Jumat 03 Oct 2014 16:00 WIB

Ayo Lestarikan Bahasa Daerah

Red:

Bahasa-bahasa yang tersebar di sejumlah negara di dunia perlu dilestarikan agar terhindar dari ancaman kepunahan. Dari total 2.303 bahasa di Asia, sekitar 879 bahasa terancam atau hampir punah. Terancam dalam arti bahasa tersebut dikuasai orang tua, tapi tidak diajarkan kepada anak-anak mereka. Hampir punah dalam arti orang tua tidak menggunakan bahasa tersebut. Di Indonesia, dari 706 bahasa, ada 330 bahasa yang terancam atau hampir punah.

Pakar Pendidikan Sheldon Shaeffer mengatakan, bahasa daerah atau bahasa ibu perlu digunakan dalam dunia pendidikan agar tetap lestari. Menurutnya, dunia pendidikan memegang peranan penting untuk kelestarian budaya daerah. Bahasa daerah yang aktif digunakan sebagai pengantar di sekolah berpotensi bisa terus hidup.

Penggunaan bahasa daerah  juga mampu membantu anak didik lebih memahami pelajaran yang diterima di sekolah. Pasalnya, di berbagai daerah tidak semua siswa mampu berbahasa Indonesia. Alhasil, penggunaan bahasa daerah di sekolah memiliki dua sisi positif. Di satu sisi, akan melestarikan bahasa, di sisi lain akan meningkatkan pemahaman siswa terhadap pelajaran yang diterima di sekolah.

Kebanyakan anak di daerah belum bisa berbahasa Indonesia. Kalau guru memaksa mereka menggunakan bahasa Indonesia, akan sulit. "Tapi jika pengantar menggunakan bahasa daerah, orang tua mereka bisa membantu mengajarkan di rumah," kata Sheldon.

Ia menyayangkan sistem pendidikan di Indonesia tidak menggunakan bahasa adat sebagai pengantar. Sekolah-sekolah tidak menggunakan bahasa ibu sehingga para siswa tidak mengenal bahasa ibu mereka.

Sheldon mengatakan penting bagi guru untuk memahami fase belajar yang disesuaikan dengan perkembangan anak dalam berbahasa. Jika dalam kehidupan sehari-hari mereka biasa mendapatkan bahasa ibu maka hendaknya digunakan pula dalam pengantar di sekolah. Saat ini ia melihat masih banyak anak di pelosok nusantara yang menghadapi kendala dalam memahami pelajaran dan akhirnya prestasi belajar mereka tidak optimal.

Hasil survei yang dilakukan oleh Southeast Asian Minister of Education Organization Regional Centre of Quality Improvement of Teacher and Education Personal (SEAMO QITEP) in Language menunjukkan penggunaan bahasa daerah perlu dikembangkan oleh Pemerintah Indonesia, terutama di wilayah pelosok di Indonesia.

Direktur SEAMO QITEP Felicia Nuradi Utorodewo mengatakan bahwa program pendidikan multibahasa berbasis bahasa ibu memfokuskan daerah menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar yang selanjutnya menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar.

Felicia mengatakan bahwa idealnya pada kelas 4 SD barulah para guru menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di dalam kelas. Hal ini pula yang dilakukan di beberapa negara, seperti Filipina, Thailand, dan Kamboja. Negara tersebut mendapatkan dukungan dari kementerian pendidikan setempat dan UNESCO. Mereka menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar hingga kelas 3 SD. "Dari kelas 1-3 siswa diajarkan bahasa ibu, setelah itu kemudian bahasa kedua," ujarnya.

Belum berpihak

Staf pengajar Universitas Lambung Mangkurat Jumadi mengatakan bahwa Kurikulum 2013 belum berpihak pada penggunaan bahasa daerah. Meski ada mata pelajaran muatan lokal alias mulok yang wajib diajarkan di sekolah, tidak semua sekolah mengajarkan bahasa daerah untuk kegaiatan mulok. Ada sekolah-sekolah yang berinisiatif untuk mengajarkan pelajaran membatik atau seni budaya daerah sebagai mulok. Hal ini, menurutnya, mengurangi potensi penggunaan bahasa daerah di sekolah meskipun tidak ada salahnya juga sekolah mengajarkan seni budaya daerah. Muatan lokal memang memberikan kebebasan bagi sekolah untuk menentukan apa yang akan diajarkan. "Yang suka membatik, sekolah akan memilih membatik sebagai mulok," katanya.

Hal serupa juga dikemukakan Staf Ahli Dinas Pendidikan, Pemuda dan  Olahraga Provinsi Bali I Wayan Widana. Ia mengatakan bahwa penggunaan bahasa daerah cukup menemui banyak hambatan. Di Bali misalnya, masyarakatnya lebih tertarik menggunakan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut bukan tanpa alasan lantaran bahasa Inggris dinilai bisa mendatangkan uang. Padahal, bahasa Bali juga erat berkaitan dengan budaya dan ritual agama Hindu.

Staf  pengajar Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Udjang Basir mengungkapkan penggunaan bahasa daerah di Jawa Timur tak bisa lepas dari dukungan pemerintah. Bersama para guru bahasa daerah, wilayah Surabaya akhirnya bisa meng-goal-kan penggunaan bahasa daerah sebagai mulok yang wajib diterapkan di semua sekolah di Jawa Timur. Dengan instruksi dari gubernur, ternyata penggunaan bahasa daerah bisa dimasifkan di lingkungan sekolah.

Hal serupa juga dilakukan di Papua. Ketua PGRI Papua Nomensen ST Mambraku mengatakan, di Papua kini diupayakan makin memopulerkan bahasa daerah. Wilayah paling timur Indonesia ini memiliki lebih dari seratus bahasa daerah. Menurutnya, bahasa daerah sangat membantu dalam kegiatan belajar mengajar lantaran anak-anak lebih akrab dengan bahasa mereka sehari-hari. Jika tidak digunakan di sekolah, ia juga khawatir bahasa Papua akan hilang.

Meski demikian bahasa merupakan budaya yang tak cukup diajarkan di sekolah saja. Kepala Pusat Penelitian kebijakan (Puslitjak) Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Bambang Indsriyanto, mengatakan selain sekolah, komunitas di daerah juga perlu mendukung agar bahasa daerah bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. rep:dwi murdaningsih ed: hiru muhammad

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement