Jumat 19 Sep 2014 13:00 WIB
Sudut Pandang

Ada Sawit ada Asap

Red:

Saya bertemu dengan Zaenal (60 tahun), warga Dusun Sungai Kuning, Kecamatan Tandun, Rokan Hulu, Riau, 27 Juni 2013. Seperti saat ini, kala itu Riau tengah didera aneka kebakaran lahan dan hutan.

Saya dan Zaenal hari itu berdiri di atas tanah yang menghitam, asap mengepul, dikelilingi sepetik dua petik nyala api yang enggan padam di sana-sini. Tempat kami berdiri masuk wilayah Hutan Lindung Suligi. Tapi di sekeliling kami, lahan sawit terbentang luas sekali.

Zaenal ingat, tak selalu begitu keadaannya. Dahulu, hutan lindung itu rimbun dengan aneka satwa yang kini terancam punah. Sejak dua dekade lalu, keadaan berubah. Lahan sawit merambah dan wilayah hutan lindung tinggal secuil. Harimau mati, rusa kian sukar diburu.

Tangan Zaenal kemudian memindai lahan sawit. Ia menjelaskan siapa saja pemilik lahan tersebut. Sebagian adalah pejabat dari luar daerah, sebagian warga sekitar. Hasil dari lahan itu, dipanen dan disalurkan ke perusahaan pengolahan tak jauh dari Sungai Kuning.

Jika kita menilik noktah-noktah di Indonesia tempat kebakaran hutan terjadi belakangan, ada satu persamaan dari berbagai daerah tersebut yang sukar diabaikan. Masing-masing daerah punya lahan sawit yang luasnya signifikan.

Ada korelasi juga antara luas kebakaran dan luas kebun sawit di daerah-daerah tertentu. Di Riau, misalnya, luas lahan yang terbakar dan berhasil dipadamkan sekira 2.800 hektare, sementara luas lahan sawit di daerah itu lebih dari dua juta hektare.

Di Kalimantan Tengah, di mana kebakaran tercatat di 861 hektare lahan, luas lahan sawitnya sekira 269 ribu hektare. Kalimantan Barat, di mana api menghanguskan sekira 818 hektare lahan, luas kebun sawitnya kira-kira 450 ribu hektare. Semakin luas lahan sawit, semakin luas juga area yang terbakar.

Produksi sawit dinilai berkontribusi signifikan terhadap ekonomi kita. Ia juga menjanjikan keuntungan berlimpah bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.

Hal itu kemudian memicu perluasan lahan yang masif juga. Perluasan lahan tersebut tak sepenuhnya untuk keuntungan dalam negeri. Menurut pendataan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), setidaknya 25 persen kebun sawit di Indonesia milik perusahaan dari negeri jiran Malaysia.

Dan sukar dimungkiri, perluasan lahannya yang demikian lekas memperbesar juga wilayah yang mesti diawasi. Ujung-ujungnya, ia menyisakan celah-celah pengawasan.

Hal itu yang kemudian dimanfaatkan oleh pembakar, baik dari pihak warga maupun perusahaan. Karena membakar lahan untuk membuka kebun baru atau memperbaharui tanah yang akan ditanami sejauh ini adalah cara yang paling murah.

Menurut saya, dari aneka fakta dan data di atas, kesimpulannya mudah saja. Kebakaran lahan dan hutan yang kini rajin terjadi tiap tahun punya kaitan erat dengan perluasan lahan sawit yang tak terkendali dan tak terawasi. Perluasan lahan sawit adalah petik api yang memantik kian rawannya kebakaran lahan dan hutan.

Solusi sederhananya, pemerintah bisa mengupayakan pengendalian laju perluasan lahan sawit, setidaknya hingga bisa menyediakan pengawasan yang memadai. Acara kongkalikong antara pengusaha dan pemerintah pusat serta daerah untuk memberikan izin pembukaan lahan sawit juga mesti dihabisi.

Saya mafhum, menuliskan hal itu jauh lebih mudah dari melaksanakannya, tapi ia mau tak mau harus diupayakan. Bukan hanya untuk mengurangi tingkat kebakaran hutan tiap tahun, tapi juga untuk menjamin negara kita ke depannya masih punya hutan.

  

Fitriyan Zamzami

[email protected]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement