Jumat 10 Oct 2014 12:00 WIB

Reformasi Energi Cara IMF

Red:

Oleh: Elba Damhuri -- Diskusi tentang dampak dan implikasi subsidi energi di banyak negara mengemuka pada setiap pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (IMF). Pada pertemuan tahun lalu dan tahun ini yang digelar di Washington, Amerika Serikat (AS), dua kali setahun, perdebatan mengemuka antara pemimpin negara yang prosubsidi dan mereka yang melihat subsidi sebagai penyakit kronis dalam ekonomi bangsa.

Negara-negara di Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Timur Tengah ma suk kategori pemberi subsidi energi terbesar dibandingkan di negara-ne gara di AS, Eropa, dan Australia. Alasan stabilitas politik dan sosial menjadi faktor pemicu digelontorkannya uang ratusan miliar dolar AS itu untuk subsidi minyak, listrik, dan gas.

Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde telah mengingatkan negarane gara Arab untuk memangkas subsidi mi nyak dan energinya secara konsisten. Dengan total subsidi seluruh ne gara Arab mencapai 237 miliar dolar AS, La garde menilai kebijakan itu tidak akan me nolong pembukaan lapangan kerja ba ru. Apalagi, rata-rata pertumbuhan Ne geri Teluk ini hanya tiga persen per tahun.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Republika/Edwin Dwi Putranto

Pekerja tambang beraktivitas di area pengeboran minyak dan gas (migas) Selong I di Blok Lemang, Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi.

Ironisnya, Lagarda menyebut defisit anggaran sebagian negara Arab ini ditutup dari utang luar negeri yang ber dampak pada ketidakstabilan eko nomi nasional. Ia meminta negara-negara Arab untuk berani melakukan reformasi dan menghilangkan ketakutanke takutan jika menaikkan harga mi nyak. Sebaliknya, bagi negara-negara prosubsidi, termasuk Arab, yang belum lama mengalami "Musim Semi", mitosmitos politik-sosiallah yang menghambat pencabutan subsidi direalisasikan.

Mitos-mitos ini atau dalam bahasa Wakil Direktur Pelaksana IMF David Lipton, "kesulitan-kesulitan", ini mun cul karena adanya ketakutan-ketakutan atas tingginya harga bahan bakar minyak yang mendorong protes publik.

Mitos atau kesulitan pertama, IMF menyebut adanya pikiran kuat dari para pemegang kebijakan energi bahwa rak yat tidak mendukung reformasi subsidi. Pemerintah pun menjadi tidak berani melakukan reformasi, yang me nurut IMF, sebetulnya memiliki dam pak jauh positif bagi kebanyakan rakyat. "Refor masi menghemat ang garan negara yang bisa dikompensasi bagi kaum miskin dan kelas menengah," kata Lipton.

Kesulitan kedua terkait dengan sikap negara-negara produser minyak un tuk membagi-bagi keuntungan sum ber daya alam kepada rakyat mereka. Kebanyak an produser minyak ini berbagi keuntungan itu dengan menyediakan energi murah dengan mena nam kan subsidi besar. IMF tidak me lihat keberanian pemerintah untuk mengalihkan nilai uang untuk subsidi itu untuk programprogram sosial yang lebih tepat sasaran.

Ketiga, menurut Lipton, banyak pemerintah ketakutan atas kenaikan inflasi jika subsidi bahan bakar minyak dicabut. Tingginya harga minyak juga dikhawatirkan akan mengurangi ke mam puan daya saing mereka di tingkat global sehingga berdampak buruk terhadap perekonomian dan produktivitas.

Langkah reformasi

Dari pengalaman sejumlah negara yang melakukan reformasi kebijakan energi, IMF mencatat banyak manfaat yang bisa diambil. Secara makro, kata Lipton, reformasi subsidi energi dapat menuntun pada efisiensi alokasi sum ber daya alam yang dengan ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi untuk jangka panjang.

Pengurangan atau penghapusan subsidi energi akan memperkuat insentif untuk penelitian dan pengembangan energi ramah lingkungan dan teknologi. Energi hijau, murah, dan ramah tidak lagi sebatas berakhir pada wacana, tetapi bisa diimplementasikan dengan benar. Di sini, menurut IMF, bauran pemanfaatan energi menjadi sangat penting yang harus direalisasikan negara-negara.

Beban fiskal yang tinggi pada ang gar an belanja negara, Lipton meng ung kapkan, berdampak buruk terha dap investasi sektor energi itu sendiri. Perusahaan-perusahaan migas tidak memiliki hasrat tinggi untuk mena namkan modalnya untuk ekspansi atau eksplorasi jika harga energi yang dijual murah. Pemerintah pun kesulitan me ng alokasikan dana untuk pem bangun an infrastruktur, proyek-proyek yang membuka lapangan kerja, hingga perbaikan kualitas pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial.

"Yang terpenting, penikmat subsidi energi kebanyakan bukan rakyat mis kin," kata Lipton. Kaum menengah lebih banyak menikmati subsidi. IMF mene gas kan kelompok ini tidak layak mendapat subsidi mengingat masih banyak hal yang harus dilakukan pe merintahpemerintah untuk meningkatkan pendapatan kaum miskin, mengurangi pe ng angguran, dan mengatasi kemiskinan.

Sebagai tambahan, Lipton meng gambarkan dampak lingkungan akibat tingginya pemakaian bahan bakar mi nyak yang berlebihan akibat terlalu mu rah harganya. Ia menyatakan, per ubahan iklim makin cepat terjadi dan po lusi semakin membahayakan manusia. IMF pun memberikan sejumlah resep reformasi subsidi energi. Intinya, kata Lagarde, keberhasilan reformasi subsidi energi tidak terletak pada satu resep tertentu. IMF memberikan re komendasi rencana reformasi subsidi bahan bakar minyak dan energi.

Pertama, reformasi sektor energi harus dilakukan secara komprehensif dengan tujuan jangka panjang. Analisis atas dampak reformasi energi menjadi bagian penting dari langkah ini. Pe merintah harus membuat tujuan jangka panjang yang ingin dicapai, seperti capaian pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran, hingga pembukaan lapangan kerja baru.

Kedua, pemerintah harus menggelar komunikasi dan konsultasi yang ekstensif dan terbuka dengan para pe mangku kepentingan. Hal ini mencakup informasi tentang besaran subsidi dan bagaimana kebijakan ini akan meme nga ruhi anggaran negara. Pemangku kepentingan menjadi paham secara detail tentang kondisi anggaran dan beban fiskal yang berat sebelah.

Ketiga, pemerintah harus berani menaikkan harga bahan bakar minyak secara gradual dalam jangka waktu tertentu. Kenaikan harga bahan bakar minyak ini dilakukan secara periodik berdasarkan capaian yang ingin diraih dalam jangka panjang. Kenaikan bertahap jauh lebih baik dibandingkan dengan kenaikan secara revolusioner meski di beberapa negara mulus dijalankan, seperti di Iran.

Keempat, penguatan perusahaan energi milik negara menjadi sesuatu yang sangat penting. BUMN energi harus profesional, efisien, dan memberikan implikasi positif bagi produktivitas per ekonomian nasional. BUMN yang sehat akan mengurangi subsidi energi pada tingkat produser migas. Untuk Indonesia, BUMN energi tidak boleh lagi di be bankan mengurus bahan bakar mi nyak subsidi, baik dalam per dagang an, penyediaan, maupun transaksi lainnya.

Kelima, program sosial harus dige rakkan, termasuk pemberian transfer uang kepada kaum miskin dalam pe riode tertentu. Program-program so sial bisa juga dalam bentuk lain seperti yang dilakukan beberapa ne gara, seperti menyediakan makanan siang dan malam di wilayah tertentu.

Reformasi lembaga yang mutlak dilakukan untuk menghindari politisasi harga energi yang merupakan langkah keenam reformasi energi IMF. Poli tisasi menjadi penghambat utama reformasi subsidi, namun bisa diatasi dengan hadirnya lembaga pemerintah yang bersih dan terbuka. Dengan be gitu, nuansa politik menjadi meredup. Christine Lagarde mengingatkan setiap negara memiliki gaya reformasi yang berbeda-beda, namun tetap bisa mengacu pada rekomendasi IMF di atas. "Tak ada satu rumus pasti untuk reformasi subsidi," kata Lagarde.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement