Sabtu 04 Jul 2020 02:00 WIB

Bawaslu: Beban Pengawasan Pilkada Kala Pandemi Lebih Berat

Pengawasan Pilkada di era pandemi Covid-19 dinilai lebih berat.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Nashih Nashrullah
Anggota Bawaslu Mochamad Afifuddin menilai pengawasan Pilkada di era pandemi Covid-19 dinilai lebih berat.
Foto: ROL/Havid Al Vizki
Anggota Bawaslu Mochamad Afifuddin menilai pengawasan Pilkada di era pandemi Covid-19 dinilai lebih berat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Beban penyelenggara pemilu menggelar Pilkada 2020 lebih berat karena kondisi pandemi Covid-19, termasuk dari sisi pengawasan. 

 

Baca Juga

Sebab, menurut anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, M Afifuddin, banyak potensi pelanggaran baru yang bisa terjadi saat pilkada yang digelar di tengah pandemi. 

 

"Beban penyelenggara ini bertambah berat, pemilihnya juga bertambah risiko," ujar Afif dalam diskusi virtual, Jumat (3/7).

 

Ia mengatakan, muncul potensi pelanggaran baru dengan modus pembagian masker saat hari pemungutan suara pada 9 Desember 2020 mendatang. 

 

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mensyaratkan pemilih menggunakan masker ketika mendatangi tempat pemungutan suara (TPS).

 

Menurut Afif, sangat mungkin tim sukses calon kepala daerah membagikan masker kepada pemilih yang hendak ke TPS. 

 

Hal ini berpotensi digunakan tim pemenangan kandidat memengaruhi pemilih untuk memilih calon kepala daerah yang bersangkutan.

 

Selain itu, potensi pelanggaran lainnya saat penggunaan masker di TPS diwajibkan, dapat membuka ruang bagi oknum menyusup ke TPS dan memilih calon tertentu. 

 

Sedangkan, petugas pemilu di TPS tidak mengenali wajah seluruh pemilih di wilayah tersebut saat mereka mengenakan masker.

 

"Kalau maskernya dibikin blok gitu orang nggak terlalu kenal. Bisa jadi tidak semua hubungan perkenalan antara petugas dengan warga sekitar itu juga semua mengenali muka, wajah," kata Afif.

 

Di tambah lagi dengan risiko skenario terburuk ketika penghitungan suara ada petugas penyelenggara yang terindikasi terinfeksi Covid-19. Apabila hal itu terjadi, bukan tidak mungkin tahapan penghitungan suara terkendala di tengah jalan.

 

Sedangkan, proses penghitungan suara membutuhkan pengawasan ketat dan keterbatasan waktu. "Kita berharap tidak (terjadi), tapi kita sebagai pengawas berpikirnya lebih jauh daripada hal-hal yang kadang-kadang kita pikirkan tidak terjadi," lanjut Afif.

 

Ia menambahkan cerita pelaksanaan tahapan verifikasi faktual dukungan calon perseorangan yang dialami penyelenggara ad hoc baik dari KPU maupun Bawaslu. 

 

Ketika mereka melakukan verifikasi dari rumah ke rumah, mereka dikira petugas yang akan membagikan bantuan sosial dari pemerintah.

 

Ada juga kejadian para pendukung calon yang hanya mau diverifikasi melalui jendela rumah. Masyaarakat tidak membuka pintu untuk petugas dan pengawas untuk menghindari penularan virus corona.  

 

"Adanya unsur nonelektoral seperti pandemi ini sangat berkontribusi meningkatkan kerawanan Pilkada, tapi dari sisi nonteknisnya, nontahapan pemilunya. Karena ini sifatnya insentif masalahnya dari luar, dari situasi wabah," tutur Afif. 

 

Diketahui, tahapan pilkada serentak 2020 ditunda sejak Maret lalu karena pandemi Covid-19. Sehingga pemungutan suara di 270 daerah akan digelar pada 9 Desember, waktunya bergeser dari jadwal semula 23 September. Tahapan pemilihan lanjutan mulai dilaksanakan pada 15 Juni 2020.

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement