Kamis 16 Jul 2020 00:02 WIB

Hari ini, Majelis Hakim PN Jakut Bacakan Putusan Kasus Novel

Tim advokasi Novel Baswedan minta jaminan MA agas majelis hakim berlaku obyektif.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Agus Yulianto
Penyidik KPK Novel Baswedan.
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Penyidik KPK Novel Baswedan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Tim Advokasi Novel Baswedan  mendesak, Ketua Mahkamah Agung memberikan jaminan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara bertindak objektif terkait putusan dua terdakwa  penyerang penyidik KPK Novel Baswedan yakni Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis. Diketahui, Majelis Hakim PN Jakarta Utara dijadwalkan membacakan putusan dua penyerang Novel Baswedan pada Kamis (16/7).

“Kami juga mendesak agar Majelis Hakim tidak ikut andil dalam peradilan sesat saat membacakan putusan besok,” kata Anggota Tim Advokasi, Kurnia Ramadhana dalam pesan singkat yang diterima Republika, Rabu (15/7).

Selain itu, sambung Kurnia, Komisi Yudisial juga harus aktif untuk mendalami dan memeriksa apabila ada inidikasi dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Tak hanya kepada Komisi Yudisial, Tim Advokasi juga mendesak, agar Komisi Kejaksaan harus memeriksa dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Desakan ini dilayangkan, karena Tim Advokasi menilai selama jalannya persidangan kedua terdakwa memiliki banyak kejanggalan. Adapun kejanggalan dalam persidangan antara lain, saksi-saksi yang dianggap penting dalam upaya untuk mengungkap kejahatan terorganisir ini tidak dimintai keterangan di muka persidangan.

Kemudian, barang bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara pun tidak ditunjukkan dalam proses persidangan. Seharusnya, lanjut Kurnia, Jaksa yang menjadi representasi kepentingan korban terlihat berpihak pada pelaku kejahatan.

“Kesimpulan ini dapat diambil pada saat proses pemeriksaan saksi korban, Novel Baswedan. Pertanyaan yang diutarakan oleh Jaksa terkesan menyudutkan Novel. Bahkan tuntutan Jaksa juga mengikis rasa keadilan korban itu sendiri,” tutur Kurnia.

Dalam mendakwa dan menuntut pun jaksa tidak bertindak atas nama individu melainkan kelembagaan. Pemilihan penuntut umum dan rencana penuntutan (rentut) jelas merupakan tindakan kelembagaan.

“Oleh karena itu segala tindakan penuntutan di persidangan termasuk menuntut rendah dan lebih bersikap sebagai pembela terdakwa adalah perintah kelembagaan," terang Kurnia.

Selain itu, pendampingan hukum yang dilakukan oleh Polri terhadap dua terdakwa kental dengan nuansa konflik kepentingan. Sebab, Ketua Tim Pendampingan Hukum para terdakwa sebelumnya merupakan pihak yang juga menyelidiki kasus ini dan tidak berhasil mengungkap kasusnya.

“Sehingga, publik dapat dengan mudah menerka sikap Polri tidak mungkin akan objektif dalam menangani perkara ini,” ucap Kurnia.

“Mabes Polri juga harus segera memeriksa Kadivkum, Irjen Rudy Herianto, yang sebelumnya menjadi penyidik kasus ini lalu kemudian menjadi kuasa hukum dua terdakwa. Terlebih terdapat dugaan penghilangan barang bukti dilakukan oleh yang bersangkutan,” tambah Kurnia.

Kurnia menambahkan, Presiden Joko Widodo juga harus membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta Independen yang dapat membongkar kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan. Jika hal ini tidak dilakukan, maka Presiden layak dikatakan gagal dalam menjamin keamanan warga negara.

“Mengingat Kapolri dan Kejakgung berada di bawah langsung Presiden, terlebih lagi korban merupakan penegak hukum,” tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement