Kamis 11 Jun 2020 12:16 WIB

Siapkah Indonesia Hadapi Perubahan Perilaku Wisatawan?

Industri harus bisa beradaptasi untuk memenuhi kebutuhan wisatawan pascapandemi.

Warga mengunjungi obyek wisata Candi Banyunibo di Bokoharjo, Prambanan, Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (9/6/2020). Dinas Pariwisata DIY berencana menerapkan standar operasional prosedur (SOP) dan protokol kesehatan ketat pada sektor pariwisata dengan mengedepankan konsep bersih, sehat dan aman sebagai tahapan menuju normal baru guna mencegah penularan COVID-19
Foto: Antara/Hendra Nurdiyansyah
Warga mengunjungi obyek wisata Candi Banyunibo di Bokoharjo, Prambanan, Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (9/6/2020). Dinas Pariwisata DIY berencana menerapkan standar operasional prosedur (SOP) dan protokol kesehatan ketat pada sektor pariwisata dengan mengedepankan konsep bersih, sehat dan aman sebagai tahapan menuju normal baru guna mencegah penularan COVID-19

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dedy Darmawan Nasution, Antara

Pandemi Covid-19 dipastikan akan membawa perubahan besar terhadap minat wisatawan. Diperkirakan wisatawan nantinya akan lebih mengedepankan aspek keamanan dan kesehatan. Perubahan perilaku dalam berwisata harus dapat diantisipasi oleh seluruh pemangku kepentingan pariwisata dan juga ekonomi kreatif.

Baca Juga

Kepala Biro Komunikasi Kemenparekraf/Baparekraf Agustini Rahayu, Kamis (11/6), mengatakan pemerintah, pelaku usaha, maupun pemangku kepentingan lainnya harus mampu beradaptasi, menciptakan inovasi dan meningkatkan daya saing sebagai respons terhadap perubahan.

"Akan terjadi perubahan perilaku yang mendasar dari wisatawan. Nantinya wisatawan akan lebih mengedepankan faktor kebersihan, kesehatan dan keselamatan serta keamanan sehingga industri harus dapat beradaptasi untuk dapat meyakinkan konsumennya bahwa fasilitas mereka dapat memenuhi faktor dimaksud," kata Agustini Rahayu.

UNWTO menyatakan kini saatnya untuk melakukan peninjauan ulang terhadap standarisasi pariwisata melalui pedoman global pembukaan kembali fasilitas pariwisata yang mereka sebut Global Guidelines to restart tourism. Organisasi itupun telah merilis pedoman yang dijadikan acuan industri pariwisata terkait perubahan perilaku wisatawan secara umum.

Dari sisi akomodasi misalnya, preferensi wisatawan akan berubah dari yang semula mencari akomodasi yang menawarkan harga promo/budget hotel ke hotel-hotel yang mengutamakan aspek higienitas. Kemudian dalam transportasi, penerbangan langsung atau maksimum satu kali transit akan menjadi preferensi utama wisatawan.

Aktivitas wisatawan juga akan lebih ke luar ruang dengan pilihan udara sejuk, self-driving, dan private tour.

"Industri mungkin di awal akan melakukan penyesuaian harga karena harus memenuhi standar yang dibutuhkan dan wisatawan akan membayar. Meski nantinya seiring berjalan waktu juga akan ada penyesuaian dari sisi bisnis," kata Agustini Rahayu.

Kemenparekraf telah menyiapkan program Cleanliness, Health and Safety (CHS) yang akan jadi pedoman bagi sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. Namun protokol tersebut nantinya akan dikeluarkan melalui Peraturan/Keputusan Menteri Kesehatan dalam waktu dekat. Protokol kesehatan harus diharmonisasikan dengan Kementerian/Lembaga lain agar tersinergi baik.

Setelah itu pihaknya baru akan melakukan pendampingan kepada industri, termasuk pelatihan pekerja pariwisata di setiap destinasi dan diaplikasikan. "Mudah-mudahan dalam waktu dekat final agar kita bisa segera disosialisasikan," kata Agustini Rahayu.

 Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengungkapkan terjadi perubahan perilaku konsumen secara signifikan yang lebih mengutamakan kebutuhan primer. Selain itu, ada upaya menjaga dan merawat kesehatan pada masa normal baru.

"Selama pandemi Covid-19 terdapat perubahan perilaku masyarakat yang menarik, pertama mereka ada kebutuhan terutama untuk kebutuhan primer yakni pangan plus menjaga kesehatan atau health care, karena orang-orang membutuhkan sabun cuci tangan dan masker. Pengeluaran itu jadi berubah dari yang awalnya untuk kebutuhan sekunder menjadi kebutuhan primer, terutama kesehatan," kata Aviliani dalam diskusi daring di Jakarta, Selasa (9/6).

Padahal, lanjut dia, sebelum pandemi Covid-19 masyarakat mengutamakan kebutuhan pangan dan pariwisata atau jalan-jalan, di mana pengeluaran masyarakat untuk jalan-jalan atau pariwisata menduduki peringkat kedua. Namun ketika Covid-19 melanda justru sektor yang terkena duluan adalah sektor pariwisata.

"Otomatis kebutuhan sekunder ini akan lama untuk bisa kembali pulih di era normal baru saat ini. Kenapa? Walaupun mal-mal sudah dibuka di era normal baru, masyarakat masih tetap takut," ujar Aviliani.

Selain itu selama dua bulan terakhir, daya beli masyarakat cukup turun signifikan. Artinya orang-orang yang bekerja dari rumah atau working from home tidak mendapatkan uang makan, uang lembur, dan sebagainya sehingga penghasilan mereka turun 50 persen.

Di samping, kata dia, mereka harus memenuhi kebutuhan pokok. Sebagian pekerja juga sudah menggunakan dana tabungannya.

Sejumlah daerah di Indonesia pun bergulat menyiapkan diri untuk bisa menyambut kembali wisatawan di era new normal. Ketua Pasar ASEAN Asosiasi Perusahaan Pariwisata Indonesia (Asita) Bali, Febrina Budiman, mengatakan ada 400 operator tur dan agen perjalanan yang tergabung dalam Asita Bali sudah menyatakan siap untuk menyambut kenormalan baru pariwisata.

"Kami sangat optimistis bahwa kami bisa 'berteman' dengan Covid-19  meski kita tidak bisa berteman selamanya," kata Febrina melalui siaran pers Kemenparekraf.

Menurut dia, optimisme pelaku usaha pariwisata dan ekonomi kreatif di Bali itu bukan tanpa alasan. Dimulai dari situasi sangat berat akibat Covid-19 ketika pemerintah menutup akses pintu masuk internasional, khususnya dari China pada Februari 2020.

Kemudian, memasuki Maret 2020, pemerintah memutuskan untuk menutup semua penerbangan internasional yang berarti wisatawan dari berbagai pasar potensial juga terhenti. Namun keberhasilan pemerintah daerah bersama komunitas lokal dalam mengendalikan Covid-19 membuat industri optimistis menatap fase baru pariwisata Bali.

Asita Bali sudah merancang protokol kebersihan, kesehatan, dan keamanan dan memastikan nantinya akan diterapkan dengan ketat bersama-sama dengan seluruh pemangku kepentingan pariwisata dan ekonomi kreatif di Bali.

Mulai dari pra-kedatangan wisatawan, saat tiba di bandara dan menuju hotel, saat melakukan aktivitas tur, dan kembali ke bandara untuk penerbangan ke negara asal wisatawan. Dengan kata lain, industri sepenuhnya siap memberikan rasa nyaman dan aman serta pengalaman baru bagi wisatawan dalam tatanan kenormalan baru pariwisata.

"Namun untuk saat ini dibukanya destinasi tetap bergantung dari keputusan pemerintah," kata Febrina.

Bali khususnya kawasan Nusa Dua direncanakan akan menjadi pilot project penerapan program CHS pemerintah. Kawasan Nusa Dua dipilih karena lokasinya yang strategis dan merupakan area eksklusif sehingga dapat dengan mudah dilakukan pengawasan.

Nusa Dua juga lengkap dengan fasilitas pendukung mulai dari akomodasi, amenitas, bahkan rumah sakit berskala internasional.

Director of Marketing Communications The Westin Resort Nusa Dua Bali Dewi Anggraini mengatakan pihaknya telah bersiap untuk memasuki tatanan kenormalan baru pariwisata. Selama ini Westin benar-benar mempersiapkan dan menjadikan situasi yang lesu akibat Covid-19 ini sebagai tantangan.

The Westin Resort Nusa Dua Bali telah menyiapkan protokol yang akan diterapkan pada setiap aspek. Mulai dari lobi, kamar, restoran, hingga tempat pertemuan.

"Kami sudah melakukan set up untuk new normal dan beberapa hal yang harus diperhatikan. Semua itu secara intens kami komunikasikan ke publik sehingga kami harapkan bisa menjaga kepercayaan di mata masyarakat," kata Dewi. Ia berharap implementasi normal baru dapat segera berjalan dan industri kembali bergeliat.

Kepala Dinas Pariwisata NTB, Lalu Faozal, mengatakan ingin segera kembali menghidupkan"mesin pariwisata yang vakum akibat pandemi. Ia mengatakan ketika sektor pariwisata NTB dibuka kembali akan ada lima destinasi pilot project yang dibuka secara bertahap, mulai dari kawasan Gili (Air, Meno, Trawangan), Taman Nasional Gunung Rinjani, Islamic Center, Kawasan Mandalika, dan destinasi di Pulau Sumbawa yaitu Pulau Moyo.

"Kawasan tiga Gili menjadi pilot project saat sektor pariwisata di buka lantaran di sana lebih bisa di atur bagaimana implementasi protokol kesehatan dan penerapan physical distancing. Lalu pintu masuk ke kawasan tersebut sudah ditetapkan dari pelabuhan Bangsal," katanya.

Faozal pun menjelaskan Taman Nasional Gunung Rinjani bisa dibuka kembali setelah kawasan Gili, namun perlu koordinasi dengan pihak pengelola terkait daya tampung dan penerapan physical distancing di salah satu dari tujuh gunung tertinggi di Indonesia itu.

Kemudian terdapat kawasan Islamic Center yang pengelolaannya di bawah koordinasi Dinas Pariwisata NTB. Selanjutnya secara bertahap Kawasan Mandalika dengan terus berkoordinasi bersama ITDC sebagai pengelola kawasan ekonomi khusus seluas 1.200 hektare tersebut. Di sisi lain destinasi di Pulau Sumbawa yaitu Pulau Moyo.

Bintan juga disebut sebagai salah satu kawasan wisata yang siap dibuka kembali. Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggaraan Kegiatan (Events) Kemenparekraf, Rizki Handayani, mengatakan,  Bintan ini termasuk destinasi yang siap dibuka jika Singapura sudah membuka wilayah perbatasannya. Namun untuk menghadapi hal itu, seluruh stakeholder pariwisata di Bintan harus benar-benar menyiapkan SOP dan pedoman kesehatan.

Rizki Handayani mengatakan, pandemi Covid-19 memberikan dampak perubahan dari sektor pariwisata. Pertama dampak terhadap pasar dan kedua dampak terhadap destinasi itu sendiri, baik dari segi atraksi, akses, dan amenitas.

Dari segi market, lanjut Rizki, juga akan mengalami perubahan baik dari segi kuantitas maupun dari segmen atau kualitasnya. Sebelum pandemi Covid-19, pemerintah sudah mencanangkan sektor pariwisata ke depan bertransformasi dan menekankan pada quality tourism.  

Ia menjelaskan, ke depan akan ada tiga skenario berwisata, yang pertama travel defense atau mereka yang berwisata tanpa memikirkan kondisi yang saat ini terjadi, yang penting mereka berwisata. Ini sangat mengkhawatirkan karena pandemi ini belum selesai. Kemudian travel phobia adalah yang tidak mau ke mana-mana. Kemudian travel wise, yakni traveler yang sangat memperhatikan banyak aspek dan terutama protokol kesehatan.

“Untuk itu perlu SOP sebagai pedoman dalam pengelolaan destinasi wisata. Ada untuk subjeknya, yaitu protokol bagi pekerja, wisatawan, pengelola, hingga pihak ketiga dalam hal ini tour operator atau travel agen. Kemudian objeknya dimana tidak hanya kebersihan bagaimana objek yaitu memenuhi standar keselamatan. Tidak susah menerapkannya,” katanya.

 

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bintan Wan Ruddy Iskandar menjelaskan, Bintan saat ini sudah masuk dalam zona hijau. Sehingga Bintan berpeluang untuk bisa kembali membuka diri bagi wisatawan.

photo
Hasil survei US Travel Association menunjukkan Covid-19 sebagai faktor utama penentu keputusan dalam berwisata. - (Pusat Data Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement