Senin 01 Sep 2014 18:00 WIB

Mencari Format Sinergi Keduanya

Red:

Oleh: Nurul S Hamami  -- Pertanyaan yang mengusik dan secara komprehensif ingin dijawab dalam Konfrensi Nasional Ilmu Politik yang di selenggarakan oleh Departemen Ilmu Politik FISIP UI pekan lalu tak lain adalah bagaimana memformulasikan bentuk konkret sinergi masyarakat sipil dan partai politik untuk upaya pencapaian demokrasi yang sub stantif. Sinergitas di antara masyarakat sipil dan partai politik amat diperlukan untuk mengatasi berbagai problema kompleks dan saling kait-mengait yang dihadapai negara demokrasi baru.

Binny Buchori, aktivis masyarakat sipil yang kemudian bergabung dengan Partai Golkar sejak lima tahun terakhir, se tuju bahwasannya sinergi di antara ke dua aktor tersebut diharapkan dapat meng hasilkan demokrasi substantif dan sekaligus mengoreksi defisit demokrasi yang selama ini terjadi. Adanya aktor kritis di dalam lembaga legislatif dan partai politik yang mau bekerja sama dengan masyaraat sipil memungkinkan sinergitas tersebut terjadi.

Namun, kata dia, salah satu hambatan yang harus segera diatasi adalah meng hapuskan kecurigaan yang masih cukup kental di antara politisi, partai politik, dan masyarakat sipil. Masyarakat sipil men curigai partai politik serta politisi tidak memiliki agenda dan keinginan untuk menciptakan kesejahteraan, pemajuan dan perlindungan HAM, dan pendalaman demokrasi. Di pihak lain, politisi dan partai politik selalu berpandangan aktivis dan LSM tidak memiliki legitimasi politik dan merupakan agen serta kepanjangan tangan dari kepentingan pemerintah luar negeri dan masyarakat internasional.

Agenda strategis

Di mata Binny, lahirnya beberapa perundangan dari lembaga legislatif yang menyuarakan agenda strategis, seperti keterwakilan perempuan, BPJS, KDRT, dan otonomi desa, menunjukkan kerja sama antara partai politik dan masyarakat sipil mampu menghasilkan kebijakan yang diperlukan masyarakat.

Berbagai laporan dan studi sudah mem bahas bahwa dihasilkannya kebijak an tersebut merupakan hasil kerja sama yang baik antara partai politik, lembaga legislatif, dan organisasi masyaraat sipil (OMS). "Namun demikian belum dapat disimpulkan secara konklusif mengapa isu-isu tadi berhasil didorong menjadi ke bijakan sedangkan banyak agenda stra tegis lainnya yang tetap berada pada prio ritas terbawah," kata Binny.

Ruang untuk mengembangkan relasi di antara partai politik dengan OMS, menurut Binny, juga bergantung kepada life-cycle dari partai politik tersebut. "Apa kah partai politik sudah mulai mengem bang kan dirinya menjadi partai yang ber basis pada program dan kebi ja kan, atau kah masih menjadi partai politik yang di dominasi kepentingan-kepenting an ke lom pok, sarat dengan clientelism, para oligark, dan bergantung kepada figur?"

Partai politik yang sudah berkembang menjadi partai program lebih tertarik dengan kebijakan ketimbang partai figur, dan memiiki kedekatan dengan OMS. Ada kedekatan agenda antara partai program dengan agenda OMS, dan ada kebutuhan timbal balik.

"Banyak analis dan studi yang me nyim pulkan bahwa partai politik di In do nesia belumlah mencapai tahap men jadi partai program," ungkap Binny. " Partai politik masih menjadi ajang kontestasi ke lom pok kepentingan, terutama kepenting an bisnis. Meskipun di dalam berbagai partai di Indonesia terdapat aktor kritis, na mun kontestasi yang kental antara kepentingan bisnis dan agenda strategis terlalu kuat untuk dapat dimenangkan oleh kelompok aktivis."

Dengan demikian, syarat adanya format sinergi yang baik antara aktor kritis dan OMS adalah adanya partai atau setidaknya syarat-syarat minimal sebuah partai program.

Binny berpendapat, sulit untuk men definisikan sebuah format kerja sama yang ideal antara aktor kritis di institusi politik formal dan masyarakat sipil. "Saya rasa tidak ada sebuah resep manjur yang bisa kita gunakan untuk segera menciptakan kerja sama yang ideal. Yang lebih penting dilakukan adalah mengupayakan agar terjadi enabling environment serta terpe nuhinya syarat-syarat agar partai politik di Indonesia berubah dari partai figur menjadi partai program."

Menurut Binny, mungkin yang lebih tepat adalah menentukan arena-arena kerja sama di antara aktor-aktor kritis dan masyrakat sipil untuk mendorong terpe nuhinya syarat-syarat lahirnya partai program. Perlu dicatat, bahwa dalam pengalaman selama ini, aktor kritis di dalam partai dan di dalam parlemen pada umumnya berasal dari masyarakat sipil, progresif, dan merupakan minoritas di partai politik.

Kenyataan lainnya, aktor kritis meng hadapi tantangan yang berat untuk me miliki peran lebih besar di tengah-tengah partai politik yang masih mengandalkan patronase, figur, dan bukan program. "Masyarakat sipil dapat membantu aktor kritis dengan menaikkan legitimasi serta kredibilitas aktor kritis di hadapan para elite partai," sebut Binny.

Fenomena Jokowi

Andrinof Chaniago, dosen di Depar temen Ilmu Politik FISIF UI, memulai paparannya di sesi ini dengan sebuah pendahuluan mengenai kemunculan feno mena Joko Widodo (Jokowi). Menurutnya, pergerakan mobilitas vertikal Jokowi dalam dua tahun terakhir dari seorang wali kota di sebuah kota menengah-kecil ke gubernur DKI, lalu ke posisi presiden RI, memunculkan sejumlah fenomena baru dalam politik Indonesia.

Selain mobilitas vertikalnya yang begitu mencolok di antara tokoh-tokoh politik, kemunculan Jokowi dalam dua kompetisi politik, Pemilukada DKI 2012 dan Pilpres 2014, juga diiringi kemunculan arah baru dalam partisipasi masyarakat sipil. "Kita bisa melihat keterlibatan yang le bih aktif dan terbuka aktor-aktor ma sya rakat sipil dibanding pada penye lenggaraan kompetisi-kompetisi politik sebelumnya," ungkap Andrinof.

Menurut Andrinof, Jokowi bukan satusatunya tokoh politik yang berhasil menjadi magnet keterlibatan aktif dan terbuka tokoh-tokoh masyarakat sipil. Pada Pemilukada DKI 2012, Faisal Basri juga menjadi magnet bagi sejumlah tokoh dan kelompok aktivis masyarakat sipil. Meskipun hanya berhasil meraih per olehan suara 5 persen, keterlibatan aktoraktor masyarakat sipil dalam mendukung Faisal memperlihakan kehadiran sekelom pok aktivis masyarakat sipil dengan warna ideologi tersendiri, yakni faham anti kemapanan yang lebih kuat.

Setahun kemudian, pada Pemilukada Jawa Barat, keterlibatan aktor-aktor masyarakat sipil yang cukup aktif dan terbuka beraksi atas nama kepentingan masyarakat sipil, kembali tampak. Kali ini mereka hadir bersama salah satu pasangan calon, Rieke Diah Pitaloka dan Teten Masduki. "Kehadiran mereka di sini mudah dipahami, karena meskipun Rieke- Teten diusung oleh PDIP, namun keduanya berlatar belakang pegiat masyarakat sipil," jelas Andrinof.

Ketiga peristiwa di atas terjadi ber turut-turut dalam kurun tiga tahun terakhir dan memperlihatkan garis penan da partisipasi politik masyarakat sipil yang melampaui garis yang selama ini mereka buat. Perkembangan tiga tahun ini, papar Andrinof, mengindikasikan fenomena baru bagaimana para aktor masyarakat sipil melakukan eksperimen politik memasuki proses politik formal dan sebagian dari mereka juga bereksperimen melakukan kerja sama politik dengan partai dan politisi partai.

Pada masa Pilpres 2014 ini, menurut Andrinof, hampir semua tokoh utama dari organisasi-organisasi masyarakat sipil turun tangan memberikan dukungan kepada Jokowi sebagai capres. Sebagian mem berikan dukungan sembunyi-sem bunyi, tapi sebagian lain memberikan dukungan secara terang-terangan.

"Seknas Jokowi mungkin salah satu objek kajian yang bisa mengungkap feno mena turun tangannya masyarakat sipil ke dalam politik praktis, yang berbeda dari sekadar aksi perlawanan rakyat sesaat," kata Andrinof. Di Seknas Jokowi akan ditemui tokoh-tokoh dan mantan tokoh-tokoh LSM dari berbagai jenis gerakan sosial.

Selain aktor-aktor masyarakat sipil yang lama berkecimpung di organisasiorganisasi nonpemerintah (NGO), lanjut Andrinof, pada barisan pendukung Jokowi-JK juga terlihat aktor-aktor yang dalam literatur dikenal sebagai aktor gerakan sosial baru dan kelas menengah kota. Para pegiat media sosial dan profe sional TI hanyalah salah satu unsur dalam kelompok ini.

Dalam catatan Andrinof, terbentuknya kerja sama yang lebih rapat antara aktoraktor masyarakat sipil dan politisi partaipartai politik dalam Pilpres 2014 disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kelangkaan tokoh calon pemimpin dan ancam an menguatnya kekuatan oligarki yang menguasai sumber ekonomi, lembaga politik formal, dan media massa.

Faktor kedua, makin kaburnya ideologi ekonomi dari ekonomi yang berpihak kepada rakyat. Ketiga, tergantungnya harapan pada sosok Jokowi untuk melewati titik genting bagi masyarakat sipil yang dipercaya sebagai sosok yang bersih, sederhana, merakyat, dan tidak terlihat memiliki agenda kepentingan sempit. "Paling tidak, ketiga hal inilah yang membuat aktor-aktor masyarakat sipil tidak punya pilihan lain kecuali terlibat melampaui peran selama ini," kata Andrinof.

Secara kuantitas dan frekuensi aksi, Andrinof menilai, jumlah aktor masyarakat sipil yang terjun ke arena politik praktis ini sangat besar. Juga tidak bisa diingkari oleh Jokowi maupun partaipartai pengusung bahwa tanpa kekuatan ini, mustahil mereka bisa mengimbangi kekuatan kubu Prabowo-Hatta.

Oleh karena itu, di tengah bayangbayang ancaman kekuatan Koalisi Merah Putih di masa pemerintahan Jokowi-JK sampai tahun 2019, Jokowi merasakan dukungan dari masyarakat sipil dan relawan sangat diperlukannya. "Perasaan butuh ini telah diungkapkan oleh Jokowi sendiri," kata Andrinof.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement