Selasa 02 Sep 2014 14:30 WIB

Rakyat yang Terus Disuruh Membayar

Red:

Ahad (31/8) kemarin, saya bermain futsal di daerah Cilodong, Depok, Jawa Barat. Usai bermain, saya berbincang-bincang sejenak dengan teman sebelum pulang ke rumah. Seorang teman, Michael, tiba-tiba bicara soal kenaikan tarif listrik. "Besok listrik naik lagi, kapan kita bisa hidup untuk hidup saja," kata dia.

Michael menjelaskan, kalimat "hidup untuk hidup" yang dimaksudkannya adalah suatu kondisi yang memungkinkan warga negara bisa menikmati hidup tanpa harus memikirkan beban apa-apa. Tidak memikirkan biaya sekolah anak-anak. Tidak memikirkan uang untuk bayar listrik. Tidak memikirkan antre beli bahan bakar minyak (BBM). Tidak memikirkan biaya-biaya lain yang harus dibayarkan atau dikeluarkan secara rutin.

Praktisnya, teman saya yang asli Manado, Sulawesi Utara, ini sedang memimpikan suatu kondisi dengan negara yang menutupi semua kebutuhan rakyatnya. "Jadinya, kita bisa benar-benar hidup untuk hidup saja. Nggak perlu kerja," celetuknya seraya tertawa.

Dalam pandangan saya, impian Michael memang terlalu muluk. Kalau memang hal itu terjadi, sepertinya hampir bisa dipastikan kita sudah berada di surga. Bagaimana tidak? Semua kebutuhan yang ingin kita miliki sudah ada yang menyediakan: Negara!

Terlepas dari impian surga Michael, saya meyakini, kenaikan tarif listrik per 1 September 2014 pasti akan menghantam sebagian rakyat kecil. Tentunya, mereka yang langsung terkena imbas kenaikan tarif listrik bertahap ini. Contoh nyatanya adalah para pelaku usaha kecil di Yogyakarta dan Bali. Dwi Raharjo, seorang pelaku UKM di Yogyakarta yang menjalankan usaha pembuatan tas dan dompet daur ulang berlabel Bifa Collection, mengatakan, sejak memulai usaha pada 2011, dia telah beberapa kali 'dihantam' kenaikan tarif listrik. Akibatnya, harga produk yang dijualnya pun harus dinaikkan untuk menutupi biaya produksi. "Kalau listrik naik, biasanya beberapa harga bahan baku dan ongkos transportasi juga ikut naik," katanya melukiskan beban yang harus ditanggungnya pada hari-hari mendatang.

Ribuan industri kerajinan kecil di Bali juga benar-benar dibuat kelimpungan atas kenaikan tarif dasar listrik (TDL) per 1 September 2014. Salah satunya, industri kerajinan bahan kuningan di Desa Kamasan, Klungkung. Faktor penyebab utamanya tak lain karena hampir 70 persen proses produksi kerajinan di desa ini menggunakan listrik. "Listrik belum naik saja biaya produksi sudah tinggi. Bagaimana kami mau menjual produk kami kalau begini?" keluh Made Hendra, salah seorang pengrajin di Banjar Pande Kamasan.

Saya tidak mau menuding pemerintah seakan tak mendengar teriakan rakyat kecil terkait kenaikan TDL ini. Entah model teriakan macam apa lagi yang akan disuarakan mereka ketika TDL akan naik lagi November mendatang.

Kenaikan TDL per 1 September kemarin adalah bagian dari rencana pemerintah menaikkan TDL secara bertahap. Sebelum 1 September, TDL sudah naik per 1 Juli 2014. TDL akan naik lagi per 1 November 2014. Menteri ESDM Jero Wacik mengingatkan, kenaikan listrik setiap dua bulan mulai 1 Juli lalu merupakan rencana yang sudah disepakati pemerintah dan DPR.

Alasan pemerintah memilih cara mencicil kenaikan TDL tak lain agar rakyat tidak terlalu terasa beban yang harus mereka bayarkan setiap bulan. Dalam konteks ini, saya ingin mengaitkan alasan pemerintah dengan impian surga Michael, sang kawan. Dengan terus menaikkan TDL (dan kemungkinan besar juga menaikkan harga bahan bakar minyak/BBM bersubsidi), pemerintah bak meminta rakyat untuk terus-menerus membayar. Sementara, eskalasi pendapatan atau kesejahteraan rakyat tidak drastis bergerak naik, beban membayar biaya rutin sudah jelas bertambah terus. Seakan-akan, hanya beban, beban, dan beban saja yang bisa diberikan pemerintah kepada rakyat saat ini.

Di negara lain, misalnya saja beberapa negara di Timur Tengah, pemerintah mereka justru memikirkan bagaimana caranya memberikan sebanyak mungkin manfaat kekayaan yang dimiliki negaranya untuk rakyat mereka.

Sekitar tiga tahun lalu, saya membaca sebuah artikel di mingguan the Economist. Artikel berjudul "throwing money at the street" itu menceritakan bagaimana negara-negara Arab berusaha mendapatkan kesetiaan rakyatnya dengan imbalan uang. Mereka berusaha meningkatkan dana pembayaran langsung dan tak langsungnya ke masyarakat agar rakyat mereka tetap loyal kepada pemimpinnya.

Arab Saudi menaikkan pembayaran pada sektor publik hingga 15 persen dengan mengalokasikan anggaran 36 miliar AS. Libya, Kuwait, dan Bahrain menjanjikan dana bantuan tunai sebagai bayaran atas ketaatan rakyat terhadap penguasa. Bahkan di Kuwait, setiap orang dijanjikan dengan iming-iming uang 4.000 ribu dolar AS dan di Bahrain kesetiaan rakyatnya dihargai dengan banderol 2.500 dolar AS per keluarga. Tidak hanya itu, rakyat Kuwait juga mendapatkan insentif tambahan berupa pemberian paket makanan gratis selama setahun sedangkan pemerintah Bahrain menyiapkan bantuan 100 juta dolar AS untuk membantu setiap keluarga yang terpapar dampak inflasi pangan.

Mungkin kondisi seperti inilah yang diangankan Michael (dan saya yakin juga didambakan kebanyakan rakyat Indonesia). Memang tugas pemerintah untuk memberikan kemakmuran kepada rakyatnya atas limpahan kekayaan alam yang dimiliki negara. Kalau negara yang sudah 69 tahun merdeka ini masih terus-menerus "melanjutkan tradisi" mental meminta rakyat membayar, membayar, dan membayar untuk mengongkosi kerja mereka, saya kira syair lagu berjudul "Negara" yang dikumandangkan penyanyi legandaris Iwan Fals cocok untuk menggambarkan situasi ini. Dalam lagunya, Iwan Fals menyindir negara yang tak bisa memberikan kebebasan biaya pendidikan, kesehatan, menciptakan lapangan kerja, dan berbuat adil serta tidak memihak, ya bubarkan saja.

Oleh EH Ismail

e-mail: [email protected]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement