Jumat 29 Aug 2014 14:00 WIB
sudut pandang

BBM Subsidi dan Kebijakan Galau Pemerintah

Red:

Antrean konsumen mengular di SPBU, stok Premium di SPBU habis, dan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi menjadi langka di pasaran merupakan fenomena yang kerap terjadi di Indonesia menjelang pengujung tahun. Saking rutinnya, ketiganya seakan menjadi sebuah siklus tahunan.

Konsumsi BBM subsidi sudah melampaui kuota yang ditetapkan dalam Anggaran Pendadapat dan Belanja Negara (APBN). Jika (konsumsi) tidak dibatasi, maka keuangan negara akan jebol akibat harus menanggung beban subsidi yang besar. Begitulah kira-kira alasan yang selalu disampaikan pemerintah mendekati akhir tahun.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Edwin Dwi Putranto/Republika

Pasokan BBM Subsidi

 

Pembatasan BBM bersubsidi sebenarnya bukan isu baru. Berbagai langkah untuk meredam lonjakan konsumsi Premium subsidi sebenarnya sudah pernah disampaikan pemerintah. Namun, lagi-lagi kesemua itu menjadi sebuah kebijakan yang tak matang.

Pada 2008, misalnya, di saat harga minyak dunia melonjak pemerintah meluncurkan tiga opsi pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Opsi pertama, menggunakan kartu pintar (smart card). Opsi kedua, melarang kendaraan produksi di atas tahun 2000 memakai BBM bersubsidi. Opsi ketiga, melarang kendaraan bermesin di atas 2.000 CC menggunakan BBM bersubsidi.

Kemudian di pertengahan 2009, saat harga minyak dunia kembali melambung, BPH Migas secara diam-diam melakukan uji coba smart card di Bintan, Kepulauan Riau. Namun, tidak ada tindak lanjut dari uji coba tersebut. Pada 2010, wacana pembatasan itu muncul lagi. Dengan alasan tak siap, kebijakan tersebut diundur dari Oktober 2010 menjadi Januari 2011 dan kemudian diundur lagi menjadi Maret 2011. Namun, saat Maret tiba, konsumsi BBM urung dibatasi.

Di pengujung tahun 2012, Pemerintah kembali dibuat pusing oleh lonjakan konsumsi bensin bersubsidi. Untuk mengatasinya, BPH Migas kembali melontarkan gagasan soal pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Hari Tanpa Bensin Bersubsidi, demikian gerakan yang diusung oleh BPH Migas. BPH Migas menginstruksikan, khusus pada 2 Desember 2012, seluruh SPBU di Jawa-Bali dan lima kota besar di luar Pulau Jawa-Bali seperti Medan, Batam, Palembang, Balikpapan, dan Makassar diinstruksikan untuk tidak melayani penjualan BBM bersubsidi dari pukul 06.00-18.00.

Saat itu banyak pihak yang meragukan Gerakan Hari Tanpa Bensin Bersubsidi ini akan terlaksana dengan aman dan lancar. Keraguan tersebut muncul karena adanya kerusuhan sosial di Barong Tongkok, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, yang diduga dipicu oleh kelangkaan BBM bersubsidi.  Akibat dampak sosial yang makin meluas, Pertamina pun memutuskan untuk menghentikan pengendalian (pembatasan) pasokan BBM subsidi pada 25 November 2012. Sekali lagi cara instan yang digunakan pemerintah untuk membatasi konsumsi BBM bersubsidi menemui hambatan.

Kini, di akhir masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) persoalan BBM subsidi kembali mencuat. Jika konsumsi tidak direm, Pertamina memprediksi kuota BBM bersubsidi akan jebol sebesar 1,35 juta kiloliter. Angka ini setara dengan beban subsidi sekitar Rp 2 triliun yang harus ditanggung negara. Berdasarkan data Pertamina, sisa kuota premium subsidi per 18 Agustus 2014 tinggal 10 juta kiloliter, sedangkan solar tersisa 5,5 juta kiloliter.

Seperti yang sudah-sudah, pemerintah kembali menempuh berbagai cara. Dalam surat edarannya kepada tiga penyalur BBM bersubsidi, BPH Migas meminta waktu penjualan solar bersubsidi di SPBU di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Bali akan dibatasi hanya pukul 08.00 hingga 18.00. Langkah selanjutnya ialah menghentikan penjualan Premium di sedikitnya 24 SPBU di pinggir jalan tol.

Dalam pelaksanaannya, Pertamina sebagai penyalur BBM subsidi yang mendapat kuota terbanyak memperluas kebijakan pembatasan konsumsi dengan melakukan penjatahan Premium dan solar bersubsidi ke setiap SPBU. Sejak kebijakan ini diberlakukan hampir sepekan, antrean panjang konsumen demi mendapatkan BBM bersubsidi menjadi pemandangan yang menghiasi SPBU.

Atas desakan pemerintah, Pertamina akhirnya memutuskan untuk meninjau ulang kebijakan penjatahan ini. Untuk kesekian kalinya cara instan yang digunakan untuk menekan konsumsi BBM bersubsidi gagal di tengah jalan. Maju mundurnya kebijakan pembatasan BBM itu mencerminkan kegalauan pemerintah dalam mengatur tata niaga BBM bersubsidi. Tetapi, tanpa kebijakan yang konkret untuk jangka panjang, pemerintah bakal kelimpungan sendiri. Ibarat pepatah, bagai makan buah simalakama.

Nidia Zuraya

twitter: @needeea

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement