Senin 27 Jun 2022 09:15 WIB

'Politik Uang Jadi Masalah Serius di 2024, Politisi Pun Diklaim Jengah Politik Uang'

Reformasi sistem pemilu untuk menanggulangi politik uang menjadi agenda mendesak.

Kampanye Pemilu anti politik uang
Foto: Antara
Kampanye Pemilu anti politik uang

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politik uang dinilai masih menjadi persoalan serius yang harus diberantas di Pemilu 2024. Demikian salah satu kesimpulan utama Webinar Sekolah Demokrasi LP3ES – KITLV – UNDIP – PPI Leiden bertajuk “Mendorong Kelahiran Pemimpin Alternatif Hasil Pemilu 2024”. Webinar menghadirkan sejumlah pakar politik ekonomi, politisi, maupun peneliti dan pelajar Indonesia yang tengah menuntut ilmu di Belanda. Webinar berlangsung sejak pertengahan pekan lalu hingga akhir pekan lalu. 

Dalam rilis yang diterima pers, kemarin, disebutkan secara umum, problem politik uang dalam pemilu menjadi satu topik yang terus mengemuka selama tiga hari sekolah demokrasi, dan menjadi persoalan mendesak menuju 2024. Dalam hal ini, dari berbagai persoalan yang didiskusikan, reformasi sistem pemilu untuk menanggulangi politik uang dilihat sebagai agenda paling mendesak dan paling mungkin diwujudkan. 

Pertama, pada dasarnya semua pihak setuju dengan pemilu yang bebas dari politik uang, dari mulai akademisi paling idealis hingga politisi yang paling konservatif. "Tidak hanya akademisi, para politisi juga jengah dengan jebakan politik uang," demikian rilis menyebutkan. Para politisi ini pada dasarnya mengeluh dengan pembelian suara dalam pemilu, namun mereka tak kuasa untuk menolaknya. 

Di sini, “jebakan informalitas” dapat menjelaskan mengapa politik uang terjadi. Ini adalah situasi di mana politisi merasa khawatir tidak akan menang pemilu tanpa politik uang, sehingga mereka melakukannya. Di sisi lain, warga negara merasa mereka harus menerima dan bahkan “meminta uang” kepada politisi, karena itu satu-satunya kesempatan mereka bisa ikut mendapat insentif dari proses elektoral yang ada. 

Sedangkan pengusaha, mereka merasa harus membayar kepada politisi dalam pemilu, karena khawatir bisnis mereka akan terkendala kebjakan jika tidak melakukannya. Inilah satu situasi yang dalam ilmu politik disebut sebagai masalah tindakan kolektif.

Hal ini yang menurut Ketua Dewan Pengurus LP3ES Prof Didik J Rachbini membutuhkan jalan panjang untuk penyelesaiannya. Dalam pandangannya, Prof Didik malah menyebutkan bisa saja Indonesia membutuhkan waktu empat pemilu lagi untuk menyelesaikan problem sistem politik termasuk politik uang itu.

Sekolah Demokrasi juga menekankan pentingnya kedudukan para politisi. Semua reformasi di bidang lain membutuhkan politisi, baik yang di legislatif maupun eksekutif, yang progresif. Selain progresif, si politisi harus pertama-tama memiliki keterikatan dengan para pemilihnya. Misalnya saja, untuk dapat mau meloloskan paket kebijakan comprehensif mewujudkan negara kesejahteraan, kita membutuhkan politisi yang menyetujuinya. Agar bisa mencipta satu paket kebijakan yang berpihak kepada kelestarian alam, dibutuhkan politisi yang sadar akan politik hijau. Demikian seterusnya. Dengan kata lain, reformasi sistem pemilu ini akan menjadi awal untuk reformasi lainnya.

Ward Berenschot, peneliti KITLV Leiden, yang juga guru besar Universitas Amsterdam menilai tantangan demokrasi di Indonesia masih berkisar pada tingginya tingkat korupsi, oligarki, parpol yang perlu dibenahi. Tantangan terasa semakin besar, semakin berbahaya bagi demokrasi. "Akan banyak orang yang frustrasi dan memilih berpikir pintas untuk mengembalikan saja keadaan ke era diktator pada masa yang lalu," kata dia.

Ada beberapa akar masalah, menurut Ward, yang memang harus diatasi terkait sistem elektoral. Tetapi bukannya tanpa ide pemecahan misalnya dengan memperkuat wewenang Bawaslu, perbesar anggarannya, juga prasyarat hukumnya. Penting untuk mengerti dengan baik sistem politik yang ada sekarang. Memahami bagaimana titik masuk untuk bisa menghentikan praktik-praktik jual beli suara atau korupsi pemilu.

Gita Dwi Damara dan Kemal Farizan, perwakilan Perhimpunan Pelajar Indonesia di Leiden, Belanda, menilai persoalan politik uang tidak bisa lepas dari tingkat kesejahteraan sebagian besar rakyat Indonesia. Tingkat kesejahteraan ini menentukan sejauh mana kesadaran rakyat untuk mau atau menolak politik uang. 

"Masyarakat Indonesia tidak akan punya kesadaran akan pentingnya pembasmian korupsi, politik uang, pentingnya kelestarian lingkungan dan berbagai isu-isu lainnya apabila kebutuhan primer dan kesejahteraan mereka belum terpenuhi," kata Gita. 

Kemal menambahkan, politik uang dan korupsi terjadi karena masih kurangnya tingkat kesejahteraan masyarakat, karena secara logika masyarakat masih membutuhkan uang untuk mencukupi kebutuhan primernya.Pemikiran akan untuk mengatasi isu-isu tersebut mungkin masih tidak terlu terpikirkan oleh mayoritas masyarakat di Indonesia. 

Keduanya lalu membandingkan  negara Belanda yang memang kesejahteraan masyarakatnya sudah terpenuhi dengan baik, seperti pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, tingkat pendapatan, tempat tinggal layak, kecukupan pangan dan sebagainya. Sehingga masyarakat Belanda tidak perlu lagi memikirkan hal-hal primer yang memang sudah dijamin oleh negara dan pada akhirnya korupsi bisa hilang sendirinya, tidak ada politik uang dan masyarakat dan pemerintah disini bisa fokus kepada hal-hal penting lain seperti isu lingkungan, kesetaraan gender dan hal-hal lain demi kemajuan negara.

"Oleh karena itu, akar solusi dari segala masalah yang ada di Indonesia adalah kesejahteraan masyarakat Indonesia itu sendiri," kata mereka. Oleh karena itu satu langkah utama yang perlu dilakukan oleh pemimpin kedepannya adalah bagaimana pemerintah dapat menjamin kebutuhan dasar dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, sehingga apabila kesejahteraan sudah terpenuhi, niscaya lambat laun segala masalah yang ada di Indonesia dapat teratasi. 

sumber : Rilis
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement