Senin 04 Aug 2014 15:30 WIB

Autisme, Lingkungan atau Genetik?

Red:

Gejala autisme pada anak selama ini selalu dikaitkan dengan faktor genetik. Padahal, faktor lingkungan menjadi dominan, terutama dari pencemaran timbal yang memengaruhi sistem saraf pusat secara langsung pada orang tua dan kemudian menurun pada anak.

Kasus autisme, menurut staf ahli intelegensia Kementerian Kesehatan dr Bagus Satriya Budi MKes, banyak terjadi karena orang tua keracunan timbal lewat hasil pembakaran bahan bakar minyak. Proses paparan timbal akan terjadi saat bahan kimia tersebut mengendap di dalam darah dan berada dalam tubuh seumur hidup.

Untuk mengantisipasi paparan tersebut, Bagus menyarankan agar ibu hamil di kota-kota besar dengan tingkat pencemaran timbal tinggi tidak terlalu sering beraktivitas di luar ruangan. "Selain menurun dari gen ibu, risiko autisme dapat juga menurun melalui garis ayah sebagai DNA penurun faktor autisme," ujarnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:AGUS BEBENG/ANTARAFOTO

Shinta Nur Safira Azzahra Runner Up Miss Indonesia 2013, berfoto bersama sejumlah Anak Berkebutuhan Khusus pada acara launching Rumah Autis Hasanah Bandung, Jawa Barat, Sabtu (1/3).

 

Timbal, kata Bagus, pada mulanya masuk melalui sistem pernapasan menuju ke otak. Pada tahap awal, timbal memengaruhi sistem saraf kemudian bergerak ke seluruh tubuh melalui darah.

Timbal yang mengendap dalam darah dapat diketahui dari deteksi rambut dan darah. Tingkat timbal lebih dari 0,1 mg/100 cc dapat menyebabkan keracunan hingga berpengaruh pada kecerdasan otak anak. "Bahan bakar dengan timbal sebenarnya hanya diperbolehkan untuk industri, bukan kendaraan bermotor," paparnya.

Faktor gen dan lingkungan menurut peneliti Karolinska Institute Swedia Sven Sandin rupanya saling memengaruhi satu sama lain. Orang berpendapat bahwa 90 persen penyebab anak lahir dengan autisme adalah gen dari orang tua. "Penyebab anak lahir dengan autisme akibat gen hanya 50 persen. Setengah lagi berasal dari faktor lingkungan," tutur Sandin di laman Reuters, baru-baru ini.

Faktor lingkungan yang dimaksudkannya memang bermacam-macam. Mulai dari proses kelahiran anak, komplikasi kelahiran, status ekonomi dan sosial orang tua, serta kesehatan dan gaya hidup orang tua. Riwayat kesehatan orang tua pun turut berpengaruh.

Sebuah hasil penelitiannya juga menunjukkan, jika anak pertama lahir dengan autisme, anak yang lahir setelahnya mempunyai risiko 10 kali lebih tinggi untuk mengidap kondisi yang sama. Sementara itu, jika ada sepupu mengidap autisme, kemungkinan anak dari garis keturunan segarisnya lahir dengan kondisi tersebut juga meningkat dua sampai tiga kali lipat.

 

"Pada level individual, risiko autisme meningkat tergantung dari bagaimana Anda dekat secara genetik kepada anggota keluarga lain yang mengidap autisme," ujar Sandin.

Penelitian yang diterbitkan dalam Journal of the American Medical Association (JAMA) ini menganalisis 14.516 anak dengan autisme dari dua juta anak yang lahir di Swedia antara tahun 1982 hingga 2006 secara acak berdasarkan data dari daftar kesehatan nasional Swedia.

Dua aspek

Staf Divisi Psikiatri Anak dan Remaja Departemen Psikiatri RSCM/FKUI Dr dr Tjhin Wiguna SpKJ(K) menjelaskan, ada dua kelompok besar gambaran klinis gangguan spektrum autisme yang bisa diamati baik orang tua maupun pengasuh. Di antaranya, dari aspek komunikasi sosial dan aspek perilaku berulang-ulang.

"Orang tua harus tanggap, misalnya, anak saya belum bisa bicara padahal usianya sudah dua tahun dan teman-teman seusianya sudah bisa," tutur  Tjhin.

Selain itu, dari sisi nonverbal biasanya anak dengan autisme sulit melakukan kontak mata dengan orang yang diajak berbicara. Bahasa tubuh dan interaksi sosialnya sangat minim, bahkan anak juga enggan bermain bersama teman seusianya.

Indikator lainnya bisa dilihat dari perilaku berulang-ulang, yang biasanya diperlihatkan anak dengan senang menyusun mainan secara segaris, membalik, atau mengepakkannya berulang-ulang, juga mengikuti kata-kata orang lain tanpa makna. Frasa bahasan yang digunakan juga tak biasa dan diulang-ulang.

Bisa juga sikap anak menjadi kaku dan tidak bisa menerima perubahan. Misalnya, jika biasanya anak melewati rute tertentu saat sekolah, jika di kemudian hari melewati rute lain akibat macet, anak tiba-tiba menangis.

Hiperaktif atau hipoaktif  terhadap input sensorik juga kerap diperlihatkan anak dengan gejala autisme. Misalnya, anak tahan terhadap rasa sakit, namun sangat sensitif dengan suara.

"Yang pasti, gejala-gejala ini muncul biasanya dalam usia dini perkembangan anak, yaitu di usia sampai tiga  tahun," kata Tjhin. Jika orang tua menemukan adanya gejala tersebut, segera konsultasikan ke dokter atau psikiater anak.

Kasus intoleransi terhadap gluten juga sering ditemukan pada anak-anak berkebutuhan khusus seperti autisme. Dokter kerap menganjurkan anak dengan autisme untuk diberikan makanan bebas gluten atau gluten-free.

"Anak-anak dengan autisme diduga memiliki leaky gut atau sistem pencernaan yang bocor sehingga tidak dapat memecah protein gluten dengan baik," papar staf Alergi dan Imunologi Klinik Divisi, Departemen Internal Medicine FKUI/RSCM Dr dr Iris Rengganis SpPD. Sisa pencernaan protein ini diyakini dapat terserap masuk dan mengganggu kerja otak.  rep:indah wulandari   Ed:khoirul azwar

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement