Senin 06 Jul 2020 11:39 WIB

Mempertanyakan Keampuhan Kalung Antivirus Kementan

Kementan menyatakan antivirus eucalyptus bukan vaksin.

Inovasi antivirus berbasis eucalyptus yang diluncurkan oleh Kementerian Pertanian (Kementan) menjadi angin segar di tengah pandemi covid-19 yang masih merebak khususnya di Indonesia.
Foto: Kementan
Inovasi antivirus berbasis eucalyptus yang diluncurkan oleh Kementerian Pertanian (Kementan) menjadi angin segar di tengah pandemi covid-19 yang masih merebak khususnya di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Fauziah Mursid, Dedy Darmawan Nasution, Mabruroh, Antara

Kalung antivirus sebenarnya bukan barang baru. Kalung antivirus buatan Kementan yang menggunakan bahan eucaplytus namun dikhawatirkan membuat masyarakat lengah menganggap Covid-19 ada obatnya.

Baca Juga

Anggota Komisi IX (Kesehatan) DPR RI Saleh Partaonan Daulay mempertanyakan kemampuan kalung antivirus corona yang belakangan dimunculkan oleh Kementerian Pertanian (Kementan). Ia menilai kalung tersebut perlu penelitian lebih lanjut.

"Pasalnya, kalung antivirus corona tersebut sampai sejauh ini disinyalir belum dapat dipastikan keampuhannya. Ada banyak peneliti dan lembaga penelitian yang masih meragukan temuan tersebut," kata Saleh dalam pesan singkat yang diterima Republika.co.id pada Senin (6/7).

Saleh menilai, temuan itu masih perlu didalami lagi. Kementan harus melibatkan lembaga riset lain. Ia menyebut, orang-orang belum yakin atas temuan itu.

"Jika banyak yang belum yakin, tentu belum tepat jika diproduksi massal," kata Politikus PAN itu.

Kalung tersebut dikatakan terbuat dari bahan eucalyptus yang mampu membunuh virus Corona. Namun, kata Saleh, virus corona yang dimaksud bukan virus SARS-CoV-2 penyebab penyakit Covid-19. Karena itu, belum bisa diklaim sebagai anti Covid.

Dia melanjutkan, jika benar Kementan berhasil menemukan antivirus corona, tentu ini adalah satu temuan besar. Sebab, banyak negara yang sampai hari ini masih berusaha mempelajari dan mencari vaksin, obat, ataupun antivirus corona ini. Kalau para peneliti telah mengakui, Indonesia bisa berkontribusi dalam pemutusan mata rantai penyebaran virus corona secara global.

"Sebaliknya jika tidak benar, takutnya nanti kita diolok-olok orang. Makanya, sekali lagi, sebelum produksi massal, pastikan dan uji kembali. Libatkan sebanyak mungkin para ahli. Terutama mereka yang nyata-nyata masih meragukan," ujar Saleh.

Ia mengaku sudah melihat dua contoh produknya. Bentuknya roll on dan balsem. Modelnya seperti obat gosok. "Kalau digosokkan ke leher atau kulit, rasanya sedikit panas. Baunya seperti minyak kayu putih," ujar Saleh.

“Setelah mencobanya, saya tidak tahu apakah itu efektif sebagai antivirus corona atau tidak. Yang saya tahu, banyak peneliti yang masih meragukan. Merekalah yang paling bisa memberikan justifikasi terhadap temuan-temuan seperti ini," kata Wakil Ketua Fraksi PAN di DPR RI itu.

Beberapa waktu lalu Kementerian Pertanian resmi meluncurkan inovasi antivirus berbasis eucalyptus hasil inovasi Balitbangtan dan telah berhasil mendapatkan hak patennya. Kementan juga menggandeng PT Eagle Indo Pharma untuk pengembangan dan produksinya secara massal. Penandatanganan perjanjian Lisensi Formula Antivirus Berbasis Minyak Eucalyptus antara perwakilan Balitbangtan dan PT Eagle Indo Pharma (Cap Lang) dilaksanakan di Bogor pada pertengahan Mei 2020.

Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengingatkan inovasi Kementerian Pertanian dalam membuat kalung dan minyak dari tanaman eucalyptus tidak merugikan upaya penanggulangan Covid-19. Pandu khawatir, di tengah penanganan Covid-19 yang belum ada vaksinnya justru masyarakat dibuat bingung dengan produk yang belum teruji manfaatnya.

"Jangan sampai uang negara digunakan untuk membuat produk yang tidak bermanfaat dan bisa merugikan upaya penanggulangan Covid-19," ujar Pandu melalui pesan singkatnya, Ahad (5/7).

Pandu menerangkan, alih-alih membuat produk yang belum teruji, sosialisasi berperilaku 3M yakni menggunakan masker, menjaga jarak dan mencuci tangan justru terbukti menekan angka penularan Covid-19. Karena itu, ia berharap inovasi kalung dan minyak ini tidak membuat masyarakat meninggalkan protokol kesehatan.

"Bisa orang tidak lagi berperilaku 3M (masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan) yang terbukti menekan penularan," ujar Pandu.

Ia mengatakan, di tengah angka penularan Covid-19 masih cukup tinggi di beberapa daerah di Indonesia sebaiknya memperkuat pengamatan kesehatan secara terus menerus dan sistematis. "Selain 3M, memperkuat surveilans aktif, (dengan) TLI, Tes-Lacak-Isolasi," kata Pandu.

Dosen Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Zullies Ikawati mendukung upaya Kementerian Pertanian (Kementan) dalam membuat inovasi kalung dari tanaman eucalyptus sebagai produk kesehatan. Dia menyebut, produk ini sangat cocok untuk orang yang terpapar Covid-19.

"Saya kira, sebagai pendukung untuk gejala Covid inovasi ini sangat bagus karena Covid biasanya sesak napas. Jadi ini sangat pas sekali," kata Zullies, seperti dikutip dari siaran pers Kementan, Sabtu (4/7).

Namun untuk sebagai antivirus corona pembuktian menuju ke sana masih harus melalui beberapa proses panjang. Termasuk uji klinis di tingkat kementerian dan lembaga lain.

"Kalau uji invitro saya setuju dan saya kira memang ada potensi menjadi antivirus. Tapi kan untuk menjadi satu obat pasti ada alurnya," katanya.

Kementan menyatakan antivirus eucalyptus bukan vaksin. "Ini bukan obat oral, bukan vaksin. Tapi kita sudah lakukan uji efektivitas secara laboratorium dan secara ilmiah kita bisa buktikan. Paling tidak ini bagian dari upaya kita. Minyak eucalyptus ini juga sudah turun menurun digunakan orang dan sampai sekarang tidak ada masalah," kata Kepala Balitbangtan Kementan, Fajdry Jufry dalam Siaran Pers Kementan, Sabtu (4/7).

Terkait dengan banyaknya keraguan terhadap antivirus ini, Fadjry mengatakan hingga saat ini, banyak negara yang berlomba-lomba menemukan antivirus corona, begitupun di Indonesia. Pemerintah terus mencoba mencari cara dan menemukan obat untuk mencegah serta menangani virus corona (Covid-19) yang masih mewabah di Indonesia.

Fadjry mengatakan, langkah ini ditujukan sebagai bagian dari upaya pemerintah dan masyarakat Indonesia dalam menyikapi pandemi Covid yang tengah mewabah, langkah ini juga diharapkan dapat menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk menghargai dan mendukung karya anak bangsa.

“Para peneliti di Balitbangtan ini juga bagian dari anak bangsa, mereka berupaya keras menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk bangsanya, semoga hal ini mampu menjadi penemuan baik yang berguna bagi kita semua,” kata Fadjry.

Eucalyptus selama ini dikenal mampu bekerja melegakan saluran pernapasan, serta menghilangkan lendir, pengusir serangga, disinfektan luka, penghilang nyeri, mengurangi mual, dan mencegah penyakit mulut. Menurut Fadjry minyak atsiri eucalyptus citridora bisa menjadi antivirus terhadap virus avian influenza (flu burung) subtipe H5N1, gammacorona virus, dan betacoronavirus.

Penemuan tersebut disimpulkan melalui uji molecular docking dan uji in vitro di Laboratorium Balitbangtan. Ia menjelaskan, laboratorium tempat penelitian eucalyptus telah mengantongi sertifikat level keselamatan biologi atau biosavety level 3 (BSL 3) milik Balai Besar Penelitian Veteriner.

Virologi Kementan pun sudah melakukan penelitan sejak 10 tahun lalu dan tak asing dalam menguji golongan virus corona seperti influenza, beta corona dan gamma corona. "Setelah kita uji ternyata Eucalyptus sp. yang kita uji bisa membunuh 80-100 persen virus mulai dari avian influenza hingga virus corona. Setelah hasilnya kita lihat bagus, kita lanjutkan ke penggunaan nanoteknologi agar kualitas hasil produknya lebih bagus” katanya.

Dalam berbagai studi dikatakan, obat ini hanya membutuhkan waktu sekitar 5-15 menit untuk inhalasi dan cukup efektif bekerja sampai ke alveolus. Dengan kata lain, dengan konsentrasi 1 persen sudah cukup membunuh virus 80-100 persen.

Bahan aktif utamanya, terdapat pada cineol 1,8 yang memiliki manfaat sebagai antimikroba dan antivirus melalui mekanisme M pro. Adapun M pro adalah main protease (3CLPro) dari virus corona yang menjadi target potensial dalam penghambatan replikasi virus corona.

Penelitian menunjukkan Eucalyptus ini berpotensi mengikat protein Mpro sehingga menghambat replikasi virus. Manfaat tersebut dapat terjadi karena 1,8 cineol dari eucalyptus disebut eucalyptol dapat berinteraksi dengan transient receptor potential ion chanel yang terletak di saluran pernapasan.

Kalung antivirus sebenarnya banyak ditemukan secara daring, mulai dari jejaring sosial hingga platform perniagaan elektronik. Kalung antivirus yang banyak dijual berasal dari Jepang. Pemilik toko pun mematok harga yang cukup bervariasi untuk kalung penangkal virus keluaran Jepang tersebut.

Beberapa toko menjual dengan harga Rp 30 ribu hingga Rp 300 ribu untuk satu kalung merek Shutout. Salah satu toko daring di Jakarta Barat mendeskripsikan kalung tersebut mampu mencegah virus dan bakteri dengan masa kedaluwarsa 30 hari sejak kemasan dibuka. Kalung tersebut dianggap menghasilkan klorin dioksida yang melindungi pemakainya dari serangan virus, bakteri, dan jamur dalam jarak satu meter.

Begitu juga menurut salah satu toko di Jakarta Utara yang menyebutkan kalung tersebut berfungsi menghilangkan virus dan bakteri yang ada di sekitar dengan cara mengoksidasi dan menonaktifkan protein penyusun virus. Cara pakainya mudah cukup dengan menggantungnya di leher dan secara otomatis akan memblok virus sehingga kalung ini juga dianggap cocok digunakan di tempat umum yang rawan dengan virus corona.

Namun, dokter subspesialisasi pulmonologi respirologi RSCM, Nastiti Kaswandani, dalam wawancara beberapa waktu lalu menegaskan, benda-benda seperti itu tidak efektif dan tidak bisa menangkal virus corona atau Covid-19. "Tidak (bisa menangkal corona)," kata Nastiti dalam wawancara bulan Maret.

Kalung tersebut diklaim mampu membunuh virus dan bakteri dengan efek disinfektan dan sterilisasi dalam radius satu meter. Bahhkan sudah banyak artis-artis yang menggunakan kalung tersebut. Mengenai hal ini, Nastiti menyarankan agar masyarakat mengikuti saran dari organisasi kesehatan yang resmi dan terpecaya seperti IDI, Kementerian Kesehatan, dan WHO.

Adapun dokter Spesialis paru dari RS Persahabatan Achmad Hudoyo enggan berkomentar. Pasalnya, ia belum pernah melakukan maupun menemukan penelitian terhadap kalung tersebut. "Belum menemukan hasil penelitiannya," kata Hudoyo.

photo
Masker Tiga Lapis WHO - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement