Ahad 31 Aug 2014 15:00 WIB

Perkampungan Adat di Sijunjung

Red: operator

Bertamu ke Perkampungan Adat Sijunjung memberi pengalaman kaya tentang kehidupan kampung dengan sistem matrilineal.

Zaimah Guwa Tobo (74 tahun) berusaha memahami ucapan kami dari gerak bibir kami. Sudah lama pendengarannya berkurang. Akhirnya, ia menangkap juga maksud kami me nanyakan usia rumah yang dihuninya. `'Nenek saya sudah ada di sini sejak lahir, dua tahun lalu dia meninggal, umurnya 100 tahun,'' katanya.

Adalah Datuk Panghulu Sati, penghulu Desa Koto Padang Ranah Dan Tanah Bato yang menunjukkan pada kami bahwa rumah tertua di tempatnya adalah rumah almarhum Datuk Pamatang Sati. `'Sekarang dihuni nenek-nenek,'' katanya.Kayu rumah gadang itu kusam, tak menyembunyikan usianya yang lanjut.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:edwin dwi putranto/Republika

 

Kabel neon di dalam rumah itu menjuntai bak tali jemuran. Sebuah tripleks menutupi bagian dinding yang rusak berlubang. Tak banyak hiasan di dindingnya selain kalender dan jam dinding.

Ada beberapa foto dalam bingkai yang disangkutkan di dinding. Namun, Zaimah tak bisa menjelaskan kaitan orang-orang dalam foto itu dengan rumah tua tersebut.

Rumah gadang Zaimah adalah satu dari puluhan rumah gadang di Perkampungan Adat Sijunjung, Sumatra Barat.

Perjalanan ke masa silam Sekitar dua jam kami berkendara menyusuri jalan lintas Sumatra dari Koto Marapak, Kabupaten Agam, ke Sijunjung, Kabupaten Pasaman. Dari jalan uta ma, sudah ada petunjuk jalan menuju desa adat.

Kami tinggal mengikuti jalan yang pada Jumat itu cukup sepi.Begitu masuk kampung yang dituju, pemandangan di depan mata membuat napas saya tertahan sementara. Menyaksikan rumah bagonjong saling bersebelahan di kiri dan kanan ruas jalan. Rumah-rumah tua yang tertata rapi di jalan yang bersih itu seolah menyedot saya ke abad silam. Warna kayu rumah yang pudar itu menegaskan bahwa umur bangunan sudah lanjut. Hanya antena para bo la di halaman beberapa rumah yang me nyadarkan saya akan kekinian.

Mobil melaju meng ikuti jalan itu. Benar, kampung itu ada di sepenggal jalan tersebut.Setengah ruas jalan itu terdapat pertigaan, ada patung perempuan berpakaian tradisional di tengahnya.`'Kampung ini berisi 76 rumah gadang,''kata Asri Datuk Lubuk Kayu (50 tahun).

Orang-orang menyarankan kami menemui lelaki itu untuk bercerita soal kampung ini. Ia sendiri menghuni rumah gadang milik keluarga istrinya, Rosmiati. Rumah gadang adalah rumah milik keluarga pihak perempuan.

Meski begitu, Asri mengaku satu di antara beberapa orang di kampung itu yang ditugasi menjelaskan pada orang-orang yang datang setelah para tokoh masyarakat setempat bersepakat menerima kampung mereka dijadikan cagar budaya.

Ia bercerita, semua rumah di kampung itu menghadap ke jalan.'Sesuai kesepakatan para orang tua dulu,'' kata Asri. Sejak zaman dulu pula, para orang tua telah ber sepakat bahwa kampung ini hanya dihuni oleh enam suku, yakni suku Caniago Nan Sembilan Sapuluah Jo Patopang, Piliang, Malayu, Tobo, Panai, dan Malayu Tak Timbago.

Ada beragam model rumah gadang di sana. Rumah gonjong bentuk dasar dengan jumlah gonjong empat. Ada yang sudah ditambahi teras, ada yang ditambah anjungan di kiri kanannya. Ada yang berukir dan berjendela kaca. Ada yang terbuat dari kayu keseluruhan, polos tanpa ornamen apa pun.`'Model rumah tergantung dana peng huninya,'' kata Asri.

Yang menarik, rumah gadang sederhana yang dihuninya mempunyai ruang dapur yang cukup luas. Tampak keluarga ini telah memperluas dari ukuran awalnya. Dapur dan ruang makan itu jauh lebih luas dari rumah induknya.

`'Kalau ada acara kaum (keluarga dari pihak istri--Red) yang kami masak-masak sampai di situ,'' katanya menunjuk sudut lebih jauh dari dapurnya. Di rumah itu, kaum menggelar acara adat. Mulai gelar pusako yang dihadiri lebih dari 200 orang, acara yang bersifat doa-doa dengan hadirin sekitar 30 orang.

Kampung Koto Padang Ranah Dan Tano Bato, menurut penghulu kampung, dihuni 251 dengan sekitar 700 orang war ga. Tak seperti di banyak tempat lain, sebagian besar rumah gadang di tempat ini berpenghuni.Atau setidaknya, di halamannya terdapat ru mah baru yang dihuni keluarga.

Perkampungan ini hidup. Warganya bertani. Mereka menanam sayur, padi, tanaman keras seperti karet, kelapa, kopi, dan cokelat.Bertamu ke rumah warga Datang dari kawasan Bukittinggi, udara Sijunjung terasa benar panasnya. Sambil menyusuri jalanan di bawah sinar matahari yang terik, saya berkunjung ke rumah Ermini Hastuti (58 tahun) dari suku Pani.

Seperti warga kampung lainnya yang ramah, ia melambai-lambaikan tangan, mengajak singgah ke rumahnya. Perempuan yang menjual ketupat sayur di teras rumahnya itu menyuguhi kami minum yang bisa menyegarkan tubuh yang kegerahan.

Ia mengajak kami melongok ke rumah gadang di sebelah kanan rumahnya yang tak dihuni lagi. Dipertahankan, namun dalam kondisi terbengkalai. `'Butuh uang banyak untuk memperbaikinya,'' kata wanita ini.Rumah gadang keluarga Ermini dalam kon disi terkunci. Kayu-kayunya mulai rapuh.

Rumah itu masih dalam bentuk asli, bahkan kaki-kakinya tidak menancap ke dalam tanah, namun berdiri di atas umpak. Karena itu, `'Rumah ini tahan gempa,'' ungkapnya, bangga.

Namun, uniknya, tak satu pun di antara rumah-rumah kampung adat itu memiliki rangkiang. Bangunan kecil yang merupakan lumbung itu biasanya dibangun di depan rumah. Rumah gadang biasanya pun memiliki bak kecil di dekat tangga, tujuannya untuk mencuci kaki sebelum masuk rumah.

Yang lebih lengkap lagi ada tempat menambatkan kuda. Namun, semua itu tak ada di perkampungan ini.`'Kami menyimpan beras hasil panen dalam palobek,''kata penghulu kesembilan dalam urutan keluarganya seraya menepuk semacam kotak kayu setinggi setengah meter. Kotak kayu yang bisa dibuka dari atas itu bisa digunakan untuk tidur-tiduran atau duduk-duduk.

Berkunjung ke Perkampungan Adat Sijunjung memang mengasyikkan. Apalagi bila kita bertamu ke rumah mereka, menikmati dagangan di depan rumah mereka, dan menikmati shalat berjamaah di masjid bersama mereka.

ed:Nina Chairani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement