Sabtu 06 Mar 2021 18:04 WIB

Pengamat: Presiden Sebaiknya Copot Moeldoko

Pengamat nilai pencopotan Moeldoko untuk menghindari Istana terlibat konflik Demokrat

Rep: Ali Mansur/ Red: Bayu Hermawan
Moeldoko terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat versi KLB di Deli Serdang, Sumatra Utara.
Foto: Antara
Moeldoko terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat versi KLB di Deli Serdang, Sumatra Utara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga, menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebaiknya mencopot Moeldoko dari jabatan sebagai kepala Kantor Staf Presiden (KSP). Hal itu agar Istana tidak dituduh terlibat dalam kudeta di tubuh Partai Demokrat.

"Presiden Jokowi sudah saatnya mendepak Moeldoko dari KSP untuk menunjukkan bahwa Istana memang benar-benar tidak terlibat. Tanpa tindakan nyata, tentu masyarakat akan memersepsi keterlibatan Istana dalam mengantarkan Moeldoko menjadi ketum hasil KLB yang ilegal," kata Jamiluddin menegaskan dalam pesan singkatnya, Sabtu (6/3).

Baca Juga

Jamiluddin melanjutkan, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) juga harus taat aturan dengan melihat keabsahan KLB di Sibolangit berdasarkan UU Partai Politik dan AD/ART Partai Demokrat. Hanya dengan cara itu, pemerintah benar-benar netral dalam menanggapi konflik internal di Partai Demokrat.

Jamiluddin juga menyoroti pelaksanaan KLB yang unik dan dengan cepat langsung memilih serta menetapkan Moeldoko sebagai ketua umum (ketum).  "KLB dilaporkan hanya membutuhkan waktu lima menit untuk memilih ketum. KLB ini tampaknya memang dirancang hanya untuk memilih Moeldoko sebagai Ketum," ujarnya.

 

Menurutnya, KLB ini semata ingin menggusur Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari ketum dengan cara kasar dan tak bermoral. Dengan demikian, Moeldoko yang tidak memiliki kartu tanda anggota Partai Demokrat bisa menjadi ketua umum.

"Moeldoko pun tanpa malu menerima pilihan peserta KLB yang asal usulnya belum diketahui tidak jelas," ucapnya.

Jamiluddin juga menilai KLB di Sibolangit sungguh-sungguh mempertontonkan demokrasi palsu. Semua direkayasa hanya untuk mengantar Moeldoko sebagai ketum. Jadi, keterlibatan eksternal begitu terang benderang dalam KLB di Sibolangit. 

"KLB ilegal ini juga menjadi catatan hitam bagi perkembangan partai politik di Indonesia. Siapa saja akan bisa melaksanakan KLB untuk menggusur ketum yang tidak mereka sukai," ujarnya menerangkan.

Selain itu, Jamiluddin juga menilai dalam jangka pendek dan panjang, praktik seperti itu merusak tatanan demokrasi yang sudah dibangun dengan susah payah di Indonesia. Partai politik akan dengan mudah digoyang dengan alibi KLB. Baginya, praktik seperti itu seharusnya hanya ada di negara otoriter dan Indonesia yang sudah menganut demokrasi.

"Pegiat demokrasi sudah pasti melihat KLB ilegal ini sebagai ancaman. Para petualang politik yang bersembunyi di balik kekuasaan harus dilawan agar KLB ilegal semacam itu tak terulang lagi," kata Jamiluddin. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement