Kamis 18 Sep 2014 12:00 WIB

Bom Waktu Kesetaraan Gender

Red:

Pada 11 September 2014 se jumlah aktivis dan organisasi Muslimah ber kumpul di sebuah tempat di Jakarta. Mereka mera sa terpanggil untuk me nyi kapi sikap DPR yang sepekan sebe lumnya (3/9) meloloskan RUU Keseta raan dan Keadilan Gender (KKG) untuk dibahas di Komisi VIII DPR. Beberapa tahun sebelumnya, RUU KKG sudah memicu kontroversi hebat. Puluhan or ganisasi, khususnya Organisasi Mus limah, menolak keras pengesahan RUU KKG yang dinilai sangat sekuler dan merusak tatanan rumah tangga dan ma syarakat Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Dokrep

Sebenarnya, setelah menerima ma sukan dari berbagai kalangan masya rakat, RUU KKG yang baru ini sudah mengalami perkembangan yang luma yan. Yang mencolok adalah dimasuk kannya asas agama pada urutan pertama (pasal 2). Masalahnya, dari sisi filosofis, istilah "gender" masih dimaknai secara sekuler. Pembedaan peran laki-laki dan perempuan dipandang semata-mata sebagai produk konstruksi sosial dan budaya.

Tentu saja, dalam pandangan Islam itu keliru. Sebab, pembeda peran antara laki-laki dan perempuan dalam Islam, utamanya ditentukan wahyu. Tanggung jawab laki-laki sebagai "imam" keluarga dan pencari nafkah, bukan ditentukan budaya Arab, melainkan dari wahyu yang dicontohkan Rasulullah SAW. Begitu juga kewajiban mencari ilmu bagi laki-laki dan perempuan, bukan ditentukan budaya, melainkan wahyu Allah.

Perspektif RUU KKG yang baru juga masih menempatkan perempuan sebagai makhluk individu. Padahal, seharusnya pemerintah dan DPR lebih memprioritaskan program pemberdayaan keluarga sebagai unit terpenting dalam pendi dikan masyarakat. Dalam berbagai wa cana KKG, tampak jelas, posisi perem puan diperhadapkan secara antagonis dengan laki-laki. Gerakan kesetaraan gender diarahkan sebagai gerak an perlawanan terhadap apa yang me reka sebut sebagai "dominasi patriarki". Ha sil pencermatan para pegiat perempuan Muslimah tersebut akhirnya mengajukan permintaan kepada DPR agar mereka tidak melanjutkan pembahasan RUU KKG tersebut.

Dari feminisme

Mungkin, masih banyak yang belum bisa membedakan antara wacana "kesetaraan gender" dengan "emansipasi". Yang terakhir ini terkait perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak di bidang pendidikan dan pekerjaan bagi perempuan. Memang tidak sepenuhnya salah karena pada awal kemuculannya, gerakan perempuan di Barat menuntut hak-hak tersebut akibat ketertindasan yang mereka alami selama beradab-abad oleh negara dan otoritas gereja. Baru, pada era 1920-an, perempuan Barat ber hasil mendapatkan hak pilihnya se cara penuh. Kemudian, pada 1930 perempuan Amerika secara resmi memiliki akses melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. (Susan Osbor ne, The Pocket Essensial Feminism, 2001 : 19).

Namun, perkembangannya, gerakan perempuan Barat semakin liberal. Pub likasi kaum feminis mulai mengobarkan perang kepada sistem patriarki karena dianggap sebagai penyebab ketertindasan kaum perempuan. Kelahiran ge rakan feminis liberal ini dikenal dengan sebutan "gelombang kedua". Feminis gelombang pertama lebih menekankan tuntutan hak memperoleh pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi politik. Di Amerika, gerakan pembebasan perempuan muncul bersamaan dengan gelombang protes antiperang Vietnam di kampus-kampus pada era 1960-an. (Osborne, 2001: 26-26). Tokoh feminis, seperti Betty Friedan (1921-2006), terus berusaha menawarkan paradigma liberal dalam membangkitkan kesa dar an perempuan untuk dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai seorang individu. (Christina Hoff Sommers, Who Stole Feminism, 1994 : 23).

Kemudian, pada 1977 para feminis Inggris memperkenalkan ide "kesetara an gender" yang menjadi jargon perjuangan mereka. Konsep kesetaraan menurut feminis sangatlah beragam. Konsep kesetaraan dalam pandangan feminis Peran cis Simon De Beauvoir (1908–1986), misalnya, menunjukkan kecenderungannya kepada ideologi sosialis. Ia berpendapat bahwa perpindahan peran perempuan sebagai ibu dan istri menjadi seorang yang memiliki kemandirian secara ekonomi dan profesi sebagai kun ci kesetaraan perempuan dengan laki-laki.

"Dunia di mana laki-laki dan perempuan berada dalam kedudukan yang setara (equal) sangat mudah untuk divisualisasikan, tepatnya seperti yang di janjikan revolusi Soviet. Perempuan ditinggikan dan dilatih selayaknya lakilaki agar dapat bekerja dalam kondisi yang sama dan mendapat upah yang sama. Kebebasan erotis harus diakui oleh adat, tapi tindakan seksual tidak boleh dianggap sebagai "pelayanan" yang harus dibayar; perempuan diwajib kan mendapatkan cara mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kehidupannya.

Pernikahan harus berdasarkan perjanjian bebas bahwa setiap pasangan dapat memutuskan untuk berpisah atas keinginan masing-masing; peran ke ibuan (maternity) harus berdasarkan kerelaan (voluntary) yang berarti bahwa alat kontrasepsi dan aborsi harus dile gal kan, di sisi lain, ibu dan anak-anak nya mendapatkan hak-hak yang sama apakah di dalam pernikahan ataupun yang di luar pernikahan. Cuti hamil ha rus dibayarkan oleh pemerintah dengan asumsi bahwa itu adalah bayaran atas anak-anak." (Mary A Kasian, Feminist Mistake, 2005 : 22)

Ideologi kebebasan yang diusung feminis melalui kesetaraan gender, perlahan tapi pasti mulai mengikis nilai-nilai moral dan agama para perempuan Barat. Menurut Mary A Kassian, feminisme di Barat memulainya dengan mendekonstruksi pandangan Yahudi-Kristen tentang kewanitaan (womanhood), lalu dilanjutkan dengan men dekonstruksi kelaki-lakian (manhood), relasi gender, keluarga, atau struktur sosial, dan terakhir, mereka menolak konsep ketuhanan Yahudi-Kristen. (Judeo-Christian deity). (Feminist Mistakes, 2005 : 9).

Para Feminis juga telah men dekon struksi konsep seksualitas yang telah berabad-abad berlaku dalam masya rakat Barat ketika memperkenalkan jenis kelamin baru, yaitu jenis kelamin sosial. Pada 1970 kaum feminis mengembangkan konsep gender yang belum pernah ada sebelumnya. (Sheila Row botham, Women in Movement, 1992 : 9).

Gender dalam pandangan feminis adalah hasil konstruksi sosial yang sifatnya tidak permanen. Sampai 1967 Inggris Raya dan negara bekas jajahannya, seperti Amerika, hanya mengakui satu orientasi seksual, yaitu heteroseksual, sehingga pelaku sodomi atau ho moseksual akan mendapatkan hukuman mati atau penjara seumur hidup. (Brent L Pickett, Historical Dictionary of Homosexuality, 2009 : 1). Setelah konsep gender diperkenalkan, orientasi seksual seperti biseksual dan homoseksual harus diakui negara karena perbedaan orientasi seksual adalah konsekuensi logis dari pilihan atau identitas gender seseorang.

Saat ini, hampir seluruh negaranegara Barat telah melegalkan pernikahan sesama jenis dan memberikan sanksi hukum bagi mereka yang menentangnya. Feminisme berangsur-angsur menunjukkan wajahnya sebagai gerakan radi kal yang mengobarkan kebencian dan pemberontakan. Kelompok feminis ra dikal "Femen" asal Ukraina yang mempunyai perwakilan di berbagai negara, terkenal sangat provokatif karena pada setiap aksinya mereka selalu bertelanjang dada dan bahkan tidak segan-segan bertelanjang bulat di tempat umum.

Rumah-rumah ibadah agama Katolik, Protestan, maupun Islam tak luput dari sasaran aksi Femen sebagai bentuk pemberontakan terhadap agama. Bagi para aktivis feminisme ini, agama adalah salah satu bentuk manifestasi sistem patriarki. (www.theguardian.com)

Menurut Mike Buchanan, feminisme adalah ideologi (isme) paling berbahaya di dunia yang sedang berkembang saat ini. Ideologi feminis jauh dari pembela an terhadap kepentingan perempuan, tapi hanya membela kelompok elite tertentu saja. Feminisme mengancam pe rem puan karena memaksa mereka menjalani se suatu yang berlawanan dengan insting me reka dan menyebabkan pe rempuan ber gantung pada dunia kerja untuk ber tah an hidup (economic survival). Femi nis me juga menjadi penyebab berbagai penderita an dan menganggu kesehatan mental, bai k laki-laki maupun perempu an, tapi lebih berpengaruh pada wa nita. (The ughly truth of Feminism, 2013 : 3).

Tak heran apabila masyarakat Ame rika Serikat sampai saat ini terus menjegal upaya ratifikasi CEDAW (Conven tion on the Elimination of All Forms of Dis crimination Against Women) yang dianggap sebagai bom waktu bagi pe rempuan dan keluarga Amerika yang di lancarkan kaum feminis. (www.familywatchinternational. org). Tapi, anehnya, Indonesia justru telah meratifikasi CEDAW sejak 1984 dan RUU Kese tara an Gender pun telah disetujui se bagai RUU Inisiatif komisi VIII DPR pada 3 September 2014. (www.dpr.go.id).

Mungkin, banyak yang tidak menya dari bahwa memperjuangkan kesetaraan gender tidak berarti memperjuangkan ke adilan bagi kaum perempuan karena keadilan tidak selalu bermakna "penyamarataan". Definisi gender yang dimaksud pun tidak merujuk kepada jenis kelamin biologis tertentu. Karena itu, sadar atau tidak sadar, mereka yang memperjuangkan ide kesetaraan gender, sejatinya sedang memperjuangkan ideologi kaum feminis; yaitu sebuah ideologi yang mengusung kebebasan tanpa batas. Khususnya, batas nilai-nilai agama.

Jika tidak ditelaah dengan cermat dan diberikan makna serta batasan yang je las, perjuangan kesetaraan gender pada akhirnya akan menjadi "bom waktu" bagi masyarakat dan bangsa Indo nesia. Perempuan dan laki-laki tidak tahu lagi apa kodrat dan peran ideal yang seharusnya mereka mainkan, se bagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi. Yang sudah terjadi, akhirnya perempuan sendiri menyesal karena kelelahan mengejar impian kosong bernama "kesetaraan". Satu kata yang tak pernah ada faktanya!

Bagi kaum beriman, persoalan "gen der" menjadi sangat sederhana, sebab du nia ini hanya sebuah "panggung san diwara". Laki-laki dan perempuan di beri peranan yang berbeda, untuk saling bekerja sama. Masing-masing harus menjalankan perannya dengan baik, agar bisa mempertanggungjawabkan di akhirat kelak. Wallahu a’lam.

Dr Dinar Dewi Kania

Dosen Filsafat Ilmu Program Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement