Kamis 07 Aug 2014 15:14 WIB
tajuk

ISIS, Khilafah, dan Pancasila

Red:

Sebulan terakhir ini atau sejak pertengahan Juli 2014, dunia dikejutkan dengan munculnya gerakan Islamic State of Iraq and Syiriah (ISIS) yang dikomandani oleh Abu Bakar al-Baghdadi. Pria kelahiran Mosul, Irak, itu mengklaim dirinya sebagai pemimpin bagi seluruh umat Islam di dunia untuk membentuk negara Islam dengan konsep khilafah (kepemimpinan ala Islam).

Atas dasar itu, ia pun telah mendeklarasikan berdirinya Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS). Daerah kekuasaannya meliputi sejumlah wilayah yang telah mereka kuasai. Di antaranya, Suriah bagian utara dan timur serta sebagian wilayah utara, barat, dan timur Irak, juga dua kota lainnya di Irak, seperti Mosul dan Tikrit.

Pendirian Negara Islam di Irak dan Suriah ini terus berlanjut di sejumlah wilayah dan negara lainnya di dunia, termasuk di Indonesia. Keberadaan ISIS di Indonesia pun langsung menuai pro dan kontra.

Kelompok yang pro langsung menyepakati berdirinya Negara Islam di Indonesia dengan merujuk pada ISIS yang dipimpin oleh Abu Bakar al-Baghdadi itu. Bahkan, beberapa warga Indonesia secara terang-terangan mendukung ISIS. Mereka pun mengajak warga lainnya untuk turut serta bergabung ke dalam ISIS.

Sedangkan, bagi pihak yang kontra menilai, keberadaan ISIS ini tak sesuai dengan konsep daulah atau khilafah Islamiyah (pemerintahan Islami). Mereka menilai, ideologi ISIS itu juga bertentangan dengan ajaran Islam dan bisa merusak keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Karena itulah, mereka menolak ISIS hidup di bumi Indonesia. Keberadaan ISIS dianggap bisa menjadi cikal bakal berdirinya Negara Islam Indonesia yang sudah ditolak keberadaannya oleh pendiri (founding father) bangsa ini. Selain itu, keberadaan ISIS bisa makin merusak citra Islam yang santun dan cinta damai.

Apalagi, mereka yang tergabung dalam ISIS ini mulai menunjukkan jati dirinya dengan cara-cara yang dianggap kurang bersahabat. Mereka mengenalkan konsep khilafah Islamiyah dengan cara-cara jihad, yakni menggunakan senjata. Mereka yang tak mau berjihad seperti itu dikesankan bukan dari kelompok mereka walaupun yang menolak seperti mereka beragama Islam.

Masyarakat dunia tentu belum lupa dengan tragedi World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat pada 11 September 2001. Ketika peristiwa itu terjadi, dunia banyak mengutuk keras umat Islam karena dinilai menjadi pelaku tragedi yang menewaskan ribuan jiwa itu. Sejumlah pihak menuding, Alqaidah berada di balik peristiwa itu. Dunia pun memburu pimpinan Alqaidah, Usamah (Osama) bin Ladin.

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, yakni mencapai 88 persen dari total populasi sekitar 240 juta jiwa. Walau demikian, negara ini bukanlah negara yang berdasarkan pada agama tertentu, seperti Islam. Negara ini justru menganut sistem Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai dasar negara. Dengan sistem itu, Indonesia mengakui bahwa Islam sebagai salah satu agama di Indonesia.

Melihat cara dan karakter yang ditunjukkan para pendiri dan pengikut dari ISIS, ada dugaan bahwa kelompok ini akan menjadi kelompok peneror. Sejumlah pihak pun menuding bahwa ISIS dan pengikutnya sebagai kelompok teroris yang sengaja untuk membuat keonaran dan kekisruhan.

Atas dasar ini pula, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa perbuatan itu haram. Dan, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Djoko Suyanto telah menginstruksikan kepada aparat Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk menangkap para pengikut ISIS di Indonesia. Sebab, keberadaan pengikut ISIS dikhawatirkan akan menjadi kelompok teroris baru.

Kita berharap, warga negara Indonesia yang menjadi pengikut ISIS hendaknya kembali mempelajari ajaran Islam secara baik dan benar. Sebab, jihad bukan semata-mata harus berjuang dengan cara-cara melakukan peperangan atau senjata.

Marilah kita semua mengkaji kembali makna jihad yang sesungguhnya. Belajarlah kepada ulama, ustaz, dan dai. Ini juga menjadi tugas para ulama, dai, kyai, ustaz, khatib, dan mubaligh untuk memberikan dakwah dengan cara yang bijak (hikmah).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement