Rabu 29 Jul 2020 19:20 WIB

Angka Kasus Covid di DKI Tinggi, Mengapa Anies Bersyukur?

Jumlah positif Covid-19 di Jakarta hari mencapai 577 kasus atau catatkan rekor baru.

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Rizkyan Adiyudha, Sapto Andika Candra

Provinsi DKI Jakarta kembali mencatatkan angka tertinggi dalam jumlah harian kasus baru Covid-19. Pada Rabu (29/7), pemerintah pusat mengumumkan 577 kasus baru, sementara data versi Pemprov DKI Jakarta 584 kasus.

Baca Juga

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengaku malah bersyukur, kasus baru Covid-19 di Jakarta terus ditemukan dalam jumlah signifikan. Itu berarti, kata Anies, strategi penanganan Covid-19 yang dilakukan pihaknya berjalan baik.

"Jakarta mengambil strategi mencari orang yang terpapar, lalu diisolasi untuk diputus mata rantainya. Kalau Jakarta hanya ingin angkanya kecil, maka Pemprov DKI tidak perlu melakukan testing, dijamin angka kasus Covid-19 langsung turun," kata Anies, dalam sambutan rapat virtual membahas salat Idul Adha dan kurban dalam masa pandemi, di Jakarta, Rabu (29/7).

"Kami berharap semuanya bantu ikut menjelaskan bahwa angka positif yang ditemukan di Jakarta harus disyukuri, kalau mereka tidak ketemu maka mereka menularkan kepada yang lain," ucapnya, menambahkan.

Anies tak bisa membayangkan bila pasien positif berkategori OTG, mereka akan menularkan virus kepada kerabat, kolega, hingga keluarganya di rumah. Virus ini bahkan makin mengganas bila menyerang orang lansia dan memiliki riwayat penyakit bawaan atau akut.

"Dengan orang ini ketemu, maka dia bisa mencegah dirinya menularkan ke orang lain. Saya selalu sampaikan kalau ada angka positif harus kita syukuri bisa ketahuan," ucapnya.

Anies memaparkan alasan angka kasus Covid-19 di Jakarta bisa tinggi karena sejak awal Juni 2020, Pemprov DKI Jakarta telah aktif melakukan pencarian kasus baru (active case finding) lewat pelacakan (tracing) kepada orang yang pernah kontak fisik dengan pasien positif dan berada di zona merah Covid-19.

Menurut dia, upaya pencarian kasus baru dilakukan karena wabah Covid-19 belum mereda. Justru, kata Anies, pemerintah daerah bisa salah mengambil langkah, bilamana wabah tetap muncul namun pengetesan dikurangi.

"Saya jelaskan bahwa yang dikerjakan Pemprov DKI adalah mengetes sebanyak mungkin, mencari yang positif. Kalau dia OTG (orang tanpa gejala) dia diisolasi mandiri, tapi kalau memiliki gejala atau beresiko dia akan diminta isolasi di rumah sakit. Kemudian di Jakarta ini secara aturan dan secara target tes itu minimal dilakukan kepada 10 ribu orang per minggu. Tapi kami di Jakarta dalam satu pekan terakhir ini saja sudah 43 ribu per minggu," ujarnya.

Anies menegaskan, dari pengetesan terhadap 43 ribu orang per pekan itu, sebanyak 6,3 persen dinyatakan positif. Dan apabila petugas kesehatan tidak aktif melacak kasus itu, Anies yakin angka penularannya makin meningkat tajam.

Pemerintah pusat pada hari ini juga telah merilis penambahan kasus konfirmasi positif Covid-19 sebanyak 2.381 orang dalam 24 jam terakhir. Dengan angka 577 kasus DKI Jakarta menjadi yang teratas.

Kemudian di bawah DKI Jakarta, menyusul Jawa Timur dengan kasus baru 359 orang dalam satu hari terakhir. Lalu ada Jawa Tengah dengan 313 kasus, Sumatera Utara dengan 241 kasus, dan Sulawesi Selatan dengan 128 kasus.

Dari lima besar angka penambahan harian ini, hanya Jawa Timur saja yang mencatatkan kasus sembuh melampaui kasus positif baru. Hari ini ada 538 pasien sembuh di Jawa Timur.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menegaskan bahwa peningkatan angka positif Covid-19 disebabkan pelonggaran dan inkonsistensi kebijakan pemerintah. Lanjutnya, kenaikan itu juga terjadi akibat dibukanya kembali aktivitas publik yang terlalu dini.

"Konsistensi kebijakan dan ketegasan dalam pelaksanaan mutlak diperlukan dalam pengendalian pandemi ini," kata Humas Pengurus Besar (PB) IDI dr Abdul Halik Malik di Jakarta, Rabu (29/7).

Abdul mengatakan, melemahnya ketegasan dan kebijakan ikut mengendurkan masyarakat tingkat kesadaran, kewaspadaan dan kedisiplinan masyarakat terhadap pencegahan Covid-19. Dia mengungkapkan, belakangan kebijakan PSBB, pembatasan mobilitas, sosialisasi reguler tentang protokol kesehatan atau adaptasi kebiasaan baru mulai dihilangkan.

"Bahkan pengumuman harian oleh jubir (juru bicara) Covid-19 sudah mulai ditiadakan," katanya.

Menurutnya, prioritas saat ini adalah mengendalikan pandemi dengan menerapkan kebijakan yang konsisten. Dia mengatakan, pemerintah juga perlu membenahi kesiapan sistem kesehatan di setiap daerah.

Begitu juga dengan optimalisasi testing, pelacakan, isolasi dan pemulihan situasi di setiap daerah. Dia mengatakan, pemerintah perlu mendorong upaya bersama semua pihak dalam memutus rantai penularan Covid-19 hingga ke tingkat RT/RW.

Halik mengatakan, kebijakan PSBB dan pembatasan mobilitas lainnya sebenarnya bisa dilanjutkan. Namun, sambung dia, itu hanya akan efektif dan berdampak jika disertai dengan penerapan protokol kesehatan ketat melalui kesadaran warga dan ketegasan aparat dalam mendisiplinkan masyarakat.

Menurutnya, sebaiknya pemerintah tetap berfokus pada agenda pemulihan kesehatan masyarakat. Dia mengatakan, pemerintah perlu mengoptimalkan kembali berbagai kebijakan dan strategi yang sudah terbukti berhasil mengendalikan penularan corona di masyarakat.

Halik mengatakan, pemulihan situasi akibat pandemi akan terjadi seiring dengan keberhasilan pengendalian pandemi dan adaptasi kebiasaan baru di berbagai sektor. Pemulihan kesehatan masyarakat dari ancaman Covid-19 harus dikedepankan di tengah upaya pemulihan kondisi sosial ekonomi yang ditimbulkan oleh pandemi.

"Dengan kata lain agenda pemulihan aktivitas sosial ekonomi harus disesuaikan dengan situasi pandemi," katanya.

Pemerintah mengakui tidak menerapkan PSBB secara terus menerus. Ruang fiskal disebut bisa jebol jika PSBB tidak dilonggarkan.

Ketua Satuan Tugas (Satgas) Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Budi Gunadi Sadikin menjelaskan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak awal memberikan arahan agar 'rem dan gas' dalam pembukaan ekonomi tetap mempertimbangkan penanganan Covid-19 dari sisi kesehatan. Maksudnya, penanganan Covid-19 tak boleh lantas membawa Indonesia ke arah resesi, dan sebaliknya, pembukaan ekonomi tak boleh membawa Indonesia masuk dalam gelombang kedua Covid-19.

"Kalau kita terlalu berani beraktivitas, tanpa memperhatikan protokol kesehatan, itu sama saja gasnya terlalu besar, dan kita akan blong akan nubruk. Akibatnya apa, kita akan mundur jauh ke belakang," jelas Budi dalam keterangan pers di Kantor Presiden, Rabu (29/7).

Pertimbangan inilah yang kemudian membuat pemerintah secara bertahap membuka kembali aktivitas ekonomi dengan tetap memprioritaskan penerapan protokol kesehatan. Apalagi, pemerintah sedang berupaya keras menahan laju perlambatan ekonomi di kuartal III 2020 yang menjadi kunci kinerja ekonomi di tahun 2021 mendatang.

"Saran saya, jangan terburu-buru, tapi jangan menutup diri. Keseimbangan ini harus dicari di masing-masing daerah. Karena kalau misalnya kita terus-menerus lockdown (PSBB), enggak akan tahan ruang fiskal kita," jelas Budi.

Budi juga meminta kepala daerah untuk lebih sensitif dalam menerbitkan kebijakan penanganan Covid-19, baik dari sisi kesehatan atau ekonominya. Kembali lagi ia mengingatkan bahwa presiden meminta agar daerah memperhatikan 'gas dan rem' dalam membuka ekonominya. Ekonomi perlu dipulihkan, ujarnya, tanpa harus mengorbankan aspek kesehatan.

photo
Resesi ekonomi. - (Tim Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement