Selasa 14 Jul 2020 08:52 WIB

Jangan Terkecoh Bansos Berkedok Kampanye Pilkada

Modusnya, pembagian bansos bergambar kepala daerah yang akan maju lagi di Pilkada.

Pekerja mengemas paket bantuan sosial (bansos). Bawaslu meminta masyarakat mewaspadai politisasi bansos, dalam bentuk bantuan yang ditempel foto kepala daerah yang akan maju lagi di Pilkada 2020. Dugaan pelanggaran politisasi bansos oleh kepala daerah yang berpotensi mencalonkan diri di Pilkada 2020 bisa terjadi di 12 provinsi dan 23 kabupaten/kota.
Foto: Prayogi/Republika
Pekerja mengemas paket bantuan sosial (bansos). Bawaslu meminta masyarakat mewaspadai politisasi bansos, dalam bentuk bantuan yang ditempel foto kepala daerah yang akan maju lagi di Pilkada 2020. Dugaan pelanggaran politisasi bansos oleh kepala daerah yang berpotensi mencalonkan diri di Pilkada 2020 bisa terjadi di 12 provinsi dan 23 kabupaten/kota.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mimi Kartika, Antara

Pilkada serentak akan tetap dilaksanakan tahun ini juga. Menjelang Pilkada 2020 yang akan digelar akhir tahun masyarakat diminta tidak terkecoh dengan bantuan sosial (bansos) yang dipolitisir dengan dibalut wajah kepala daerah yang akan maju lagi di Pilkada.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah meminta Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menindaklanjuti laporan dugaan politisasi bantuan sosial (bansos) oleh kepala daerah yang berkaitan dengan Pilkada 2020. "Terakhir informasi untuk Klaten sudah ada respons dari Mendagri berkaitan dengan penerusan laporan Bawaslu," ujar Anggota Bawaslu RI, Ratna Dewi Pettalolo saat dikonfirmasi, Senin (13/7).

Sebab, kata dia, penjatuhan sanksi bagi kepala daerah yang menyalahgunakan program bansos merupakan kewenangan Mendagri dengan dalih merugikan atau menguntungkan diri sendiri maupun pihak lain. Bawaslu tidak berwenang karena belum ada penetapan pasangan calon kepala daerah dalam Pilkada 2020.

Sampai hari ini, Bawaslu belum lagi menerima laporan dari jajaran pengawas di daerah terkait politisasi bantuan sosial. Data Bawaslu sebelumnya, dugaan pelanggaran politisasi bansos oleh kepala daerah yang berpotensi mencalonkan diri di Pilkada 2020 terjadi di 12 provinsi dan 23 kabupaten/kota.

Dugaan pelanggaran pilkada ini berdasarkan laporan maupun hasil pengawasan jajaran Bawaslu. Modusnya, terdapat pembagian bansos dengan menempelkan gambar kepala daerah yang berpotensi menjadi pejawat karena maju kembali dalam pilkada.

Daerah-daerah yang terdapat dugaan politisasi bansos antara lain Provinsi Bengkulu dan Kota Bengkulu; Indragiri dan Pelalawan, Riau; Ogan Ilir, Sumatera Selatan; Jambi, Lampung Timur, Pesawaran, dan Way Kanan, Lampung; Lampung Selatan; Kabupaten Pandeglang, Banten; Pangandaran dan Cianjur, Jawa Barat; Sumenep dan Jember, Jawa Timur; Klaten, Semarang, dan Purbalingga, Jawa Tengah; Gorontalo; serta Keerom (Papua).

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada telah mengatur larangan terhadap gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, atau wali kota dan wakil wali kota melakukan tindakan-tindakan yang menguntungkan atau merugikan pasangan calon. Akan tetapi, UU Pilkada hanya mengatur larangan dan sanksinya apabila paslon sudah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Bawaslu meminta dugaan pelanggaran politisasi bansos diselesaikan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini melarang kepala daerah memanfaatkan program untuk kepentingan diri sendiri maupun orang lain, yang juga bisa ditafsirkan kepentingan dalam kontestasi pilkada.

Mendagri Tito Karnavian meminta kepala daerah yang akan maju kembali dalam pilkada tidak menggunakan bansos untuk kepentingan politik. Kepala daerah dilarang menyalurkan bansos dengan menggunakan identitas pribadi.

"Dilarang keras bansos menggunakan identitas pribadi dari kepala daerah petahana, yang boleh hanya identitas lembaga pemerintahan sebagai bagian identitas tata kelola keuangan," ujar Tito dalam siaran persnya, Senin (13/7).

Ia membantah tudingan Pilkada 2020 hanya akan menguntungkan pejawat saja. Menurut Tito, pilkada serentak di 270 daerah dalam kondisi pandemi Covid-19 menjadi ajang adu gagasan penanganan virus corona beserta dampak sosial maupun ekonominya bagi kandidat calon kepala daerah.

Tito menuturkan, calon penantang juga bisa menjual gagasan penanganan Covid-19. Di sisi lain, calon penantang juga dapat mengkritik kinerja kepala daerah dalam mengatasi wabah virus corona ini.

“Kepala daerah akan all out menangani Covid, sebaliknya bagi kontestan yang bukan petahana juga bisa menjual gagasan, sehingga kontestasi ini akan menjadi lebih sehat karena mereka sama-sama berupaya memenangkan hati masyarakat lewat petarungan ide dan gagasan terkait Covid-19 itu,” kata Tito.

Ia menyebutkan, Pilkada dengan hari pemungutan suara pada 9 Desember 2020 mendatang akan menjadi momentum untuk memilih pemimpin yang baik dan berkualitas. Kepala daerah yang diharapkan mampu memimpin di saat krisis.

“Pemimpin yang kuat itu adalah bukan pemimpin di masa aman, di masa damai, bukan, tapi pemimpin yang kuat adalah ketika terjadi badai, ketika terjadi krisis,” tutur Tito.

Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo, sudah pernah menekankan pentingnya bansos Covid-19 steril dari kepentingan politik. Ia mengatakan, di daerah banyak ditemukan bansos dibanderol foto calon kepala daerah yang akan maju pilkada.

"Ini bisanya dilakukan oleh calon pejawat," kata Karyono, beberapa waktu lalu.

Karyono mendorong pemerintah, melalui Kementerian Dalam Negeri untuk bertindak tegas, demikian juga Bawaslu harus menindak calon petahana yang menunggangi bansos untuk capital politic. Karyono menilai, KPK perlu masuk dalam hal pengawasan, pencegahan, dan penindakan terkait penyelewengan dana bansos atas dampak pandemi Covid-19.

"Kita dukung KPK tegas bagi penyelewengan dana bansos. Sebab asasnya keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Maka kita perlu dukung KPK untuk masuk," katanya.

Karyono menyebut, ada empat hal yang harus digarisbawahi dan perlu dilakukan di saat pandemi Covid-19, yakni pertama, perkuat gotong royong sehingga semua harus satu barisan dan saling tolong menolong melawan pandemi Covid-19. Kedua, utamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Ketiga, kedepankan keselamatan rakyat sebagai hukum tertinggi di tengah ancaman Covid-19.

Karyono melanjutkan, keempat, harus ada ketegasan hukum dan peraturan yang jelas dalam penanganan Covid-19. Aturan itu tidak boleh saling tumpang tindih.

Tahapan pilkada serentak tahun 2020 ditunda sejak Maret lalu karena pandemi Covid-19. Setelah penundaan, tahapan pemilihan kembali dilanjutkan mulai 15 Juni 2020.

Sehingga pemungutan suara di 270 daerah terdiri dari sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota akan digelar pada 9 Desember 2020. Jadwal tersebut bergeser dari jadwal semula 23 September 2020.

photo
Kontroversi Pilkada di tengah pandemi Covid-19. - (Berbagai sumber/Republika)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement