Selasa 19 Jan 2021 09:31 WIB

Mukti Fajar Terpilih Jadi Ketua KY, PBHI Beri Catatan

Tujuh Komisioner KY telah dilantik oleh Presiden Jokowi pada Desember 2020.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Mukti Fajar Nur Dewata
Foto: ANTARA/Aprillio Akbar
Mukti Fajar Nur Dewata

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mukti Fajar Nur Dewata dan M. Taufiq HZ terpilih menjadi Ketua dan Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY) Paruh Waktu I Periode Januari 2021- Juni 2023. Mukti Fajar dan M. Taufiq berhasil mendapatkan suara terbanyak dalam voting Rapat Pleno Terbuka Pemilihan Pimpinan KY, Senin (18/1) di Auditorium KY, Jakarta yang dilalukan dengan protokol kesehatan.

Rapat pleno terbuka dilakukan dalam dua tahap, yaitu pemilihan Ketua KY dan dilanjutkan dengan Wakil Ketua KY. Sebelum penghitungan suara, tujuh Anggota KY memberikan pernyataaan penyampaian kesediaan dan ketidaksediaan untuk dipilih menjadi Ketua KY dan Wakil Ketua KY.

Baca Juga

Calon yang bersedia dipilih menjadi Ketua KY adalah Amzulian Rifai, Joko Sasmito, dan Mukti Fajar Nur Dewata. Sementara calon yang bersedia untuk Wakil Ketua KY adalah Joko Sasmito, Binziad Kadafi, dan M. Taufiq HZ.

Dari total tujuh anggota KY yang memberikan suara untuk Ketua KY, Mukti Fajar Nur Dewata berhasil mengantongi empat suara dan Amzulian Rifai mengantongi tiga suara. Sementara untuk Wakil Ketua KY, M. Taufiq HZ memperoleh empat suara mengungguli Binziad Kadafi yang memperoleh tiga suara. Dengan demikian, Mukti Fajar Nur Dewata dan M. Taufiq HZ terpilih menjadi Ketua dan Wakil Ketua KY Paruh Waktu I Periode Januari 2021- Juni 2023.

Ketua KY terpilih Mukti Fajar Nur Dewata menyampaikan pimpinan dan anggota KY akan bersungguh-sungguh bekerja dengan profesional dan proporsional sesuai dengan jabatan yang diberikan.

"Pertama, dari sisi internal, kami akan melakukan optimalisasi organisasi dengan melaksanakan reorganisasi dan reformasi birokrasi agar bisa memberikan layanan yang lebih baik kepada masyarakat," ujar Mukti Fajar usai terpilih.

Kedua, lanjut Mukti Fajar, KY akan memperkuat sinergisitas dengan lembaga-lembaga, khususnya Mahkamah Agung (MA) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta kementerian dan lembaga lain untuk penguatan kerja sama demi peradilan lebih baik, kredibel, dan terpercaya.

"Ketiga, kami tidak mungkin mampu menyelesaikan pekerjaan di KY sendiri. Kami meminta dukungan dan solidaritas dari seluruh jajaran staf di KY agar kita mampu memberikan yang terbaik bagi bangsa," harap Mukti Fajar.

Diketahui, Presiden Joko Widodo telah melantik tujuh Komisioner Komisi Yudisial pada Desember 2020 lalu. Sementara, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) mencatat masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan KY.

Sekjen PBHI, Julius Ibrani berharap, Ketua dan Wakil Ketua terpilih dapat memegang prinsip pengawasan ketat terhadap Mahkamah Agung, selain dilengkapi dengan sinergisitas yang efektif.

"Juga harus dipastikan pimpinan Komisi Yudisial tidak memiliki konflik kepentingan yang mengeliminasi prinsip netralitas dan objektivitas dalam melakukan pengawasan," tegas Julius.

Lebih lanjut Julius mengatakan, pekerjaan rumah komisioner baru telah menggunung. Terutama terkait reformasi kelembagaan Mahkamah Agung serta penguatan integritas dan kapasitas Hakim yang hingga kini belum menyentuh titik optimal.

Sementara, peran Komisi Yudisial pada periode sebelumnya terasa minim, bahkan justru disibukkan dengan persoalan koordinasi internal, akibat dari kepemimpinan yang lemah.

"Kami mencatat masih terdapat beberapa persoalan fundamental yang terjadi hingga saat ini," kata dia.

Catatan pertama, yakni masih banyaknya ditemukannya praktik pungli di pengadilan yang dilakukan panitera di pengadilan sebagaimana catatan Tim Saber Pungli Badan Pengawasan MA. Kedua, lanjut Julius, banyak Hakim dan Panitera yang terlibat Kasus Korupsi dan ketiga terkait pengawasan Internal oleh Badan Pengawasan MA yang tidak efektif dan tidak transparan, sehingga belum dirasakan manfaatnya oleh pencari keadilan.

"Ketiga persoalan di atas merupakan prioritas yang sangat mendesak untuk direspons cepat oleh Komisi Yudisial, dan merupakan kebutuhan dalam agenda reformasi sistem peradilan, khususnya di pengadilan (Mahkamah Agung)," tegasnya.

Pekerjaan rumah ini, kata Julius, hanya bisa dilakukan dengan pengawasan yang ketat. Pengawasan ketat ini juga harus didukung dengan obyektivitas dan netralitas Komisi Yudisial.

"Dengan kata lain, tentu sulit dilakukan jika terdapat konflik kepentingan dengan lembaga yang diawasi, Mahkamah Agung, baik akibat latar belakang pengalaman pekerjaan, maupun karena kedekatan personal di luar profesional," kata Julius.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement