Kamis 03 Dec 2020 05:04 WIB

Epidemiolog: Kebijakan Sekolah Tatap Muka Belum Tepat

Menakar kesiapan perlu dilihat kondisi setiap provinsi, kabupaten atau kota.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Muhammad Fakhruddin
Epidemiolog: Kebijakan Sekolah Tatap Muka Belum Tepat (ilustrasi).
Foto: ANTARA/Ampelsa
Epidemiolog: Kebijakan Sekolah Tatap Muka Belum Tepat (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Epidemiolog UGM, Bayu Satria Wiratama mengatakan, keputusan untuk memulai pembelajaran tatap muka di sekolah perlu melibatkan banyak elemen. Mulai dari Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, sampai pakar-pakar epidemiologi.

Ia menilai, mereka diperlukan untuk membantu merumuskan langkah-langkah yang perlu diambil masing-masing daerah. Mulai asesmen kesiapan sampai manipulasi infrastruktur karena pengambilan keputusan tidak cukup didasarkan kepada zonasi resiko Covid-19. "Zonasi kurang bagus akurasinya, perlu ditambah dengan parameter lain seperti positivity rate juga," kata Bayu, Rabu (2/12).

Untuk positivity rate sendiri diharapkan berada di bawah angka lima persen. Namun, indikator ini perlu dilihat masing-masing daerah, bukan indikator nasional. Selain tracing, dilihat kasus aktif, kasus baru, ketersediaan tempat tidur RS dan lainnya.

Bayu berpendapat, keputusan pemerintah memperbolehkan pembelajaran tatap muka pada Januari mendatang belum tepat jika melihat data Covid-19 di Indonesia secara umum. Sebab, menakar kesiapan perlu dilihat kondisi setiap provinsi, kabupaten atau kota. "Karena ada daerah yang memang kasusnya dari awal sedikit dan tergolong bagus, mungkin di situ bisa dipertimbangkan," ujar Bayu.

Selain itu, protokol kesehatan Covid-19 yang umum seperti menjaga jarak, memakai masker dan mencuci tangan konteks KBM di sekolah perlu tambahan. Berupa pengawasan harian kondisi murid, guru dan orang tua murid, pengaturan jam kelas lebih pendek.

Lalu, pengaturan posisi duduk di kelas dan ruang guru, serta memastikan setiap kelas memiliki ventilasi yang baik. Ia menambahkan, perlu asesmen yang lebih detil lagi untuk pembukaan sekolah bagi jenjang SD dan jenjang-jenjang pendidikan di bawah. "Karena lebih sulit untuk memastikan setiap siswa dapat tetap menerapkan protokol kesehatan," kata Bayu.

Untuk itu, Bayu merasa, masih perlu upaya-upaya lebih mulai kesiapan guru, edukasi ke anak untuk persiapan mengikuti pembelajaran tatap muka, pengawasan saat belajar, hingga pengaturan jam belajar. Usia SD ke bawah jadi yang tersulit kenakan masker. "Jadi, tingkat kesulitannya memang lebih tinggi dibandingkan dengan SMP dan SMA," ujar Bayu.

Terkait penerapan pembelajaran tatap muka di jenjang pendidikan tinggi, masing-masing perguruan tinggi bersama pemerintah daerah setempat perlu koordinasi dalam melakukan pengawasan. Terutama, ke mahasiswa yang akan memasuki daerah tersebut.

"Semua mahasiswa yang akan datang ke suatu daerah wajib karantina mandiri 14 hari. Jika memastikan akan melakukan perkuliahan perlu mempersiapkan kondisi ruang kuliah, pengawasan mahasiswa terkait gejala, komunikasi ke Dinkes dan lain-lain," kata Bayu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement