Ahad 07 Sep 2014 14:00 WIB

Gugatan Perkawinan Beda Agama Disesalkan

Red: operator
Sidang Aturan Pernikahan Beda Agama: Para Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams (tengah), Muhammad Alim (kanan), dan Arief Hidayat menggelar sidang perdana pemeriksaan pendahuluan perkara pengujian materil Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan te
Sidang Aturan Pernikahan Beda Agama: Para Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams (tengah), Muhammad Alim (kanan), dan Arief Hidayat menggelar sidang perdana pemeriksaan pendahuluan perkara pengujian materil Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan te

JAKARTA –– Berbagai kalangan menyesalkan dan menolak gugatan uji materil terhadap larangan perkawinan beda agama.

Gugatan seorang mahasiswa dan empat alumni Universitas Indonesia (UI) terhadap Pasal 2 ayat 1 UU No 1/ 1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai tidak sejalan dengan prinsip Ketu hanan Yang Maha Esa yang menjadi salah satu dasar negara ini.

Pakar hukum dari Universitas Katolik Parahyangan Bandung,Asep Warlan Yusuf, mengatakan,jika permohonan uji materi tersebut dikabulkan MK maka itu sama saja artinya negara tidak lagi menjamin warganya untuk menjalankan hukum agama yang mereka anut. “Masalah perkawinan itu wilayahnya agama. Oleh karena itu, jika pasal 2 ayat 1 dibatalkan maka itu artinya hukum negara bakal menabrak hukum-hukum agama,” kata Asep, Sabtu (6/9).Asep menuturkan, Indonesia memang bukanlah negara agama.

Namun demikian, ia mengingatkan ada beberapa aspek yang mendasari sistem hukum yang diterapkan di negara ini. Salah satunya adalah kesadaran masyarakat untuk menjalankan hukum agamanya masing-masing. “Termasuk di dalamnya ma salah pernikahan,” ujarnya.

Posisi negara, kata Asep, hanya sebatas mencatat adanya peristiwa hukum perkawinan (fungsi administrasi). Sementara, sah atau tidak sahnya suatu perkawinan itu ditentukan oleh hukum agama, bukan hukum negara.

Dengan kata lain, jelas Asep,negara tidak memiliki kewenangan untuk mengabsahkan sebuah perkawinan. Sebab, sumber hukum perkawinan itu sendiri berasal dari hukum agama, bukan hukum buatan manusia.

Pakar hukum tata negara dari Uni versitas Indonesia, Refly Harun, mempertanyakan langkah hukum yang dilakukan para mahasiswa UI tersebut. Menurut Harun,gugatan beberapa orang ma hasiswa dan alumni UI ke MK itu seharusnya

didasarkan pada tujuan konkret. Sebab, permasalahan kawin beda agama telah ber ulang kali menuai pro-kontra, menjadi

sangat sensitif, dan berkaitan dengan ranah personal yang seharusnya tidak digeneralisasi.

“Untuk kasus yang sangat sensitif seperti ini, orang tidak bisa secara mudah mengajukan judicial review kepada pemerintah sembarangan, apalagi dia tidak mengalami kerugian dari undang-undang yang dimohon untuk diuji itu,” kata Refly Harun saat dihubungi Republika.

Para pemohon, lanjut Refly, tidak dalam situasi benar-benar berkepentingan pribadi terhadap UU Nomor 1 Tahun 1974 itu. Berdasarkan pengamatannya, mereka bahkan belum berniat melakukan pernikahan apa pun dan belum tentu akan melangsungkan pernikahan beda agama ke depannya.Sebabnya, keputusan MK seharusnya menjadi solusi, bukannya melahirkan kontroversi.

Tak paham

Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpendapat, para pemohon uji materi tersebut tidak paham akan posisi agama dalam konstitusi. “Ada sejarah yang pan jang di balik lahirnya UU Perkawinan 1974. Tidak ada hak konstitusi warga yang dirugikan oleh aturan tersebut,” kata Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia PP Muhammadiyah Syaiful Bahri kepada Republika.

Menurut Syaiful, Pasal 2 ayat 1 UUP 1974 justru melindungi hak konstitusi warga negara dalam melaksanakan perkawinan. Aturan tersebut tidak saja selaras dengan hukum agama sebagai salah satu sumber hukum negara, tetapi secara sosial juga memberikan kepastian terhadap status anak hasil perkawinan di mata masyarakat.

“Ini disebabkan sah atau tidaknya sebuah pernikahan itu ditentukan oleh hukum agama, bukan oleh negara. Karena itu, saya pikir justru para pemohon (uji materil) itu yang tidak paham posisi agama dalam konstitusi,” ujarnya.

Ditjen Bimas Hindu IBG Yudha Triguna memiliki pandangan yang sama. Dalam agama Hindu, setiap perkawin an di sarankan un tuk sa tu agama. Menurutnya, jika ada umat Hindu melakukan perka winan de ngan calon yang berbeda agama maka terlebih da hulu calonnya itu wajib melaksanakan sudi widani, yakni sebuah proses upacara bahwa yang bersangkutan resmi menyatakan diri sebagai umat Hindu. ■ c78 ed: firkah fansuri

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement