Selasa 07 Oct 2014 16:00 WIB
Catatan Asian Games

Jangan Saling Menyalahkan!

Red:

Oleh: Fernan Rahadi (wartawan Republika) - Jangan saling menyalahkan. Setidaknya itulah salah satu pesan moral yang mengiringi kepulangan kontingen Indonesia dari perhelatan Asian Games ke-17 Incheon, Korea Selatan, 20 September sampai 4 Oktober lalu. Tim Merah Putih memang gagal memenuhi target yang dicanangkan sejak awal setelah hanya menggondol empat emas, lima perak, dan 11 perunggu.

Peringkat ke-17 pada klasemen akhir tentunya jauh dari harapan pemerintah sebelumnya yang menargetkan Indonesia masuk ke peringkat 10 besar dengan setidaknya mendapatkan sembilan medali emas. Raihan kemarin memang bisa dibilang menurun mengingat empat tahun lalu pada Asian Games ke-16 di Guangzhou, Cina, kontingen Indonesia berada di peringkat ke-15.

Target yang dibebankan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), memang bisa dibilang terlalu berat mengingat empat tahun lalu saja keempat emas yang diraih Indonesia hanya berasal dari dua cabang, yakni perahu naga (tiga emas) dan bulu tangkis (satu emas).

Oleh karena itu, raihan yang diperoleh kontingen Indonesia di Incheon sebenarnya tak jelek-jelek amat meskipun juga tidak bisa disebut sebuah hasil yang bagus. Empat emas yang diperoleh Indonesia berasal dari tiga cabang yang berbeda, yakni bulu tangkis (dua emas), wushu (satu emas), dan atletik (satu emas).

Namun, juga bukan hal yang bijak jika Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) langsung mengeluarkan pernyataan menyalahkan pemerintah melihat hasil yang diperoleh atlet-atlet Indonesia dari Incheon. KONI beralasan, berbagai program yang dirancang sebagai persiapan menuju Asian Games ke-17 tidak mendapatkan dukungan yang memadai dari pemerintah.

Persoalan minimnya anggaran, waktu persiapan yang mepet, keterbatasan sarana-prasarana, dan sedikitnya uji coba seolah menjadi alasan klise tiap Indonesia menuai kegagalan tiap mengikuti multievent terhitung dalam sepuluh tahun terakhir ini. Oleh karena itu, sudah seharusnya KONI tidak mengungkapkan excuse seperti itu mengingat publik sudah bisa menilai sendiri kinerja mereka selama ini.

Apalagi, Jakarta sudah dipastikan akan menjadi tuan rumah pada perhelatan Asian Games empat tahun mendatang. Ini akan menjadi pertama kalinya Indonesia menggelar multievent terbesar se-Asia itu sejak 1962. Jika alasan-alasan yang diungkapkan KONI seperti di atas kembali muncul, hal itu sama saja dengan mencoreng muka Indonesia di negara sendiri.

Kemenpora dan pemangku kepentingan lain, seperti KONI dan Komite Olimpiade Indonesia (KOI), sudah sepantasnya untuk melakukan evaluasi diri terkait hasil yang diperoleh Indonesia dalam beberapa multievent terakhir. Asian Games ke-17 lalu hanyalah klimaks dari kegagalan-kegagalan sebelumnya seperti SEA Games 2013 di Myanmar di mana Indonesia hanya berada di peringkat keempat, serta di Olimpiade 2012 di mana Indonesia gagal mempertahankan tradisi medali emas.

Keinginan pemerintah menyeleksi cabang-cabang untuk mengikuti multievent-multievent selanjutnya tidak boleh sekadar menjadi lip service belaka. Sudah semestinya cabang-cabang yang dikirimkan ke SEA Games, Asian Games, atau Olimpiade adalah cabang-cabang yang berpotensi meraih medali, bukan yang hanya menjadi pemanis belaka.

Cabang bulu tangkis, yang sudah membuktikan sebagai lumbung medali Indonesia selama puluhan tahun, sudah selayaknya diprioritaskan. Apalagi, di Incheon cabang ini mampu menyumbangkan dua emas, satu perak, dan satu perunggu, terbanyak dibandingkan cabang-cabang lain. Selain itu, cabang-cabang seperti wushu, angkat berat, boling, dan sepak takraw yang memperlihatkan prestasi stabil dalam beberapa tahun belakangan ini juga layak dikedepankan.

Terakhir, persoalan dualisme KONI dan KOI harus segera dicari jalan keluarnya. Hal itu disebabkan persoalan tersebut sudah menjadi hal yang kontraproduktif dengan prestasi para atlet Indonesia tiap diselenggarakannya multievent beberapa tahun belakangan ini. Bahkan, persoalan dualisme tersebut mendapatkan kritikan tajam dari atlet berkuda yang meraih perunggu di Incheon lalu, Larasati Gading.

Selama tidak ada koordinasi yang berkesinambungan antara para pemangku kepentingan olahraga di Tanah Air, maka selama itu pula prestasi olahraga kita jalan di tempat. Jangan harap pula atlet-atlet Indonesia berprestasi maksimal saat menjadi tuan rumah empat tahun mendatang. Yang ada ujung-ujungnya barangkali hanyalah aksi saling salah-menyalahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement