Jumat 05 Sep 2014 12:00 WIB

Moncong Senjata Arah Istana

Red:

Oleh: Selamat Ginting (Wartawan Republika) -- Presiden Abdurrahman Wahid memanggil sejumlah perwira tinggi senior ke Istana pada akhir Mei 2001. Namun, ada yang janggal dalam pertemuan tersebut, Gus Dur tidak mengundang Panglima TNI dan ketiga kepala staf angkatan. Ada apa?

 

Perwira yang diundang itu adalah Kepala Staf Umum TNI Letjen Djamari Chaniago, Kepala Badan Intelijen Strategis TNI Marsdya Ian Santoso Perdanakusuma, Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat Laksda Putu Ardana, dan Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan Letjen Johny Lumintang. Tidak tanggung-tanggung, yang dibicarakan adalah rencana pergantian panglima TNI dan para kepala staf angkatan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:edwin dwi putranto/Republika

Dalam pertemuan itu telah disusun skenario perombakan jajaran petinggi militer. Ian Santoso diproyeksikan menjadi KSAU menggantikan Marsekal Hanafie Asnan, Djamari menjadi KSAD menggantikan Jenderal Endriartono Sutarto, Putu Ardana menjadi KSAL menggantikan Laksamana Indroko Sastrowiryono, serta Johny Lumintang menjadi panglima TNI menggantikan Laksamana Widodo AS.

 

Untuk jabatan kepala staf angkatan tidak terlalu rumit, tetapi untuk panglima TNI menghadapi kendala karena harus memperoleh persetujuan parlemen. Sebagai jalan keluarnya, Presiden Gus Dur akan kembali menghidupkan jabatan Wakil Panglima TNI yang telah dihapusnya pada akhir Agustus 2000 lalu. Saat itu, Jenderal Fachrul Rozi dicopot dari jabatan wakil panglima TNI dengan alasan jabatan itu tidak diperlukan lagi. Presiden seperti menelan ludahnya kembali.

 

Apa yang dikhawatirkan ternyata benar-benar terjadi. Awal Juni 2001, Presiden Gus Dur secara mendadak mengganti lima menteri dan jaksa agung. Salah satu yang diberhentikan adalah Menko Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan (Polsoskam) Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ia digantikan oleh Jenderal (Purn) Agum Gumelar.

 

Hampir bersamaan waktu dengan pergantian lima menteri dan jaksa agung, Presiden melantik Irjen Chaerudin Ismail sebagai wakil kapolri. Padahal, jabatan wakil kapolri ini sebenarnya telah dihapus oleh Presiden melalui Keppres Nomor 54/2001 tertanggal 1 April 2001.

 

Pengangkatan Chaerudin sekaligus merevisi keppres tersebut dengan keluarnya Keppres Nomor 77 tertanggal 21 Juni 2001, yang berlaku surut 1 Juni 2001. Kasus ini telah memuncakkan dualisme dalam tubuh kepolisian dan perseteruan Presiden dengan parlemen.

 

Pengangkatan Chaerudin memunculkan penolakan 102 jenderal polisi yang tidak menghendaki politisasi di Mabes Polri. Masalah Polri ini semakin berlarut-larut. Bertepatan dengan peringatan Hari Bhayangkara 1 Juli, Presiden mengumumkan pemberhentian Kapolri nonaktif Bimantoro dan akan memberikan tugas sebagai duta besar RI di Malaysia. Namun, lagi-lagi Bimantoro menolak.

 

Situasi Mabes Polri semakin panas, apalagi muncul pernyataan sikap para perwira menengah Polri yang meminta Bimantoro ikhlas mundur. Selain itu, muncul berita akan ditangkapnya Bimantoro karena dianggap telah membangkang terhadap perintah Presiden. Bimantoro tidak goyah dan memaksa Presiden melakukan langkah lebih dramatis.

 

Pada 21 Juli 2001, Gus Dur melantik Chaerudin Ismail resmi sebagai pejabat sementara kapolri meski dengan bayaran yang mahal. Pelantikan itu memicu krisis politik baru. DPR meminta MPR segera menyelenggarakan sidang istimewa meski Presiden mengangkat Chaerudin hanya sebagai pejabat sementara kapolri dengan pangkat jenderal penuh bintang empat.

Awalnya, Gus Dur mengira Bimantoro akan mengalah seperti ketika ia mencopot Jenderal Rusdihardjo sebagai kepala Polri tanpa melalui mekanisme di parlemen. Pada awal masa kepemimpinan Bimantoro, terjadi polemik kekisruhan di tubuh Polri. Namun, Presiden dan para pendukungnya pada akhirnya sukses membujuk parlemen agar menerima pengangkatan Bimantoro meski dengan syarat.

 

Tetapi belakangan, muncul ironi baru. Presiden mengulangi kekeliruan dengan memecat Bimantoro dan mengangkat Chaeruddin Ismail tanpa persetujuan parlemen. Situasi pun berbalik, Bimantoro menjadi salah satu pion DPR dalam perang politiknya melawan Presiden.

 

Kegeraman Presiden Gus Dur terhadap Jenderal Bimantoro diakui Menko Polsoskam Agum Gumelar. Ia, pada 10 Juli 2001, dipanggil Presiden ke Istana. Presiden didampingi Sekretaris Kabinet Marzuki Darusman dan Sekretaris Militer Presiden Marsdya Budhy Santoso. Agum sebelumnya tidak diberitahu maksud pertemuan tersebut.

 

Gus Dur menilai Bimantoro banyak sekali melakukan tindakan yang tidak berkenan di hatinya. Termasuk juga Kapolda Metro Jaya Irjen Sofjan Jacoeb. Karena itu, dengan nada yang agak emosional presiden memerintahkan Menko Polsoskam. "Pak Agum harus bersikap tegas dan saya minta untuk menangkap kedua orang itu!"

 

Agum terkejut dengan perintah untuk menangkap kedua jenderal polisi. Ia pun menjawab, "Kalau saya harus menangkap Bimantoro, maka Polri akan pecah. Jadi, saya tidak setuju adanya penangkapan terhadap Pak Bimantoro."

Tidak puas dengan jawaban Agum, dua hari kemudan, pada 12 Juli 2001, Juru Bicara Presiden Yahya Staquf berbicara di sejumlah televisi soal rencana penangkapan Jenderal Bimantoro. Pernyatan itu merupakan perang urat syaraf agar Bimantoro setuju untuk mundur daripada harus ditangkap.

 

Kontraproduktif

Berbagai kebijakan pemerintahan Abdurrahman Wahid pada awalnya dianggap positif karena mampu mengendalikan peran politik militer. Namun, pada akhirnya menjadi menjadi kontraproduktif dan justru menjadi faktor yang mempercepat kejatuhannya.

 

Apalagi, legitimasi pemerintahan Wahid semakin rapuh akibat skandal "Bulloggate" dan "Bruneigate" yang menyeret namanya. Memorandum I dan Memorandum II di parlemen membuka tabir bahwa Gus Dur tak lagi mendapatkan dukungan dari parlemen.

 

Kasus pelantikan Chaeruddin Ismail juga akan dilanjutkan dengan melantik Letjen Johny Lumintang sebagai wakil panglima TNI. Termasuk paket mencopot Jenderal Endriartono sebagai KSAD dan Laksamana Indroko sebagai KSAL. Mereka rencananya akan dilantik pada Senin pagi, setelah pada dini harinya Presiden mengumumkan dekrit.

Berbeda dengan Chaeruddin Ismail, elite militer tidak bersedia dengan iming-iming jabatan tersebut. Para elite militer kompak dan berkumpul di Departemen Pertahanan. Mereka bersepakat dalam situasi kisruh tidak mungkin dilakukan penggantian pemimpin di tubuh TNI.

 

Tanda-tanda kejatuhan Gus Dur sesungguhnya sudah terlihat sejak Januari 2001. Saat itu, ia berencana memberlakukan dekrit presiden untuk membubarkan MPR dan DPR, selain juga kegagalan demi kegagalan Wahid untuk mengganti pucuk pimpinan TNI dan Polri.

 

Sampai akhirnya Gus Dur menerbitkan dekrit presiden yang diberi istilah "Maklumat Presiden". Maklumat itu ternyata tidak dipedulikan anggota MPR dan DPR RI, termasuk dari Fraksi TNI/Polri.

 

Para anggota majelis akhirnya bertekad mencabut mandat yang diberikan kepada Presiden Abdurrahman Wahid dan bersiap menyerahkannya kepada Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri.

Senin dini hari ini juga (23/7/2001) selang beberapa jam setelah keluarnya dekrit, Ketua MPR Amies Rais menyerukan kepada seluruh masyarakat agar tetap tenang dan bekerja seperti biasa. Amien saat itu didampingi seluruh pimpinan fraksi termasuk Matori Abdul Djalil (F-PKB) dan Hari Sabarno (F-TNI/Polri).

Ia menyerukan kepada TNI/Polri untuk tetap berpegang teguh pada Sapta Marga, Tribrata, dan Catur Prasetya. "Karena Dekrit atau Maklumat Presiden tersebut bertentangan jiwa dan aksara dengan konstitusi UUD 1945," cetus Amien berapi-api.

Ia pun meminta kepada seluruh anggota MPR untuk tetap hadir mengikuti SI sampai selesai. Amin mengharapkan para anggota majelis untuk hadir tepat pukul 08.00 WIB karena SI memang akan dipercepat dari rencana semula pada pukul 09.00.

Pada sidang istimewa tersebut, agenda sidang berubah total. Rencana awalnya adalah mendengarkan pertanggungjawaban presiden. Karena dikeluarkannya dekrit, agenda sidang berubah menjadi pencabutan mandat dari Presiden Gus Dur.

 

"Kalau tidak ada halangan, Selasa besok kita sudah memiliki presiden baru dengan mengangkat Megawati menggantikan Abdurahman Wahid," tandas Amien.

Menurutnya, perkembangan politik sekarang ini luar biasa. Namun, pihaknya telah mengantisipasinya dengan melakukan perubahan jadwal yang sudah disepakati oleh pimpinan MPR bersama sembilan fraksi yang ada di MPR.

Ketua Fraksi TNI/Polri MPR Letjen Hari Sabarno mengatakan bahwa pihaknya hanya tunduk dan mengikuti apa yang menjadi putusan MPR. Hal ini berarti bahwa apa yang telah diputuskan majelis dipandang sudah prosedural dan sesuai dengan konstitusi.

Fraksi TNI/Polri hanyalah kepanjangan tangan dari Mabes TNI/Polri untuk hal-hal yang berkaitan dengan politik, yang tentunya sesuai dengan konstitusi. Dengan demikian, bisa dianalogikan bahwa fraksi TNI/Polri menolak permintaan Presiden Gus Dur yang memerintahkan kepada fraksi TNI/Polri mencabut dukungannya terhadap percepatan sidang istimewa.

Isyarat dari TNI dan Polri sebenarnya juga sudah ditunjukkan di lapangan. Satu hari menjelang dikeluarkannya dekrit presiden, pasukan TNI menggelar apel siaga pengamanan SI MPR di Lapangan Monumen Nasional. Gelar pasukan yang dipimpin Panglima Kostrad Letjen Ryamizard Ryacudu itu dilakukan sekitar pukul 19.00 WIB.

Yang menarik, apel dilakukan hanya beberapa meter di depan Istana. Moncong meriam, tank, dan senjata laras panjang justru mengarah ke Istana. Mirip seperti peristiwa 17 Oktober 1952 saat militer menyatakan protes terhadap Presiden Soekarno yang dianggap mencampuri urusan internal tentara. 

"Apel siaga ini upaya mencegah terulangnya kerusuhan massa tahun 1998, menjelang perhelatan SI MPR," ujar Ryamizard. Itulah sebuah isyarat berakhirnya bulan madu antara Presiden dengan TNI.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement