Senin 08 Sep 2014 12:00 WIB

Warisan Beban?

Red:

Oleh: Rahmat Hadi Sucipto(Wartawan Republika) -- Hari-hari terakhir ini be rita utama di media-me dia massa tak hanya se putar transisi pemerintahan dari Susilo Bam bang Yudhoyono (SBY) ke presiden terpilih Joko Widodo (Jo kowi), tetapi juga membahas isu bahan ba kar minyak (BBM). Tampaknya isu BBM su dah mengerucut. Pemerintahan seka rang tak akan mengurangi subsidi BBM atau menaikkan harga BBM bersubsidi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Republika/ Yasin Habibi

Pekerja tengah mengerjakan pembangunan Pelabuhan Kalibaru atau yang disebut Terminal NewPriok di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (2/9).

BBM selalu saja menjadi perbincangan hangat setiap saat. Apalagi, ketika saat ini pemerintah mengeluarkan kebijakan yang kurang realistis dengan membatasi stok BBM subsidi di seluruh wilayah Tanah Air.

Kelangkaan BBM, baik jenis premium maupun solar pun nyaris terjadi di seluruh Nusantara. Jangankan di luar Pulau Jawa, di wilayah Jawa pun antrean panjang orang di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) nyaris menjadi pemandangan sehari-hari.

Tentu Sumatra, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Papua, dan daerah-daerah lain di luar Jawa yang paling parah menghadapi derita BBM. Saat stok BBM dalam kondisi normal, bahkan me limpah pun sesungguhnya di banyak wilayah di provinsi tersebut sering mengalami masalah stok BBM. Terkadang sehari dua hari SPBU buka, tetapi sisa hari dalam sepekan bisa tutup karena tak lagi ada pasokan.

Di Sorong, Papua Barat, seperti dilaporkan Antara, warga mengantre hingga dua hari untuk mendapatkan solar me nyusul diberlakukannya pembatasan bahan bakar bersubsidi. Bahkan di beberapa lokasi antrean mengular hingga sepanjang satu kilometer. "Kalau tidak antre bakal tidak dapat solar. Soalnya SPBU dibuka dalam waktu terbatas, yaitu mulai pukul 08.00 WITA dan ditutup pukul 16.30 WITA. Di luar itu tidak beroperasi," kata Jhon, warga Sorong.

Kelangkaan BBM tentu sangat me mengaruhi denyut kehidupan di So rong. Pembatasan stok BBM benar-benar membuat masyarakat semakin tersiksa. "Karena memengaruhi aktivitas. Bayang kan kami harus antre berhari-hari. Saya antre sejak jam 03.00 WITA. Tapi, terkadang ketika akan mengisi tiba-tiba ada pengumuman solar sudah habis," ujar Roby, warga Sorong lainnya.

Lebih parah lagi, hanya ada empat SPBU di wilayah Kota Sorong. Itu pun tak semuanya beroperasi karena keterbatasan pasokan BBM dari Pertamina. Roby menilai pemerintah tidak adil karena pasokan di Jawa melimpah, tetapi di wilayahnya sangat terbatas. "Kalau kasusnya seperti ini, lebih baik saja harga BBM dinaikkan, tapi pasokan terjamin. Berapa pun harganya tidak masalah asalkan ada barangnya," tutur Roby.

Harga solar bersubsidi yang dijual di SPBU tentu sama dengan wilayah-wi layah lain di Indonesia, Rp 5.500 per liter. Namun, bila stok di SPBU habis, harga di eceran bisa melangit dua, tiga, bahkan bisa empat kali lipat dari harga normal. Kejadian seperti ini sudah jamak terjadi di provinsi paling timur Indonesia ini.

Tidak hanya di Papua atau Papua Barat warga bisa membeli premium atau solar di atas Rp 10 ribu. Di Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, maupun Kalimantan juga kerap terjadi hal serupa. Persoalan BBM ini hanya satu dari banyaknya beban yang akan diwariskan SBY kepada pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla. Ekonom sangat yakin SBY tak mungkin mau menaikkan harga BBM bersubsidi karena ingin lengser dengan citra yang manis di mata rakyat.

Meskipun beberapa menteri Kabinet Indonesia Bersatu II mengharapkan ada kenaikan harga BBM, SBY sudah jelas menyatakan tak akan mengambil langkah tersebut. Apa alasannya?

SBY menilai kenaikan harga BBM akan menambah beban masyarakat. Me nurut dia, meski ABPN dalam tekanan, menaikkan BBM saat ini dianggap keputusan yang tidak tepat.

Menurut analisis Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi, SBY sangat jelas tak ingin kehilangan citra pada akhir masa jabatannya sebagai presiden. Apalagi, menaikkan harga BBM sa ngat tidak populer. Secara politik, dia takut dikenang sebagai presiden yang mene ruskan warisan buruk berupa peningkatan inflasi dan penurunan daya beli masya rakat dengan menaikkan harga BBM. "Jadi, ini sebenarnya soal ego karena SBY sudah tidak punya kepentingan politis apa-apa dengan BBM. SBY sudah tidak bisa melanjutkan lagi jabatannya sebagai presiden dan partainya sudah dapat 10 persen dalam pemilu legislatif kemarin," tuturnya.

Sikap SBY ini sama persis dengan yang dilakukan oleh Megawati Soekar noputri saat hendak lengser dari kursi kepresidenan pada 2004. Kali ini SBY bahkan sangat tegas tak akan menaikkan harga BBM bersubsidi.

SBY menilai kurang tepat dengan pandangan yang menyatakan bila pihaknya tidak menaikkan harga BBM bersubsidi, akan membebani pemerintahan selanjutnya. Menurut dia, tidak baik menilai suatu pemerintahan yang memberatkan pemerintahan selanjutnya. "Tidak baik bila satu pemerintah dituduh membebani pemerintahan yang lain. Setiap pemerintahan harus menghadapi tantangannya, dituntut mengambil risiko dan tantangan itu," ungkap SBY.

Selama 10 tahun memimpin Indo nesia, SBY sudah empat kali menaikkan harga BBM subsidi, baik jenis premium maupun solar. Pertama, terjadi pada 1 Maret 2005, harga premium dinaikkan dari Rp 1.810/liter menjadi Rp 2.400/liter, sementara harga solar naik menjadi Rp 2.100 dari Rp 1.650/liter.

Pada tahun yang sama, tepatnya pada tanggal 1 Oktober, SBY menaikkan harga premium dari Rp 2.400 per liter menjadi Rp 4.500, sementara solar naik dari Rp 2.100 menjadi Rp 4.300/liter. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 24 Mei 2008, SBY kembali menaikkan harga premium dari Rp 4.500/liter menjadi Rp 6.000, sedangkan solar menjadi Rp 5.500 dari sebelumnya Rp 4.300/liter.

Namun, SBY juga sempat mencari simpati publik dengan menurunkan harga BBM subsidi, premium turun sampai tiga kali, sedangkan solar dua kali. Pada 1 Desember 2008, dia menurunkan harga premium menjadi Rp 5.500 dari sebelumnya Rp 6.000/liter, sedangkan harga solar tetap Rp 5.500. Bahkan, 14 hari kemudian, SBY kembali menurunkan harga premium menjadi Rp 5.000/liter, sedangkan solar turun menjadi Rp 4.800/liter.

SBY kembali membuat kejutan lagi pada 15 Januari 2009, dengan menurunkan harga premium dari Rp 5.000/liter men jadi Rp 4.000, sementara harga solar turun menjadi Rp 4.500. Namun, karena harga minyak dunia terus meroket dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pun jeblok, SBY akhirnya kembali menaikkan har ga BBM subsidi, premium dinaikkan menjadi Rp 6.500, sementara solar Rp 5.500.

Bila ditelusuri lebih jauh, SBY telah menaikkan harga premium hingga 259 persen sejak 2004 hingga sekarang. Sementara, kenaikan untuk solar sudah menembus 233 persen.

Warisan beban sama artinya tugas berat pemerintah bagi pemerintahan mendatang. Hampir seluruh sektor di negeri ini harus segera dibenahi. Sektor transportasi darat, laut, dan udara masih belum optimal. Padahal, transportasi sangat penting dalam menunjang kegiatan ekonomi.

Demikian pula dengan kondisi infrastruktur di Tanah Air yang masih jauh dari sempurna. Kondisi infrastruktur yang kurang, bahkan tak memadai masih banyak dijumpai di banyak wilayah Nusantara. Kondisi infrastruktur di Provinsi Sumatra jelas berbeda dengan fakta yang terjadi di Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Papua, dan Papua Barat. Apalagi, bila kondisi tersebut dibandingkan dengan Jawa.

Di sektor pertanian dan kelautan, In donesia juga belum berjaya. Indonesia ga gal mengelola sumber daya laut yang me limpah. Garam pun ternyata masih impor.

Pertanian sangat buram. Degradasi dan alih fungsi lahan pertanian ke fungsi-fungsi lainnya terus membesar. Nilai tukar petani juga masih buruk.

Mayoritas petani masih masuk kelompok gurem, yang hanya memiliki lahan kurang dari satu hektare. Mereka pun termasuk golongan yang tak bisa menjangkau permodalan dari perbankan. Subsidi pemerintah untuk sektor pertanian juga sangat kecil. Kesulitan modal yang dialami para petani tak pernah disentuh pemerintah secara tuntas. Harga jual produk pertanian pun bukan petani yang menentukan, tetapi para tengkulak dan mafia.

Produk pertanian impor pun menjadi pemenang di pasar domestik. Jangankan di pasar-pasar modern, buah dan sayur impor sudah menggempur pasar-pasar tradisional.

Jadi warisan beban dari Pemerintahan SBYBoediono ke Jokowi-JK memang sangat banyak. Tanpa ada sentuhan yang berbeda dari pemerintahan baru nanti, mustahil Indonesia bisa meraih kesuksesan yang lebih baik.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement