Rabu 20 Aug 2014 18:40 WIB

Pengamat: Ubah Sistem Pilpres dari Suara Terbanyak ke Distrik

Rep: C57/ Red: Julkifli Marbun
Sejumlah warga binaan menggunakan hak suaranya pada Pilpres 2014 di Tempat Pemungutan Suara (TPS) dalam Rutan Cipinang, Jakarta, Rabu (9/7). (Republika/Prayogi)
Sejumlah warga binaan menggunakan hak suaranya pada Pilpres 2014 di Tempat Pemungutan Suara (TPS) dalam Rutan Cipinang, Jakarta, Rabu (9/7). (Republika/Prayogi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik UGM, Brigjen TNI (Purn). Saafroedin Bahar, menyatakan Indonesia sebaiknya mengubah sistem Pemilu dari suara terbanyak ke distrik.

"Dengan sistem distrik, tidak akan ada permasalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di MK," tutur Saafroedin pada Rabu (20/8) siang.

Saafroedin menyatakan hal ini saat menjadi narasumber dalam acara "Dialog Kenegaraan: Menanti Putusan MK (Sengketa Pemilu 9 Juli 2014)" di Gedung DPD RI, Jakarta.

Menurut Saafroeddin, sebaiknya sistem Pilpres mendatang menjadikan desa sebagai daerah pemilihan (dapil).

Pasalnya, menurut undang-undang, Desa mempunyai hak asal usul yang bersifat asli. Jika ini dapat dilakukan, maka akan ada 50 s/d 70 ribu dapil di seluruh Indonesia.

Sistem distrik ini, paparnya, bukan sekedar meniru sistem distrik di AS. Pasalnya, para pendiri negara tampak memiliki gagasan ke sistem distrik.

Artinya, pilpres dilaksanakan secara tidak langsung melalui perwakilan rakyat di MPR. Saat itu bernama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Seperti di Amerika Serikat (AS), tutur Saafroedin, PPKI saat itu berfungsi seperti "electoral college" di AS.

Mantan Komisioner Komnas HAM itu pun yakin indonesia akan lebih tenang dengan menggunakan sistem distrik daripada sistem suara terbanyak seperti sekarang.

Dalam sistem distrik, berlaku prinsip "the winner takes all", jadi tinggal menghitung capres mana yang perolehan suara distriknya paling besar.

"Hal ini juga lebih sesuai dengan struktur sosial-budaya masyarakat Indonesia. Saya sedih melihat perdebatam di sosial media akibat Pilpres dengan sistem suara terbanyak ini," papar Saafroedin.

Jika dibiarkan, perdebatan media sosial itu dapat saja memecah-belah bangsa Indonesia. "Kita semua prihatin dengan kondisi ini. Mungkin kedua calon tenang saja, tapi pendukungnya yang bergelora," jelas Saafroedin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement