Rabu 01 Oct 2014 16:00 WIB

Pelayanan Saudi Dinilai Buruk

Red:

JAKARTA - Setiap kali penyelenggaraan ibadah haji, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama (Kemenag) harus melakukan kerja sama dengan pihak Arab Saudi. Namun, dari kerja sama yang berlangsung setiap tahun itu, pemerintah menilai etiket pihak Arab Saudi buruk. Hal itu mengingat praktik wanprestasi dari pihak Saudi yang berulang setiap tahunnya.

''Mereka menganggap jamaah Indonesia akan menerima saja kalau dilayani dengan jelek sekalipun,'' kata Inspektur Jenderal Kemenag M Jasin kepada Republika, Selasa (30/9). Kerja sama tersebut di antaranya dalam hal penyediaan sewa pemondokan, transportasi, pelayanan katering, maupun kerja sama dalam pelayanan jamaah lainnya.

Ia mengatakan, dari kerja sama dengan pihak Saudi Arabia kerap timbul permasalahan pelanggaran isi kontrak yang melibatkan banyak penyedia pemondokan, katering, dan transportasi. Jasin mengatakan, selalu saja setiap tahun mereka tidak taat dengan kesepakatan yang tertulis dalam kontrak. Contoh konkretnya, soal isi kontrak sewa perumahan di Madinah yang dilanggar para majmuah.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Natalia Endah Hapsari/Republika

Pelayanan kesehatan di Saudi Arabia.

Pelayanan yang buruk juga terjadi sejak jamaah mulai datang di bandara. Kemudian, berlanjut dengan pelayanan lainnya seperti transportasi dan penyediaan prasarana di Armina. "Mereka diduga mengganggap jamaah hajilah yang butuh,'' ujarnya.

Pelanggaran perjanjian dilakukan juga oleh Majmuah yang tidak menepati perjanjian untuk menempatkan jamaah Indonesia di dalam area Markaziah. Demikian pula masalah katering dan transportasi.

Dalam beragam kasus, Jasin mengatakan, wanprestasi selalu saja terjadi. Jasin menilai, hal tersebut disebabkan Arab Saudi yang tidak berhasrat memberikan layanan prima terhadap jamaah haji. Namun, bila ada tuntutan hukum dari Pemerintah Indonesia, pihak Arab yang selalu dimenangkan di pengadilan. 

Semetara dari pihak Indonesia, Jasin menjelaskan, permasalahan muncul karena keberagaman jamaah dari berbagai aspek. Dari aspek pendidikan, misalnya, mayoritas jamaah Indonesia lulusan SD dan tidak lulus SD, atau bahkan tidak sekolah.

Di samping itu, kebanyakan dari para jamaah tidak bisa berbahasa Indonesia, bahkan sebagian lainnya tidak bisa baca tulis. Aspek usia pun menjadi hal yang patut diperhatikan karena lebih dari 40 persen jamaah Indonesia berusia lanjut, yakni berusia 75 tahun ke atas. Belum lagi mereka berada dalam situasi berisiko tinggi dalam hal kesehatan.

Menurutnya, kasus-kasus semacam itu muncul setiap tahun karena orang Indonesia rata-rata baru mampu membayar biaya haji dari hasil menabung di usia yang sudah lanjut. Makanya, Jasin mengatakan, mengatur jamaah dengan karakterisktik seperti itu butuh kesabaran yang tinggi dari para petugas. "Banyak yang tersesat jalan karena tidak bisa baca dan hambatan komunikasi," ujarnya. 

Sementara dari aspek petugas haji, terdapat kompetensi dan keikhlasan yang beragam dalam melayani jamaah. Terlebih, para petugas ini setiap tahunnya berganti. Di Tanah Suci, bahkan banyak diisi oleh tenaga musiman.

rep:c78 ed: andi nur aminah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement