Selasa 20 Apr 2021 20:29 WIB

Vaksin Nusantara Digocek Jadi 'Penelitian Sel Dendritik'

Tak perlu izin BPOM, status vaksin Nusantara menjadi penelitian berbasis pelayanan.

Mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menyuntikkan vaksin Nusantara kepada Ketua Dewan Pembina Partai Golkar, Aburizal Bakrie di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta, pada Jumat (16/4).
Foto: Akun Facebook Aburizal Bakrie
Mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menyuntikkan vaksin Nusantara kepada Ketua Dewan Pembina Partai Golkar, Aburizal Bakrie di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta, pada Jumat (16/4).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Haura Hafizhah, Nawir Arsyad Akbar, Antara

Nota kesepahaman (MoU) penelitian Berbasis Pelayanan Menggunakan Sel Dendritik untuk Meningkatkan Imunitas terhadap virus SARS-CoV-2 (Covid), pada Senin (19/4), ditandatangani oleh Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI Andika Perkasa, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito. Penandatanganan yang disaksikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI Muhajir Effendy itu berlangsung di Mabes TNIA AD, Jakarta.

Baca Juga

Siaran pers dari Dinas Penerangan TNI AD (Dispenad) menyebutkan, penelitian yang akan dilakukan di RSPAD Gatot Soebroto selain memedomani kaidah penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan, juga bersifat autologus yang hanya dipergunakan untuk diri pasien sendiri. Dengan demikian, tidak dapat dikomersialkan dan tidak diperlukan persetujuan izin edar dari BPOM.

Penelitian ini bukan merupakan kelanjutan dari uji klinis adaptif fase 1 vaksin Nusantara yang berasal dari sel rendritik Autolog yang sebelumnya diinkubasi dengan spike protein SARS-CoV-2 pada subjek yang tidak terinfeksi Covid-19 dan tidak terdapat antibodi anti SARS-CoV-2. Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), Letnan Jenderal TNI dr Albertus Budi Sulistya, mengungkapkan, penelitian vaksin Nusantara yang dilakukan di RSPAD akan tetap dilanjutkan.

 

"Jadi begini, penelitian denditrik sel terapi ini tetap lanjut dan status penelitiannya adalah penelitian riset berbasis pelayanan," ungkap Budi.

Lebih lanjut Budi menerangkan, penelitian itu merupakan penelitian yang dilakukan untuk meneliti sejauh mana sel dendritik dapat digunakan dalam penyembuyan SARS-CoV-2 atau Covid-19. Sel dendritik sendiri sebetulnya sudah biasa digunakan untuk penyembuhan kanker.

"Menggunakan denditrik sel untuk meningkatkan imunitas terhadap virus SARS-CoV-2. Penelitiannya jadi itu," ujar dia.

Penelitian yang dilakukan ini ia sebut tak berbeda dengan penelitian untuk vaksin Nusantara. Perbedaannya hanya ada pada penelitian tersebut kini dilakukan murni sebagai penelitian untuk kepentingan ilmiah berbasis pelayanan.

“Esensinya sama dengan penelitian dendritik sel sebelumnya yang orang kenal istilah kerennya, istilah masyarakat anggap sebagai vaksin Nusantara. Persis sama,” kata dia.

Seperti diketahui, vaksin Nusantara memunculkan polemik karena  Kepala BPOM, Penny K Lukita, menegaskan pihaknya tidak akan memberi izin untuk kelanjutan uji klinis fase kedua vaksin Nusantara. BPOM menemukan sejumlah pelanggaran dalam uji klinis pertama metode vaksinasi tersebut.

Dalam pernyataan pada Selasa (20/4), Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Andika Perkasa menyatakan, penelitian berbasis pelayanan yang menggunakan sel dendritik untuk meningkatkan imunitas terhadap Covid-19 disebut berbeda dengan uji klinis vaksin Nusantara. Hasil dari penelitian ini nantinya tidak memerlukan izin edar karena tidak akan diproduksi massal.

"Judulnya pun dipilih berbeda. Jadi penelitian kali ini penelitian berbasis pelayanan yang menggunakan sel dendritik untuk meningkatkan imunitas terhadap SARS-CoV-2 atau Covid-19," kata Andika.

Penelitian tersebut, kata dia, tidak menghasilkan vaksin seperti yang sebelumnya sempat dilakukan di Rumah Sakit Kariadi, Semarang. Menurut Andika, penelitian yang dilakukan di RSPAD itu lebih sederhana ketimbang apa yang dilakukan terkait vaksin Nusantara.

"Tidak ada hubungannya dengan vaksin sehingga tidak perlu izin edar karena menggunakan metode yang autologus dan tidak ada produksi massal sehingga tidak perlu izin edar," kata Andika.

Penelitian dengan menggunakan sel dendritik itu dilakukan dengan metode imunoterapi di RSPAD yang memiliki Cells Cure Center. Fasilitas yang ada di Cells Cure Center menggunakan teknologi Jerman dan baru hadir di RSPAD pada 2017 lalu.

"Teknologinya dari Jerman. kita mengirimkan tim ke sana selama enam bulan untuk melakukan pendalaman dan sampai 2019, jadi dua tahun dikawal dari tim teknis Jerman pada operasional Cells Cure Center ini di RSPAD sehingga memang RSPAD punya kemampuan untuk itu," ujar dia.

Menurut Andika, fasilitas itu sebelumnya biasa digunakan untuk perawatan penyakit kanker. Dia merasa optimistis fasilitas tersebut dapat digunakan untuk meneliti sel dendritik untuk meningkatkan imunitas terhadap SARS-CoV-2.

"Apakah ini bisa? Bisa, saya yakin bisa dan pemerintah pun memercayakan itu kepada kami walaupun sifatnya tadi tidak untuk komersial, maka tidak diperlukan izin edar dari BPOM," kata dia.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, pengawasan dan pengembangan berbasis sel dendritik saat ini dialihkan dari BPOM ke Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

"Yang semula berada dalam platform penelitian vaksin dan berada di bawah pengawasan BPOM, sekarang dialihkan ke penelitian berbasis pelayanan yang pengawasannya berada di bawah Kemenkes," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Selasa (20/4).

Kemudian, ia melanjutkan RSPAD Gatot Subroto ditetapkan sebagai penyelenggara penelitian. Sedangkan, KSAD sebagai pejabat yang membawahi RSPAD Gatot Subroto bersama-sama Menkes dan Kepala BPOM.

Muhadjir menambahkan, langkah ini diambil sebagai jalan keluar atas pelaksanaan penelitian yang selama ini sudah berjalan dan diberi label dengan penelitian vaksin Nusantara. "Dalam perjalanannya (vaksin Nusantara) terkendala oleh prosedur dan dipandang tidak memenuhi kaidah dan standar yang ditetapkan BPOM khususnya pada tahap uji klinis 1," kata dia.

Muhadjir menegaskan, kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah memberi perhatian serius terhadap semua penelitian yang bermaksud membuat terobosan dalam upaya mencari metode dan teknik baru dalam upaya mengakhiri pandemi Covid-19.

Wakil Ketua Komisi IX DPR Emanuel Melkiades Laka Lena menilai, langkah pemerintah tepat dalam menyelesaikan polemik vaksin Nusantara. Pemerintah melalui Menko PMK Muhajir Effendy, kata Melki, sudah mengambil langkah untuk memberikan solusi terbaik.

"Atas inisiatif yang sudah dilakukan mampu dan bisa untuk mencari jalan keluar, serta solusi terbaik dalam penyelesaian untuk tetap kita mendorong agar vaksin Nusantara tetap dilanjutkan," ujar Melki lewat pesan suaranya yang diterima Republika, Selasa (20/4).

Jika penelitian dilanjutkan dan hasilnya berhasil, Ia berharap vaksin Nusantara dapat menjadi alat dalam penanganan pandemi Covid-19. Apalagi, kata Melki, vaksin yang diprakarsai oleh mantan menteri kesehatan Terawan Agus Putranto itu merupakan buatan peneliti dalam negeri.

Soal vaksin Nusantara, Tenaga Ahli Menteri Kesehatan (Kemenkes) Andani Eka Putra mendengar, sebagian besar bahan vaksin yang diprakarsai Terawan adalah hasil impor. Padahal, ada sejumlah bahan baku yang dapat dibuat di Indonesia.

"95 persen media bahannya impor, tapi ada bahan dasar utama yang seharusnya tidak boleh impor. Contohnya rekombinan protein" ujar Andani dalam sebuah diskusi daring, Sabtu (17/4).

Ia menjelaskan, bahan baku utama vaksin Nusantara yang berbasis sel dendritik adalah protein rekombinen dan tidak boleh impor. Sebab, bahan baku utama tersebut dapat dibuat sendiri di Indonesia.

"Targetnya itu harus bikin sendiri sebetulnya, tapi saya dengar informasinya itu masih barang impor," ujar Andini.

 

photo
Aturan baru vaksinasi Sinovac dosis kedua. - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement