Kamis 09 Oct 2014 14:00 WIB
Nostalgia

‘Markas PBB’ Jadi Gedung Parlemen

Red:

Di Gedung DPR/MPR/DPD atau Gedung Parlemen Senayan pada Selasa (7/10) berlangsung sidang DPR/MPR/DPD untuk memilih dan melantik pimpinannya periode lima tahun mendatang. Gedung yang terletak berdekatan dengan Stadion Gelora Bung Karno di Jalan Gatot Subroto itu dibangun sejak Maret 1965.

Pembangunannya diawali dengan memasang tiang pancang pada 19 April 1965 yang bertepatan dengan peringatan satu dasawarsa Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955.

Bung Karno saat itu sedang berkonfrontasi dengan PBB dan selalu menyerang organisasi dunia ini sebagai antek imperialis. Beliau berupaya agar acara pemancangan tiang itu dilakukan semeriah mungkin. Maksudnya agar dunia mengikuti peristiwa tersebut.

Karena itu, sejumlah kepala negara hadir, termasuk Pangeran Norodom Sihanouk dari Kamboja, Perdana Menteri Chou En Lai dari Tiongkok, Kim Il Sung dari Korea Utara, dan sejumlah kepala negara dari Asia-Afrika. Mereka merupakan tokoh dunia ketiga yang sejalan dengan Bung Karno agar Markas PBB dipindahkan ke Jakarta dari New York, Amerika Serikat.

Indonesia sendiri pada 1 Januari 1965 menyatakan keluar dari keanggotaan PBB karena Malaysia yang oleh Bung Karno disebut proyek nekolim buatan Inggris oleh PBB justru ditetapkan sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK) PBB.

Kebencian Bung Karno terhadap PBB disebabkan organisasi dunia ini dinilai tidak adil dan memihak negara-negara nekolim. Sebagai contoh, ia menyebut PBB dalam perjuangannya justru menguntungkan Israel dan merugikan perjuangan bangsa-bangsa Arab. Serangan Bung Karno terhadap PBB, terutama sejak Dekrit 5 Juli 1957 dan berlangsung terus jelang akhir-akhir masa jabatannya

Ketika keluar dari PBB, Bung Karno mengumumkannya di depan rapat raksasa di Gelora Bung Karno yang dihadiri ratusan ribu rakyat yang menyambutnya dengan hangat dan meriah. Di depan massa inilah Bung Karno mengancam akan memindahkan markas PBB ke Jakarta hingga ia membangun kompleks DPR/MPR (saat itu).

Ia akan mengganti PBB dengan Conefo (Conference of the New Emerging Forces). Bung Karno ketika itu membagi dunia dalam dua kubu: negara dengan kekuatan baru (Nefos) dan negara dengan kekuatan lama (Oldefos). Waktu itu ia meyakinkan kekuatan Nefos yang akan menang dan kekuatan Oldefos yang terdiri atas negara-negara impealis akan kalah.

Sayangnya, gedung Conefo yang akan menjadi markas PBB itu pembangunannya terhenti cukup lama. Penghentian pembangunannya akibat meletusnya peristiwa G30S/PKI.

Tahun 1968, pada masa Presiden Soeharto, dengan resmi gedung Conefo menjadi Gedung DPR/MPR. Pada 1970 dibangun gedung Sekretariat Jenderal DPR/MPR beserta sarana lainnya.

Hasil pemilu 1971, presiden dan wakil presiden dilantik di gedung ini. Akhirnya, gedung tersebut sampai sekarang dipakai untuk pelantikan Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilu. Jadi, kemungkinan presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) akan dilantik di tempat ini.

Luas bangunan seluruh kompleksnya kurang lebih 80 ribu meter persegi yang berdiri di atas lahan seluas kurang lebih 60 hektare (ha). Selain itu, bangunan yang ada pada saat ini, yakni gedung utama, gedung perkantoran, gedung auditorium, gedung komisi, pustakaloka, dan gedung sekretariat.

Gedung utama merupakan suatu bangunan berbentuk kubah yang menurut perencananya melambangkan dinamika. Kubah terdiri atas dua bagian dengan diikat oleh balok dengan bentuk setengah lingkaran yang melambangkan kepakan sayap burung yang akan lepas landas. Kubah tersebut terbuat dari bahan beton bertulang.

Gedung utama yang merupakan tempat berlangsungnya rapat-rapat memiliki sebuah ruang rapat paripurna dan lima ruang rapat lain. Ruang masuk gedung utama ini terletak di lantai dasar. Di ruang ini terdapat sebuah kolam air mancur kecil, hadiah dari Ratu Juliana dari Belanda. Ruang tersebut dipergunakan untuk upacara persemayaman dan pelepasan jenazah anggota DPR/MPR yang meninggal dunia. rep:alwi shahab ed: dewi mardiani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement