Selasa 02 Sep 2014 16:30 WIB

Merampok Rendra Kembali

Red:

Alkisah, Nyai Adipati Lumajang menggantikan posisi almarhum suaminya, Adipati Lumajang. Legowo, anak sulungnya, dikirim oleh gurunya, Sunan Giri Prapen, ke Mataram untuk membantu Sultan Agung mempersatukan Jawa dan menyadarkan para senopati dari pola hidup yang koruptif. Sedang adiknya, Sudrajat, diam-diam berusahan menggeser kedudukan Legowo sebagai Adipati Lumajang yang baru.

Usaha Sudrajat memfitnah kakaknya membuat ibunya sakit dan akhirnya meninggal. Ia membujuk Sumbogo supaya menyamar sebagai utusan Mataram dan mengabarkan kehidudpan Legowo di Mataram yang bejat, gemar berjudi, dan berfoya-foya, terlilit utang ratusan ribu ringgit, meniduri istri seorang senopati, dan akhirnya menikam senopati itu ketika memergoki perbuatan bejatnya. Ibunya meninggal lantaran mendengar semua kebohongan itu.

Sudrajat juga berusaha merebut pacar Legowo, Roro Kumolo. Tetapi, gadis manis ini mengendus tipu muslihat jahatnya. Roro Kumolo menolak. Fitnah Sudrajat mengenai ibunya membuat Legowo marah kepada ibunya sendiri. Legowo juga marah pada keadaan buruk yang dihadapinya. Ia memutuskan untuk masuk ke dalam hutan dan mengumumkan dirinya akan menjadi perampok dengan nama baru Joko Geger.

Beberapa pendekar yang frustasi terhadap keadaan pemerintahan yang korup itu menyatakan diri bergabung dengan Joko Geger. Banyak pula pengikut baru yang kian membuat Joko Geger makin disegani. Ia merampok harta dari orang-orang yang korup dan mendermakan hasil korupsinya untuk membantu rakyat miskin serta membantu pesantren-pesantren yang mengikuti ajaran gurunya, Sunan Giri Prapen.

Kisah di atas adalah secuil dari drama yang dipentaskan di Taman Ismail Marzuki pada Jumat (29/8). Drama yang berjudul "Perampok" ini ditulis oleh salah satu sastrawan paling berpengaruh di Indonesia, WS Rendra.

Demi memaksimalkan penggambaran suasana yang bernuansa Jawa kental, panggung besar di Graha Bhakti Budaya disulap menjadi sebuah pendopo besar lengkap dengan dekorasi galah-galah bambu pembangun suasana pedesaan. Pementasan ini menampilkan 16 pemain yang salah satunya adalah istri dari Rendra, Ken Zuraida.

Di samping penampilan panggung yang diisi gerak tubuh para pemain, latarnya ditambah dengan iringan tabuhan gamelan. Drama yang berlangsung selama tiga jam ini membawa penonton ke suasana bumi Mataram Islam yang kala itu penuh intrik.

Penulis drama ini, Rendra, memukau dan menantang para aktor dan aktris dalam ceritanya itu untuk mengakhiri drama yang ambisius dan romantis. Penonton juga bisa mengambil pesan dari tokoh Sunan Giri Perapen yang mendukung Sultan Agung untuk mengusir kekuatan dagang "Para Kafir Kulit Putih" dari tanah Jawa. Istilah yang terlalu sarkas ini ditujukan untuk para penjajah Eropa yang saat itu berambisi menguasai seluruh Jawa. 

Bagi sutradaranya, Edi Haryono, pementasan ini sekaligus untuk mengenang dan mengucapkan terima kasih kepada gurunya, Rendra, yang telah berpulang lima tahun lalu. "Rendra telah berpulang pada 6 Agustus 2009 dan mewariskan berbagai ragam ilmu kepada kami murid-muridnya di Bengkel Teater yang bermula di Kampung Ketanggungan, Yogyakarta."

Dari para muridnya itu, kata dia, ilmu Rendra menyebar ke mana-mana. "Karya pentasnya, sejak paruh kedua abad ke-20, meluas dan bergerak urakan, menandai kebugaran pertumbuhan teater modern Indonesia," ujar Edi dalam sambutannya. Berkaitan pula dengan momentum pemilihan presiden yang berlangsung pada Juli lalu, dipilihlah kisah "Perampok" alias "Joko Geger" dalam pagelaran kali ini.

Drama "Perampok" pada 1976 pernah menjadi pusat berita dalam kolom budaya di Tanah Air. Oleh Edi, kisah ini diangkat kembali bersama dengan Kelompok Teater Kewajaran Kedua yang dipimpin olehnya. Edi merupakan salah satu warga Bengkel Teater Rendra. Sejak Rendra wafat, kegiatan budaya yang berporos dari sana nyaris padam. Namun, bagi Edi, tidak surut semangatnya dalam menggalang berbagai dokumen dan kenangan historis bersama Rendra.

Bersama dalam rangkaian acara pementasan ini, Edi dan beberapa sahabat setianya menerbitkan buku berisikan foto-foto dan dokumentasi Rendra. Buku setebal 837 halaman ini berjudul Menonton Bengkel Teater Rendra. Isinya diharapkan mampu membangkitkan semangat seorang Rendra dalam berkarya di dunia seni dan sastra Indonesia.

Seluruh rangkaian acara pementasan "Perampok" dan peluncuran buku itu seolah menjadi jawaban bagi para pengagum Rendra yang rindu akan karya-karyanya. Bagi para seniman, pementasan itu seperti upaya meneruskan perjuangan Rendra di dunia kesusastraan Indonesia. Bersama "Perampok", Ken Zuraida dan para pemain lainnya seolah ingin "merampok" kembali Rendra untuk kembali ke dunia untuk sejenak duduk membahas dinamika sastra Indonesia. rep:c85 ed: dewi mardiani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement