Ahad 14 Sep 2014 16:00 WIB

UU Perkawinan 1974, Buah Perjuangan Panjang

Red: operator

Dialog dan lobi media penting untuk menyalurkan aspirasi umat.

Hingga berakhirnya Orde Lama, payung hukum perkawinan berbasis syariat tak kunjung terealisasi.Menurut Deliar Noor dalam "Administrasi Islam di Indonesia", dorongan memiliki undang-undang terse but semakin menguat.

Parlemen atau yang saat itu disebut DPR- GR kembali membahas tentang RUU Perkawinan.Masa sidang yang berlangsung pada 1967-1971 itu membahas dua hal. Pertama, parlemen membahas mengenai RUU Perkawinan umat Islam yang diajukan oleh Departemen Agama pada Mei 1967. Ke dua, perlemen juga membahas RUU Keten tuan-Ketentuan Pokok Perkawinan dari Departemen Kehakiman. RUU sendiri di ajukan pada DPR-GR pada September 1968.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:MOHAMAD HAMZAH/ANTARAFOTO

Deliar mengatakan, pembahasan kedua RUU mengalami kemacetan akibat penolakan Fraksi Katolik. Dalam Harian Operasi April 1969, Fraksi tersebut mengemukakan kedua RUU tersebut tidak sesuai dengan hakikat dan asas negara Pancasila.

Penolakan tersebut memunculkan diskusi yang cukup hangat di masyarakat.

Kepala Pusroh Islam Polri Hasbullah Bakry menilai, argumen tersebut tidaklah tepat.Sebab, mengokomodasi keberadaan hukum Islam dalam kedua RUU tersebut justru sesuai dengan Pancasila dan tak akan mengubah Indonesia menjadi negara agama.

Macetnya masa sidang pembahasan RUU Perkawinan tak membuat Departemen Kehakiman menyerah. Pada Juli 1973, pemerintah melalui Departemen Ke ha kiman mengajukan kembali RUU Perkawinan yang telah dirumuskan sebe lumnya. RUU Perkawinan tersebut terdiri atas 15 bab dan 73 pasal.

Pengajuan RUU Perkawinan pada 1973 ternyata mendapat pertentangan dari kalangan Islam. Perlawanan datang dari organisasi dan tokoh Islam yang lama berkecimpung hal-hal yang menyangkut bidang agama. Penolakan tersebut ber alas an karena RUU Perkawinan 1973 bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Mengutip Amak FZ dalam bukunya Proses Undang-Undang Perkawinan, dari komposisi kekuatan fraksi-fraksi di DPR, Fraksi PPP merupakan satu-satunya yang menentang. Alasannya karena RUU tersebut bertentangan dengan ajaran Islam.Tak lama, gelombang penolakan dan reaksi terhadap RUU Perkawinan ber datangan dari berbagai komunitas.Baik dari masyarakat, ulama, maupun pemerintah sendiri.

Namun, reaksi yang menjadi sorotan datang dari Ketua Fraksi PPP KH Yusuf Hasyim. Ia mencatat berbagai kekeliruan dalam RUU Perkawinan. Bahkan, ia menganggap bertentangan dengan fikih perkawinan. Tak terkecuali dengan asas Pancasila. Bahwa, sebagai negara yang berketuhanan tentu hukum perkawinan mestinya sesuai dengan unsur keagamaan.

Buya Hamka sejalan dengan pendapat Yusuf Hasyim. Ia menolak dengan tegas draf RUU Perkawinan tersebut yang dinilai bertentangan dengan ajaran Islam. Hamka menilai, pokok ajaran tasyriul Islamy yang dipelihara dalam syariat itu ada lima perkara. Yaitu, memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Dalam artikelnya yang berjudul "RUU Perkawinan yang Menggoncangkan", Hamka berpendapat konteks memelihara keturunan berarti memelihara agar jenis manusia tetap berkembang dan berketurunan. Maksudnya, jangan sampai musnah karena kesia-siaan manusia.

Oleh sebab itu, nikah adalah sunah Rasul sedangkan zina adalah perbuatan yang keji. Ia memberi contoh, dalam syariat Islam, diharamkan kawin dengan saudara sesusuan. Jika draf RUU Perkawinan disahkan, perkawinan semacam itu juga disahkan negara. Selain itu, anak yang dikandung di luar nikah atau sebelum nikah dengan draf RUU tersebut boleh menjadi anak sah. Walaupun, Islam memandang anak itu adalah anak zina.

Perguruan tinggi Islam juga turut serta menyikapi draf RUU Perkawinan.Yaitu, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, me nyampaikan pendapat akademisnya terkait proses penggodokan RUU Perkawin an inisiatif pemerintah. Penelitian yang dilakaukan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga menilai terdapat 14 pasal RUU Perkawinan yang bertentangan dengan hukum Islam.

Antara lain, tentang definisi perkawin an, peluang poligami dan poliandri, tidak ada pembatasan poligami, pembatasan izin pengadilan kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang, jangka waktu istri pergi tanpa kabar, perwalian, larangan perkawinan karena hubungan pengangkatan anak, dan perbedaan agama dalam perkawinan.

Menyikapi draf RUU Perkawinan ini siatif pemerintah tersebut, para ulama pada 24 Rajab 1393 H atau 22 Agustus 1973 yang diprakarsai oleh KH Bisri Syansuri mengadakan musyawarah ber sa ma di Pesantren Mambaul Maarif, Denanyar, Jombang. Kesimpulan forum ini memutuskan usulan perubahan RUU Perkawinan.

Penolakan umat Islam atas RUU ter se but ternyata mendapat perhatian dari pemerintah. Lobi tingkat tinggi diupayakan, termasuk dengan Fraksi ABRI. Presiden Soeharto sendiri bertemu dengan delegasi partai atau Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) yang dipimpin oleh Bisri Syamsuri (ketua DPP-PPP) dan Masykur (ketua F-PP).

Akhirnya, dicapailah suatu konsensus antara kedua fraksi tersebut. Pertama, hu kum Islam dalam RUU tidak akan ikurangi. Kedua, hal yang bertentangan dengan Islam dan tidak mungkin disesuaikan dalam RUU akan dihilangkan.Ini berarti, draf RUU Perkawinan harus diubah dengan mengacu kepada hal-hal yang telah disepakati dalam konsensus.

Perjuangan tak terhenti begitu saja.

Penolakan kembali muncul, kali ini dari umat Kristen. Mereka berpandangan hu kum negara dan hukum agama harus bisa dipisahkan. Mohammad Daud Ali dalam "Perkawinan Campuran" menilai, pe nolakan ini berangkat dari doktrin gereja bahwa negara tak berhak mengatur hukum agama. Tetapi, kompromi dan dialog akhirnya tercapai. Hingga, akhirnya sete lah melalui perjalanan panjang dan perjuangan yang alot, umat Islam bisa bernapas lega, hukum Islam terakomodasi dalam UU No 1 1974 tentang Perkawinan yang diundangkan pada 2 Desember 1974. rep:c70, ed: nashih nashrullah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement