Kamis 19 May 2022 23:41 WIB

Deddy Yevri Apresiasi Keputusan Jokowi Cabut Pelarangan Ekspor Minyak Sawit

Keputusan tersebut diumumkan oleh Presiden Joko Widodo melalui keterangan resminya.

Presiden Joko Widodo saat mengumumkan kebijakan pemerintah untuk membuka kembali ekspor minyak goreng dan bahan bakunya mulai 23 Mei 2022, di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (19/5/2022). Presiden menjelaskan bahwa pemerintah terus melakukan pemantauan sekaligus mendorong berbagai langkah untuk memastikan ketersediaan minyak goreng bagi masyarakat, sejak larangan ekspor diberlakukan bulan lalu.
Foto: ANTARA/HO-Biro Pers Setpres
Presiden Joko Widodo saat mengumumkan kebijakan pemerintah untuk membuka kembali ekspor minyak goreng dan bahan bakunya mulai 23 Mei 2022, di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (19/5/2022). Presiden menjelaskan bahwa pemerintah terus melakukan pemantauan sekaligus mendorong berbagai langkah untuk memastikan ketersediaan minyak goreng bagi masyarakat, sejak larangan ekspor diberlakukan bulan lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Sitorus menyatakan pihaknya mengapresiasi keputusan Presiden Jokowi yang  mencabut kebijakan penghentian sementara (moratorium) ekspor CPO dan turunannya, pada Kamis (19/5/2022).

“Menurut saya memang sudah saatnya, saat ini sudah banyak pabrik pengolahan sawit atau PKS yang tutup karena sudah tidak mempunyai tangki penyimpanan produk CPO sehingga sawit rakyat membusuk di lapangan,” kata Deddy melalui keterangannya kepada media, Kamis (19/5/2022).

Baca Juga

Deddy memang sejak awal konsisten menolak moratorium itu. Alasannya, kata dia, hal itu hanya akan merugikan petani kecil. Pemerintah sendiri menerima banyak keluhan dari kelompok petani atas keputusan itu. Dan akhirnya Pemerintah membuka keran ekspor minyak goreng dan crude palm oil (CPO) mulai Senin besok, 23 Mei 2022.

Keputusan tersebut diumumkan oleh Presiden Joko Widodo melalui keterangan resminya secara virtual, Kamis (19/5/2022).

Menurut Deddy, Moratorium ini memang tidak mungkin dilakukan terlalu lama. Sebab yang akan terpukul paling keras itu adalah rakyat petani di bawah. Moratorium, kata dia, membuat PKS menghentikan pembelian tandan buah segera (TBS) yang diproduksi petani skala kecil. Kalaupun dibeli, harganya jatuh hingga lebih dari 50 persen. 

“Padahal itu sumber penghasilan utama petani rakyat,” ujar Anggota Fraksi PDI Perjuangan tersebut. 

Tidak hanya itu, masih menurut dia, moratorium juga membuat petani kesulitan untuk membeli pupuk dan pestida yang harganya juga sudah melonjak tajam. Maka jika moratorium dibiarkan terlalu lama, menurut Deddy, maka bisa dipastikan produktivitas petani tahun depan akan melorot jauh dan bisa memicu kelangkaan lagi di tahun berikutnya.

“Apalagi jika petani memiliki tanggung jawab kepada pihak ketiga seperti bank, kredit angkutan, dan lainnya. Oleh karena itu, saya sangat menyambut baik pencabutan moratorium ekspor sawit ini,” ujarnya.

Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Kalimantan Utara ini juga berharap agar pemerintah sudah menyiapkan strategi dan kebijakan jangka panjang untuk memastikan masalah kelangkaan dan harga yang terlalu tinggi tidak terulang di masa yang akan datang. 

“Menurut saya, kuncinya ada di hulu, yaitu  pada penetapan harga TBS dan CPO khusus untuk minyak curah dan kemasan sederhana yang menjadi konsumsi rakyat kecil,” kata dia. 

Untuk itu pemerintah harus memberlakukan kembali kebijakan Donestic Market Obligation (DMO) dan Harga Eceran Tertinggi (HET) terpadu untuk menjamin tersedianya pasokan secara terus menerus. 

“Mudah-mudahan pemerintah sudah punya solusi terkait masalah pasokan ini, jantungnya ada di sana. Jika pemerintah memberlakukan kembali DMO dan HET, maka syaratnya adalah penguasaan pemerintah terhadap CPO dan minyak goreng tersebut agar tidak terjadi manipulasi, spekulasi dan penyeludupan. Jadi pemerintah harus menguasai barangnya”, ungkap Deddy. 

Masalah penting lain adalah distribusi. Kata Deddy, khusus untuk minyak goreng curah dan kemasan sederhana hasil DMO, juga harus dalam penguasaan atau pengawasan ketat pemerintah. Jika dilepas ke pasar, maka akan kembali rentan terhadap manipulasi, spekulasi dan penyeludupan. 

“Pemerintah bisa menugaskan BUMN dan BUMD atau koperasi atau swasta yg terverifikasi untuk menyalurkan  kepada pengusaha kecil, pasar tradisional atau konsumen masyarakat bawah,” kata Deddy.

Deddy juga berharap agar pengaturan tata niaga dan distribusi CPO dan turunannya dikembalikan kepada Kementerian Perdagangan sesuai perintah UU Perdagangan dan UU Pangan. Dirinya juga berharap agar Badan Ketahanan Pangan ditugaskan untuk menjadi pengawas dari seluruh rantai pasok sawit dan turunannya serta komoditas-komoditas penting lainnya.

Lebih jauh, Deddy menilai moratorium ini memberikan pelajaran berharga bagi pengusaha dan pengambil kebijakan, bahwa semua pihak bisa berdarah-darah. 

“Maka itu, Semoga perbaikan tata niaga dan rantai pasok dilakukan secara fundamental, jika tidak akan sia-sia. Sudah puluhan triliun uang yang berputar didalam industri sawit dan produk turunannya terbuang percuma, jangan sampai tidak ada perbaikan yang signifikan,” kata Deddy. 

“Saya juga menitip kepada pemerintah agar penegakan hukum dilakukan secara transparan dan adil, tidak saja kepada pengusaha sawit yang nakal, tetapi juga para spekulan dan pelaku penyeludupan serta pabrik yang memainkan sawit produksi rakyat,” ujar dia menambahkan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement