Sabtu 04 Jul 2020 18:15 WIB

Amnesty: RUU PKS Didepak, Wakil Rakyat tak Sensitif

RUU PKS memberi jaminan untuk tidak ragu lagi menyeret pelaku ke jalur hukum.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Agus Yulianto
Direktur Amnesty International Indonesia - Usman Hamid
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Direktur Amnesty International Indonesia - Usman Hamid

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai, dikeluarkannya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) menunjukkan wakil rakyat amat tidak sensitif akan isu tersebut. Padahal, kata dia, perlindungan hukum bagi para penyintas kekerasan seksual amat mendesak.

"Dikeluarkannya RUU PKS dari Prolegnas menunjukkan betapa wakil rakyat tidak sensitif terhadap isu perlindungan korban, dan pastinya mereka telah gagal memahami kebutuhan rakyat," ujar Usman melalui keterangan tertulisnya kepada Republika, Sabtu (4/7).

Usman mengatakan, perlindungan hukum bagi para penyintas kekerasan seksual sangatlah mendesak saat ini. Menurutnya, masih banyak korban yang enggan bersuara atau merasa terintimidasi karena relasi sosial atau relasi kekuasaan dengan sang pelaku.

"RUU PKS memberi jaminan kepada mereka untuk tidak ragu lagi menyeret pelaku, siapapun dia, ke jalur hukum," katanya.

Sebelumnya, pada 2 Juli 2020, rapat kerja Baleg DPR dengan Menkumham serta Panitia Perancang Undang-Undang DPD menyepakati adanya perubahan terhadap Prolegnas Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2020, salah satu dari 16 RUU yang dihapus dari daftar Prolegnas adalah RUU PKS. Padahal, RUU itu telah menempuh jalan panjang sejak diinisiasi oleh Komnas Perempuan pada tahun 2012, bahkan sempat masuk Prolegnas Prioritas 2016.

Di sisi lain, RUU Ketahanan Keluarga yang memuat sejumlah pasal yang mengatur pembatasan peran perempuan justru tetap dipertahankan di Prolegnas Proritas 2020. RUU Ketahanan Keluarga sempat menimbulkan perselisihan karena dianggap mengatur kewajiban istri hanya mencakup ranah domestik, antara lain mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya serta memperlakukan suami dan anak dengan baik.

Sementara itu, Deklarasi Internasional tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1993 menyebutkan bahwa negara tidak boleh menunda kebijakan untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan. Salah satunya dengan merumuskan sanksi dalam perundang-undangan nasional untuk menghukum tindak kekerasan terhadap perempuan serta mengatur mekanisme pemulihan yang efektif dan adil.

Sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women/CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, kata Hamid, pemerintah Indonesia wajib membuat peraturan yang dapat menghapus stigma dan diskriminasi terhadap perempuan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement