Rabu 10 Sep 2014 14:00 WIB

DPR Didesak Segera Sahkan RUU Advokat

Red:

JAKARTA -- Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) mendorong agar DPR periode 2009-2014 segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Advokat sebagai revisi UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, sebelum mengakhiri jabatannya pada September 2014. RUU Advokat merupakan satu-satunya inisiatif DPR periode 2009-2014.

"Sehingga, jika RUU perubahan atas UU Nomor 18 Tahun 2003 tidak disahkan menjadi UU, akan menjadi preseden buruk bagi DPR. Sebaliknya, jika dapat disahkan maka akan menjadi prestasi monumental bagi DPR periode 2009-2014," ujar Sekjen Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ikadin Zulkifli Nasution, di Jakarta, Selasa (9/9).

Menurut Zulkifli, secara de facto, tidak ada wadah tunggal organisasi advokat karena organisasi seperti Ikadin,Peradin, Peradi, KAI, AAI, IPHI, SPI, APSI, dan HKHPM tetap eksis dan memiliki anggotanya masing-masing saat ini. "Wadah tunggal profesi advokat menyalahi asas demokrasi dan mengingkari asas ke-Bhinneka Tunggal Ika-an serta melanggar asas kebebasan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945," tegasnya.

Pihaknya menilai, RUU Advokat memenuhi analisis akademik, meningkatkan harkat martabat advokat, menambah independensi advokat, dan dibuat dengan memperhatikan undang-undang. Menurut dia, Dewan Advokat Nasional (DAN) yang akan dibentuk sebagai amanat RUU Advokat akan menjadi regulator bagi kesamaan etika profesi advokat dengan banyaknya organisasi advokat.

"Banyak organisasi advokat mengikuti asas kebebasan berserikat, namun tetap dalam satu regulasi dan kode etik," ungkap Zulkifli. Selain itu, kata dia, DAN juga berfungsi sebagai dewan kehormatan etik yang berfungsi mengatur regulasi advokat dan perekrutan advokat.

Zulkifli menegaskan, adanya apriori sebagian advokat bahwa DAN akan mengekang organisasi advokat adalah hal yang keliru. "DAN tidak mungkin mengekang profesi advokat, sebab profesi advokat itu independen dan jauh dari kekuasaan pemerintahan," paparnya.

Ikadin memandang, adanya organisasi advokat tunggal justru akan mengekang kebebasan berorganisasi. Menurut Zulkifli, organisasi advokat harus plural tetapi dalam naungan kode etik yang tunggal dalam lembaga DAN.

Sebelumnya, pakar hukum Universitas Warmadewa Simon Nahak mengatakan, revisi UU Advokat berpotensi meliberialkan hukum di Indonesia dan memecah belah advokat. Hal itu  bisa terjadi lantaran dalam naskah RUU Advokat kini dipegang DPR, para advokat bisa dengan mudahnya mendirikan organisasi pengacara.

"Wadah tunggal advokat, seperti yang ada dalam UU Advokat saat ini, tidak perlu diubah. Sistem single bar ini sudah selaras dan senapas dengan organisasi advokat internasional (International Bar Association/IBA—Red)," kata Simon.

Direktur Litigasi Kementerian Hukum dan HAM Agus Hariadi mengatakan, sejauh ini pemerintah tidak memprioritaskan pembahasan amandemen UU Advokat. Revisi UU Advokat yang muncul di tengah jalan merupakan usulan DPR.

Kendati tidak masuk dalam prolegnas, pemerintah terus mencermati masukan dari berbagai kalangan, termasuk akademisi, sehingga keputusan revisi UU Advokat, "Tidak bisa diputuskan dalam waktu dekat. Lagipula, ini kan masih banyak pro dan kontra di kalangan akademisi dan dunia advokat sendiri," kata Agus.

Anggota Pansus RUU Advokat DPR, Himmatul Alyah Setiawati, menyatakan, pansus senang mendapatkan masukan dari berbagai kalangan untuk terus membahas revisi UU Advokat. "Semua masukan membuka mata kita semua mana yang lebih baik, apakah single bar atau multi bar. Inilah yang akan saya perjuangkan di rapat pansus nanti," tegas Himmatul.

antara ed: muhammad fakhruddin

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement