Ahad 05 Apr 2020 16:54 WIB

Pengamat: Aturan Menkes Soal Pembatasan Sosial tidak Teknis

Aturan itu tidak mengatur pembatasan dengan jelas bagi kepala daerah.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Ratna Puspita
Ilustrasi pembatasan sosial berskala besar.
Foto: ANTARA/novrian arbi
Ilustrasi pembatasan sosial berskala besar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Administrasi Publik Unpad Yogi Suprayogi menilai Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) belum bersifat teknis. Aturan itu tidak mengatur pembatasan dengan jelas bagi kepala daerah. 

Berdasarkan pengamatannya, di dalam Permenkes tersebut kebanyakan hanya melegalkan hal-hal yang sedang terjadi saat ini. Seperti pelaksanaan belajar di rumah, kegiatan keagamaan yang dibatasi, ataupun bekerja di rumah bagi sejumlah kantor. 

Baca Juga

Ia menambahkan pengaturan soal logistik belum dijelaskan secara detail dan teknis.  "Bagaimana masyarakat mau membeli logistiknya. Bagaimana, kan tidak mungkin masyarakat diam di rumah tidak membeli logistiknya?" kata Yogi dihubungi Republika.co.id, Ahad (5/4). 

Selain itu, masyarakat miskin mestinya juga diberi peraturan tersendiri dalam masa PSBB khususnya terkait kebutuhan logistik. "Tidak ada jawabannya di sini. Permenkes itu menurut saya masih parsial," kata Yogi menegaskan. 

Yogi menambahkan, perlu diatur jalan nasional yang bisa digunakan untuk jalur logistik. Sebab, beberapa pemberitaan menunjukkan angkutan pembawa logistik justru harus mengantre masuk ke satu daerah. 

Padahal, logistik adalah hal yang paling penting untuk kehidupan sehari-hari masyarakat. "Itu nggak boleh seperti itu, PSBB itu kan tidak full tutup semua tapi jalur logistik harus ada. Kalau nggak, orang makan apa di kota itu," kata Yogi. 

Selain itu, masyarakat miskin mestinya juga diberi peraturan tersendiri dalam masa PSBB khususnya terkait kebutuhan logistik. "Tidak ada jawabannya di sini. Permenkes itu menurut saya masih parsial," kata Yogi menegaskan. 

Ia juga menyinggung sejumlah daerah yang terkena bencana alam banjir dan longsor. Apabila PSBB dilakukan, maka pemerintah harus memikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan para korban bencana ini. 

"Persoalannya, orang-orang yang di bawah (miskin) itu harus diatur pemerintah, bukan hanya diberi BLT begitu saja. Apalagi ada beberapa daerah yang mengalami banjir dan longsor. Itu gimana," kata dia lagi.

Selain itu, Yogi mengatakan, Permenkes juga tidak menjelaskan bagaimana daerah yang bisa memberlakukan PSBB. Ia menjelaskan, peraturan PSBB harus diberlakukan di daerah-daerah tertentu, khususnya yang persebaran Covid-19 cepat.

"Kalau lockdown, semuanya pasti akan meminta lockdown. Nah, ini harus diatur sebetulnya lebih detail lagi, seperti misalnya endemik yang persebarannya cepat," kata Yogi.

Ia mencontohkan, Provinsi DKI Jakarta bisa dilakukan lockdown mengingat rasio kematian yang tinggi. Selain itu, ia juga mengusulkan sejumlah kota/kabupaten di Jawa Barat dilakukan lockdown

Sementara itu, daerah lain seperti Tegal yang jumlah PDP-nya tidak sebanyak Jakarta bisa melakukan lockdown. Namun, menurut Yogi, sebenarnya Tegal tidak perlu melakukan lockdown begitu ketat. 

Yogi menambahkan, saat ini ada beberapa provinsi di Indonesia yang belum ada warganya terjangkit Covid-19. Daerah-daerah seperti itu bisa dilakukan lockdown agar tidak ada risiko virus masuk dari orang luar. 

"Ini belum jelas hitungannya. Jadi daerah akan ragu menggunakan itu. Ada ODP saja dia bisa lockdown, padahal kan nggak harus seharusnya," kata dia lagi. 

Hal lain yang disoroti dari Permenkes, yakni tidak melihat bagaimana posisi Indonesia di tengah Covid-19 ke depannya. Menurutnya, Permenkes tersebut terlalu terburu-buru ditetapkan melegalisasi posisi yang ada sekarang. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement