Selasa 16 Sep 2014 16:00 WIB

Dakwah di Pedalaman Kalimantan (Habis): Antara Tradisi dan Dogma

Red:

Sore menjelang Maghrib, Kampung Lutan, Kecamatan Long Hubung, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimatan Timur, tampak berbeda. Jalanan setapak yang membelah kampung dijubeli warga beragam usia. Mereka berduyun-duyun menuju Masjid Muhajirin.

Muhajirin adalah masjid satu-satunya di kampung yang dihuni mayoritas Suku Dayak Bahau dan Bakumpai tersebut. Malam itu akan digelar pengajian umum dan temu mualaf. Tausiyah akan disampaikan oleh Pengasuh Pondok Pesantren Assalam Arya Kemuning KH Arief Heri Setyawan. Kehadiran KH Arief di Lutan merupakan bagian dari serangkaian safari dakwah yang ia canangkan sejak Ramadhan 1435 H.

Seusai shalat Maghrib berjamaah, Arief memberikan tausiyah tentang tauhid, pendidikan anak, dan pentingnya mengamalkan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. "Nikmat iman dan Islam yang dianugerahkan Allah SWT ini harus kita jaga hingga ajal menjemput," pesannya.

Terkait pendidikan anak, Arief menekankan pentingnya pendidikan Islam untuk mencetak generasi saleh dan salehah. Sebab, kata dia, anak saleh dan salehah termasuk pembuka pintu surga. Usai ceramah, dai yang telah mengislamkan 900-an warga Dayak itu menggelar dialog dengan warga.

Johansyah (62 tahun), warga Kampung Lutan, menggunakan kesempatan pertama. Mualaf dari Suku Dayak Bakumpai itu mengungkapkan minimnya pembinaan keislaman di Lutan. "Jarang ada dai yang mau berdakwah di kampung ini. Entah karena lokasinya yang sulit atau alasan lain. Tapi yang jelas, kami butuh pembinaan yang intensif terkait ajaran Islam," ujar kakek yang berprofesi sebagai petani itu.

Johansyah juga mengungkapkan, dulu di kampungnya pernah ada dai yang ditugaskan untuk membina kaum Muslim, tapi tak berlangsung lama. "Dai itu sering mengharam-haramkan kegiatan warga yang menggelar tahlilan, membaca surah Yasin, maupun shalawatan." Akibatnya, ustaz yang dianggap terlalu keras itu pun "diusir" dari Lutan.

Arief dapat memahami kegundahan warga Kampung Lutan itu. Ia berjanji akan mengirimkan dai yang lebih toleran, berdakwah dengan bijak, serta menghormati tradisi lokal. "Dakwah itu tidak bisa dilakukan dengan cara-cara "keras". Harus dengan santun dan menghargai budaya lokal. Melakukan perubahan hendaknya secara perlahan, bukan radikal," katanya.

Masjid seperti museum

Namanya cukup mentereng, Masjid Al-Maun. Masjid yang termasuk megah untuk ukuran kampung pedalaman ini berdiri kokoh di pinggir Sungai Mahakam. Tepatnya di Kampung Long Gelawang, Kecamatan Laham, Kabupaten Mahakam Ulu.

Sayang, masjid panggung dari kayu berukuran 10x10 meter dengan dominasi warna putih ini tampak tak terurus. Cat yang melapisi tembok luarnya mengelupas. Lantai masjid di bagian luar berselimut debu. Memasuki bagian dalam, di ruangan shalat, telapak kaki langsung tercetak di lantai.

Jam dinding dengan jarum tak bergerak menghiasi tembok di atas mihrab. Kalender sobek tergantung di dinding kanan mihrab. Di pojok kanan ruangan, gulungan karpet berlumur debu menumpuk bak onggokan sampah. Yang paling memprihatinkan, suara azan tak terdengar lagi di masjid ini sejak dua tahun silam.

"Sejak imam meninggal pada 2012, masjid ini tak pernah dipakai lagi," tutur Zarkawi, warga Long Gelawang. Pria 48 tahun yang mengaku sebagai penjaga masjid itu tak bisa meneruskan tugas sang imam.

"Saya tak paham agama, makanya tak berani jadi imam. Akhirnya, lambat-laun masjid sepi. Tak ada kegiatan ibadah shalat, mengaji, atau ceramah agama. Warga pun terbiasa dengan kondisi ini," kata dia saat ditemui KH Arief di dalam masjid.

Kampung Long Gelawang dihuni 152 kepala keluarga (KK). Pemeluk Islam —termasuk mualaf— mencapai 60 persen atau 90 KK, sisanya beragama Katolik. Mayoritas warga Long Gelawang berprofesi sebagai petani, peladang, atau buruh di perusahaan kayu. "Tiap hari mereka di hutan, jarang di rumah. Jangankan shalat Jumat, shalat lima waktu saja sudah tak ada lagi di masjid ini," ujar Zarkawi.

Dan, Al-Maun pun tak ubahnya museum tua yang menyimpan sekelumit sejarah Islam di kampung pedalaman. Kondisi ini cukup menyesakkan dada Arief. "Memakmurkan masjid adalah kewajiban kita sebagai umat Islam. Minimal shalat Jumat harus ada," katanya pada Zarkawi.

"Masjid ini begitu megah dan besar, tapi tidak dijadikan sebagai sarana ibadah. Kita berdosa jika memiliki masjid, tapi tidak melaksanakan shalat di dalamnya."

Zarkawi menundukkan muka, memandang karpet yang tampak kusam di atas lantai. Sejurus kemudian ia berujar, "Kami mohon bantuan Pak Kiai agar mengirim ustaz ke sini yang mau mengajarkan Islam. Jujur saja, di kampung ini tak ada orang yang mengerti agama."

Arief berjanji memenuhi permintaan itu. Ia akan berupaya mencari dai dari ormas Islam yang mau berdakwah di Long Gelawang. Harapannya, agar syiar Islam kembali marak dan Al-Maun tak lagi menjadi masjid ‘hantu’.

Sang pioner

Bermula pada 1991, ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kalimantan Timur menugaskan Ustaz Arief Heri Setyawan untuk menjadi dai pembangunan di Kecamatan Barong Tongkok, Kabupaten Kutai. Kini kabupaten ini menjadi Kutai Barat akibat pemekaran wilayah.

Arief memulai dakwah dengan keliling kampung, menyampaikan tentang Islam dari pintu ke pintu rumah warga. Melihat kegigihan Arief, warga tertarik mewakafkan tanah mereka untuk dijadikan pesantren. Setelah melalui berbagai pertimbangan, tanah di kawasan Arya Kemuning jadi pilihan. Tanah wakaf yang masih berupa rawa itu dibersihkan warga secara gotong-royong.

Dalam sepekan, bangunan sederhana dari kayu beratap daun nipah berukuran 8x8 meter persegi tegak berdiri. Pondok Pesantren Assalam Arya Kemuning, demikian nama resmi pesantren. Di situlah Arief intens membina santri dan tetap melakukan dakwah keliling kampung. Seiring perjalanan waktu, dalam kurun 22 tahun sejak pendiriannya, Pesantren Assalam kini mendapatkan tempat di hati masyarakat.

Pesantren Assalam kini memiliki lembaga pendidikan formal mulai Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Aliyah (SMA). Pesantren juga tidak mengutip bayaran dari para santri. Biaya operasional pondok berasal dari sumbangan donatur dan hasil unit usaha pesantren, seperti usaha perkebunan, pertokoan, dan baitul mal wa at-tamwil (BMT). "Seluruh siswa atau santri yang belajar di Assalam saat ini mencapai 600 orang. Sekitar 100 santri tinggal di pondok, sisanya santri ‘kalong’," kata Arief.

Selain itu, upaya pembinaan mualaf tetap dilakukan. Arief berharap dapat bekerja sama dengan lembaga Islam yang peduli dakwah di pedalaman. Sebab, dakwah adalah tugas setiap umat Islam. "Yang penting bagaimana kita mengutamakan sikap toleran dan penghormatan terhadap budaya lokal. Ini kunci sukses dakwah di pedalaman," ujarnya.  rep:chairul akhmad ed: nur hasan murtiaji

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement