Senin 08 Sep 2014 12:00 WIB

Ibu Kota Rawan Tenggelam

Red:

DKI Jakarta yang menjadi ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terancam ambles. Salah satu faktor yang membuat Ibu Kota rawan tenggelam adalah penyedotan secara sporadis air tanah oleh bangunan pemanjat langit.

Sayangnya, perampokan air tanah itu tidak diimbangi dengan 'isi ulang' dari air hujan. Penyebabnya apalagi kalau bukan minimnya ruang serapan di Jakarta.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Republika/Rakhmawaty La'lang

Petugas memberikan penjelasan kepada para siswa saat melakukan kunjungan instalasi produksi I PT PAM Lyonnaise Jaya, Pejompongan, Jakarta Barat, Selasa (22/4).

Pengamat lingkungan hidup, Nirwono Yoga, menyebut ada sejumlah persoalan utama yang harus segera dibenahi. Jika tidak, ia menilai krisis dan bencara air serta turunnya struktur permukaan tanah di Jakarta tidak bisa dihindari.

Pertama, kata dia memerinci, pemerintah harus mengendalikan penyusutan air secara besar-besaran. Menyoal hal itu, sebenarnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki Peraturan Daerah (Perda) No 1/ 2012 tentang RT/RW Jakarta 2030. Aturan ini mengatur tentang masterplan atau perencanaan dalam 20 tahun ke depan mengenai pengendalian tata ruang dan airnya.

Seharusnya, Pemprov DKI segera melakukan audit bangunan dan lingkungan pada semua gedung di Jakarta. "Karena, gedung, seperti perkantoran, pusat perbelanjaan, hotel, apartemen, dan sebagainya, paling banyak menyedot air jika dibandingkan dengan rumah tangga," kata Nirwono saat ditemui Republika, Kamis (4/9).

"Sementara," ujar dia melanjutkan, "di dalam pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB), mereka wajib memilik water treatment atau pengolahan air untuk dipakai sendiri."

Sayangnya, perda itu banyak dilanggar dan tidak ada langkah penertiban. Ia menyebut pemerintah tidak melakukan audit, apalagi menjatuhkan sanksi. "Sehingga, penyedotan air benar-benar tidak terkendali," ucap dia.

Padahal, dalam peraturan itu disebutkan, 30 persen permukaan tanah dalam satu kaveling bangunan dilarang diperkeras. Artinya, setiap bangunan di Jakarta harus tetap merupakan  koefisien dasar hijau yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air.

Koefisien dasar hijau itu, menurut Nirwono, seperti kolam penampung air di bawah tanah untuk mengolah air hujan. Sehingga, tidak ada air yang terbuang.

"Coba lihat di daerah TB Simatupang. Seluruh kaveling diperkeras untuk parkir dan jalan. Dari situ sudah pasti air hujan yang jatuh akan terbuang, tidak ada penyerapan," ucap Nirwono.

Fungsi dari penyerapan air, menurut dia, adalah untuk mengisi ulang air tanah yang digunakan. Sekarang, masih kata Niwono, polanya air disedot sebanyak-banyaknya, tetapi tidak ada upaya serius untuk kembali mengisi air tanah.

Imbasnya, debit air semakin turun yang mendorong terjadinya penurunan permukaan tanah. Semua itu terjadi karena lubang-lubang air tanah itu ditinggalkan kosong sehingga ketika ada beban, dapat menimbulkan kepadatan tanah dan penurunan permukaannya.

"Sehingga, tidak heran nanti tiba-tiba jembatan roboh, bangunannya miring. Nah itu karena penyedotan air tanah yang berlebihan, tidak hanya menyebabkan krisisi air tanah, tetapi juga menyebabkan penurunan muka tanah secara bertahap," ujarnya.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menyampaikan, konservasi sumber daya air di kota-kota besar dinilai kalah cepat dengan faktor-faktor penyebab kerusakan. Akibatnya, muncul krisis air bersih di sejumlah kota besar, seperti DKI Jakarta.

Kita semua, kata Sutopo, paham dengan faktor-faktor penyebab permasalahan krisis air di Jakarta dan wilayah pesisir lainnya. "Tapi, apa yang kita lakukan kalah cepat untuk mengantisipasi hal itu," kata Sutopo di Jakarta, Rabu (3/9).

Dijelaskan Sutopo, batas aman pengambilan air bawah tanah adalah 30-40 persen dari potensi atau sekitar 185 juta meter kubik per tahun. Tapi, pada 2005 saja, masih kata Sutopo, Jakarta mengalami defisit air tanah sebesar 66,65 juta meter kubik per tahun.

"Akibatnya, amblesan muka tanah di Jakarta rata-rata 3,5 sentimeter per tahun. Sementara, kenaikan muka laut mencapai 4,38 milimeter hingga tujuh milimeter per tahun," ungkap dia.

Sekretaris Direktorat Jenderal (Ditjen) Sumber Daya Air (SDA) Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Mudjiadi mengatakan, pengambilan air permukaan bisa mencegah penurunan permukaan tanah.

Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan penurunan permukaan tanah di Jakarta mencapai lima sentimeter per tahun. Air permukaan atau air yang terkumpul di atas tanah, di mata air, sungai danau, lahan basah, maupun laut disebut dapat menjadi solusi atas penurunan tanah yang dikhawatirkan terus terjadi.

Mudjiadi menyebut, penurunan air tanah terjadi terutama di wilayah utara Kota Jakarta. Selain karena penyedotan air, di wilayah utara sifat tanah cenderung lunak.

Tidak hanya di Jakarta Utara, sejumlah wilayah Ibu Kota juga mengalami persoalan serupa. Semua itu terjadi karena dipengaruhi pembangunan infrastruktur, seperti gedung-gedung tinggi juga drainase. rep:c89/ c66 ed: karta raharja ucu

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement