportasi harus lebih mudah, mengingat uang negara bisa dialihkan untuk memperbaiki ini semua.

Pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI) Muslimin Anwar berpendapat, reformasi energi memang merupakan salah satu agenda utama Indonesia. Ketahanan energi tidak akan bisa diwujudkan jika karutmarut kebijakan energi seperti seka rang ini tidak dibenahi. Ba nyak resep reformasi energi yang telah diajukan para pakar di Indonesia mau pun kajian-kajian yang sudah dila kukan lem bagalem baga internasio nal, seperti WEF, IMF, dan OPEC.

Prospek ekonomi Indonesia bisa meningkat apabila prakondisi kebijakan un tuk mendukung kenaikan produktivitas dan daya saing do mes tik terpe nuhi. "Ini ma salah struktur pembiayaan pada APBN ki ta, misalnya, yang masih memberikan porsi besar terhadap subsidi BBM," kata Muslimin.

Indonesia jelas memerlukan aristektur atau lanskap kebijakan energi yang prorak yat, propertumbuhan, dan prolingkungan. Hal ini, jelas Muslimin, tidak bisa terwujud de ngan baik jika beban subsidi BBM masih ting gi, jauh di atas biaya pembangunan, bia ya kesehatan, dan dana pendidikan di APBN. Seperti kata Ahmadinejad dan eks bos minyak Saudi, jangan sampai Indonesia terbenam dalam bobroknya tata kelola migas nasional ketika era keemasan minyak akan berakhir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement