Sabtu 23 Aug 2014 16:07 WIB

Ponpes-Madrasah Diabaikan

Red: operator

Selama ini pondok pesantren berperan mengawal tujuan utama pendidikan yang bermoral.

JAKARTA -Pemerintah dinilai mengabaikan keberadaan pondok pesantren dan madrasah diniyah. Dua lembaga ini pun ter lambat dalam kemajuan infrastruktur.Dana yang terbatas membuat sejumlah lembaga pesantren belum dapat memenuhi standar kelayakan penyelenggara pendidikan sebagaimana merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) No 19/2005 tentang Standar Pendidikan Nasional.

"Penyebabnya, pemerintah masih malumalu mengakui pesantren sebagai lembaga pendidikan unggul," kata Ketua Forum Pondok Pesantren (FPP) Jawa Barat Utawijaya Kusuma kepada Republikasaat dihubungi melalui telepon pada Jumat (22/8).

Buktinya, lanjut dia, sampai saat ini negara belum menyetarakan pesantren sebagai lembaga pendidikan formal.Saat ini, tidak ada undang-undang yang mengatur tentang sikap pemerintah terhadap ponpes, baik pada UU 20/2003 tentang Pendidikan Nasional maupun PP 55/2007 tentang Pendidikan Agama. Maka, ujarnya, nama pesantren seperti kamuflase yang dianggap ada, namun tiada.

Padahal, ponpes di Indonesia selama ini berperan mengawal tujuan uta ma pendidikan yang bermoral. Dikatakannya, sebanyak 11.300 ponpes Jabar telah terdaftar dan memiliki nomor statistik pondok pesantren (NSPT), sementara masih ter dapat 7.000 pesantren di Jabar yang belum terdaftar.

Pemimpin Pondok Pesantren Nurul Iman Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat, Jaeni Marjuki mengungkapkan, pemerintah terkesan mengabaikan keberadaan ponpes. Padahal, negara berutang besar atas jasa ponpes dalam fungsinya menyelenggarakan pendidikan moral dan agama.

Meski demikian, dia tak mau mengandal kan bantuan dari pemerintah. Sejak didirikan, kata dia, Pesantren Nurul Iman masih mempertahankan gaya perintisan pembangunan ponpes secara mandiri bekerja sama dengan masyarakat. "Hubungan dengan masyarakat perlu dibina karena manfaat keberadaan pesantren juga akan kembali kepada masyarakat," ujarnya.

Ketersediaan para tenaga pengajar pun, lanjut dia, menjadi tantangan tersendiri bagi ponpes. Dia mengungkapkan, banyak guru di pesantren yang masih mengandalkan "gaji akhirat". Profesi ini pun, ujarnya, men jadi kurang diminati lagi.

Kepala Pengelola Madrasah Diniyah (MD) Hajja Kalsum Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta Utara, Ibrahim mengeluhkan hal serupa. Sejak didirikan pada 1980-an, terjadi perubahan yang cukup mencolok atas minat masyarakat dalam mengikuti pendidikan di MD.

Penyebabnya, masyarakat merasa keberatan dengan SPP yang masih diterapkan.Mereka membandingkannya dengan se kolah formal yang saat ini sudah gratis akibat ada biaya operasional sekolah (BOS).

"Padahal, MD sebagai pendidikan nonformal tidak memperoleh BOS, makanya kita masih menarik biaya untuk kebutuhan operasional, juga menggaji para guru," katanya. Padahal, di MD Hajja Kalsum, kata dia, para siswa yang berjumlah 70 orang ditarik biaya pendidikan hanya Rp 8.000 per bulan. Waktu belajar dimulai pukul dua siang hingga pukul lima sore.

Ia mengenang, semangat keislaman yang dulu masih kental terus terkikis hingga hari ini. "Jika dulu anak-anak rajin mengaji ke masjid dan madrasah, membaca dan menghafal Alquran, menghafal doadoa, sekarang semakin sepi," katanya.

Ia menduga, hal tersebut disebabkan perkembangan komunikasi yang semakin pesat serta masuknya pengaruh para penda tang ke pulau. Dia pun berharap, pemerintah memberikan perhatian kepada penyelenggara pendidikan agama nonformal, seperti madrasah.

Dorong Formalisasi Ponpes

Sejak 2010, Forum Pondok Pesantren masih memperjuangkan munculnya peraturan menteri agama (PMA) soal ponpes. "Dulu pernah ada PMA Nomor 3/ 2012, tapi dicabut lagi karena dinilai tidak relevan dengan undang-undang," ujar Ketua Forum Pondok Pe santren (FPP) Jawa Barat Utawijaya Kusuma.

Menurutnya, dua beleid tersebut penting sebab belum ada regulasi untuk meng atur penyelenggaraan pesantren. Padahal, pesantren juga memerlukan dukung an dana agar tidak melulu membuat proposal dan dimanfaatkan ketika ada pesta politik. "Kalau ini terjadi, para kiai di daerah tidak lagi perlu minta-minta pakai proposal se hingga keberadaan para kiai se ring dimanfaatkan dalam momen pemilu," ujarnya.

Dia menjelaskan, bantuan dana dari pemerintah hanya bersifat sebagai pembinaan atau stimulan. Menurutnya, tidak ada ang garan khusus untuk pembiayaan operasional pesantren. "Tapi, kalau ada uangnya ya di bantu, kalau tidak, ya wassalam," ujarnya.Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama Ace Saefudin mengungkapkan, status nonformal ponpes dan madrasah diniyah membuat lembaga tersebut tak dapat menerima biaya operasional sekolah (BOS).

Menurutnya, tidak boleh ada pemberian bantuan dobel dari pemerintah. "Aturannya begitu, tidak boleh ada duplikasi atau over lapantara dua lembaga, tetap yang mendapatkan BOS itu anak-anak di pendidikan formal," ujarnya.

Dikatakannya, madrasah diniyah dan ponpes tumbuh dan berkembang dari masya rakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Sumber pembiayaannya pun didominasi oleh investasi masyarakat di bidang pendidikan. Atas kondisi ini, lanjut dia, pemerintah baru bisa memberikan biaya pendidikan yang fleksibel, bergantung dari permohonan bantuan.

Berdasarkan data Kemenag, sebanyak 27.300 ponpes terdaftar di Kementerian Agama untuk memudahkan koordinasi dan pengawasan. "Memang belum semua ada dalam daftar, masih banyak yang belum terdaftar," katanya.

Menurutnya, pemerintah akan lebih mudah memberikan perhatian dan bantuan untuk ponpes yang terdaftar. Dia memisalkan, dalam bentuk pembinaan terhadap sumber daya pengajar serta pemberian bantuan kondisional, yakni pelatihan kitab kuning bagi para ustaz atau pelatihan metode pengajaran baru di pesantren.

Didirikan pula Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT) yang menjadi sarana membangun sinergi antara lembaga pendidikan formal, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat dalam melakukan program pengembangan pesantren dan MD. rep:c78  ed:a syalaby ichsan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement