Senin 27 Jun 2022 12:24 WIB

LPSK: Kasus Penyiksaan Warga Sipil Fenomena Gunung Es

LPSK mennemukan pola penyiksaan kolaboratif antara sipil dan penyelenggara negara.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus raharjo
Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) membeberkan, aparatur negara menjadi aktor di balik banyak penyiksaan terhadap rakyat sipil. Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution menyebut, dalam catatannya, ada 13 kasus penyiksaan yang masuk ke LPSK pada 2020, 28 kasus pada 2021 dan 13 kasus pada Januari hingga Mei 2022.

Maneger menambahkan, walaupun datanya sebatas puluhan, LPSK meyakini praktik penyiksaan ini sebagai gejala gunung es. Sebab, ia meyakini data itu belum tentu dapat menggambarkan peristiwa sesungguhnya.

Baca Juga

"Bisa jadi peristiwa sesungguhnya lebih besar dari itu. Sebab tidak semua masyarakat yang mengalami (korban) atau saksi yang melihat itu punya keberanian untuk melapor," kata Nasution di Jakarta, Senin (27/6/2022).

Nasution mengungkapkan, tahapan penyiksaan yang masuk ke LPSK yang tertinggi adalah pada tahap penangkapan. Kedua, ketika ada penyelidikan. Ketiga, justru di luar proses hukum. Kemudian yang terakhir ketika dalam masa tahanan.

"Siapa aktornya? Aktor atau pelaku dari penyiksaan itu penyelenggara negara, aparatur negara dan pejabat publik," ujar Nasution.

Selain itu, LPSK menemukan pola penyiksaan yang dilakukan secara kolaboratif antara masyarakat sipil dengan penyelenggara negara. Misalnya, yang terjadi di Sumba. "Yang manas-manasi, menghasut oknum tentara untuk melakukan kekerasan itu anggota DPRD," kata Nasution.

Nasution menilai fenomena seperti ini masih saja terjadi tidak terlepas dari situasi di Indonesia. Ia menyinggung persoalan substansi hukumnya. Sebab, Indonesia belum mengatur soal mekanisme pencegahan penyiksaan dalam undang-undang induk yaitu KUHP.

"Dalam KUHP yang diatur adalah norma kekerasan bukan penyiksaan," ujar Nasution.

Selain itu, Indonesia memang sudah meratifikasi Convention Against Turture (CAT) pada 1998. Namun, hingga kini, belum juga meratifikasi protokol opsional konvensi dunia melawan penyiksaan atau Optional Protocol to the Convention Against Torture (OPCAT). Oleh karena itu, Nasution mendorong pembuat UU memasukkan norma penyiksaan dalam RKUHP.

"Pemerintah, khususnya Presiden Jokowi, di sisa-sisa periode keduanya ini, mengambil inisiatif baru meratifikasi OPCAT. Kalau ini terjadi, sungguh legacy yang baik,” ujar Nasution.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement