Kamis 31 Jul 2014 13:00 WIB

Idul Fitri dan Moderasi

Red: operator

Republika.co.id -- Idul Fitri bisa diartikan dengan dua makna. Pertama, kembali pa - da fitrah (asal kejadian atau ke - sucian). Dalam Alquran, asal ke - jadian manusia adalah bebas dari dosa, suci, dan berkecenderungan pada kebenaran. 

Kedua, kembali pada asal kejadian ma nusia yang punya jasad kasar/jas - mani. Sejak Idul Fitri ini manusia dibe - baskan memenuhi kebutuhkan makan, minum, dan seks, di siang hari sekalipun, tetapi dengan harus dikendalikan oleh ru haninya, sehingga tetap menjadi makh luk yang bermartabat (berbeda dengan hewan), memiliki ruh ketuhanan, dan tidak terjerumus pada hal-hal yang nista.Idul Fitri berarti hari raya berbuka puasa, karena selama sebulan sebelum- nya kaum Muslimin dilarang makan, minum, dan melakukan hubungan sek - sual yang sesungguhnya halal di 11 bu - lan setelahnya.

Puasa dan Idul Fitri sebanding de - ngan larangan Nabi mengabdikan diri sepenuhnya untuk Allah dengan hanya menghidupkan sisi ruhani saja, semen- tara sisi jasmani dimatikan. Dalam suatu hadis sahih dijelaskan bahwa Nabi mem - peroleh pengaduan dari seorang istri sa - habat bahwa suaminya tidak lagi me me - dulikannya. Tidak pernah \"menda tangi - nya\" dan juga tidak memberinya, ju ga anak-anaknya, nafkah lahir. Nabi pun kemudian bersabda: \"Sesungguhya sega - la sesuatu mempunyai hak. Penuhi lah semua yang punya hak sesuai hak nya.\" 

Dalam hadis ini, Nabi mengakui bah - wa badan (jasmani), istri, dan anak juga mempunyai hak untuk dipenuhi. Islam, sesuai hadis Nabi, juga puasa dan Idul Fitri, adalah agama moderat, bukan aga - ma ekstrem yang menganjurkan hidup secara alami. Bahkan, dalam sejarah, salah satu faktor yang membuat Islam bertahan dan berkembang hingga seka - rang karena karakternya yang moderat. 

Islam adalah agama kemaslahatan ma nusia. Sesuatu dianggap Islam atau ti - dak adalah apakah dakwah, ajaran, si - kap, dan lainnya yang diklaim Islam di da lamnya terdapat kemaslahatan bagi ba - nyak manusia atau tidak. Bahkan, da lam aliran ini pun dikenal kaidah meno lak kerusakan, seperti pertumpahan da rah, lebih didahulukan daripada mengejar nilai tertentu seperti keadilan sekali pun, bahkan tuntutan harfiah ayat se kalipun. 

Berdasarkan puasa dan Idul Fitri, Islam memandang nafsu jasmaniah se - cara poistif. Ia berbeda dengan agama lain karena Islam memandang nafsu jas- maniah, seperti makan, minum, dan seks, bukan sebagai sesuatu yang harus dimatikan/dibunuh. Nafsu jasmaniah dalam Islam dipandang perlu, karena tanpa itu manusia tidak bisa bertahan dan berkembang. 

Islam memandang manusia sebagai entitas ruhani dan jasmani, sebagai dua sisi mata uang. Ia menolak klaim mate- rialisme yang memandang manusia se - bagai entitas materi saja. Karenanya, ba - gi aliran ini, apa yang disebut ruhani ha - nyalah ilusi. Hal-hal ruhaniah hanyalah kerja otak manusia, bagaikan air seni se - bagai hasil kerja ginjal. Islam juga me - nolak aliran idealisme yang menafikan keberadaan hal-hal fisik/jasmani, di mana fisik/jasmani hanya wadah semata bagi ruhani. 

Dalam masyarakat Muslim, seorang pimpinan ordo sufi semisal Tarekat Qa - di riyyah sekalipun menikah. Sebagai - ma na puasa dan Idul Fitri serta perka - win an, perceraian diletakkan dalam Islam. Perceraian tidaklah dipandang buruk, meskipun sebagai pintu darurat saja. Artinya, jika perceraian dipandang lebih maslahat bagi fisik dan ruhani manusia, maka perceraian tidak diha - ramkan dalam Islam. 

Hal yang sama adalah poligami. Mes - ki dalam Islam prinsip pernikahan ada - lah monogami, poligami dalam keadaan tertentu yang darurat dibolehkan. Da - lam Islam, sebagaimana dikemukakan HAMKA, jalan menuju sikap adil adalah monogami, sementara poligami adalah jalan menuju kezaliman. Namun, seba- gaimana diakui Huston Smith, ahli per- bandingan agama, dalam keadaan ter- tentu, poligami walau bagaimanapun dibutuhkan, yang tidak boleh ditutup sama sekali.

Sebagaimana cerai dan poligami, perang dalam Islam adalah jalan darurat yang boleh dipilih ketika diserang/mem - bela diri atau tak ada jalan lagi untuk melakukan perdamain. Dalam berbagai ayat dan hadis dijelaskan, Islam adalah agama yang memang menekankan sikap ihsan (berbuat baik [tidak melakukan ke kerasan] kepada orang jahat atau mu - suh sekalipun). Islam juga menekankan keharusan melakukan musyawarah (ke - balikan dari kekerasan) sebagai bentuk resolusi konflik. 

Bahkan, dalam konsep resolusi kon - flik pun, umat Islam dianjurkan agar ti - dak melakukan tuntutan seratus persen, seperti yang telah dilakukan Nabi dalam Perjanjian Hudaibiyyah. Dalam perjan- jian ini, Nabi mengikuti keinginan kafir Quraisy, dan teksnya pun diubah sampai dua kali yang membuat Umar bin Khat - tab gusar. Islam juga menekankan sikap inklusif (memandang orang lain bagian dari diri sendiri) dan memandang perbe- daan sebagai sunnatullah bahkan sesua - tu yang positif agar manusia saling ber - lomba dalam kebaikan. 

Banyak ayat dan hadis yang mem- perlihatkan ajaran itu. Namun, Islam juga agama pragmatik. Karenanya, da - lam Islam, perang pun kemudian diatur agar tidak melampaui batas (bersifat ekstrem). Konsep perang dalam Islam tidak mengenal bumi hangus. Islam juga mengharuskan agar kaum Muslim mem- biarkan orang-orang sipil seperti wanita, anak-anak, orang-orang tua, pihak yang membantu, dan yang mengabdikan diri untuk ibadah untuk tidak diserang.

Puasa dan Idul Fitri, sesuai karakter mo derasi Islam, juga sama dengan dok - trin Islam mengenai politik dan eko - nomi. Keduanya dalam Islam tidaklah di pandang buruk, meski keduanya ba - gian dari keinginan dan pemenuhan nafsu. Keduanya boleh dikejar untuk diperoleh manusia, asalkan sesuai etika dan akomodatif terhadap keberadaan orang lain dan aspirasi masyarakat. 

Nabi pun bahkan di Madinah mem- punyai kekuasaan temporal (politik)

yang diperoleh lewat perjanjian dengan elite (bai\'at Aqabah dan Perjanjian Madinah), tidak hanya menjadi Nabi.

Untuk ekonomi, entry point-nya bisa dilihat dari konsep zakat dalam Islam.

Berdasarkan penjelasan puasa dan idul fitri serta doktrin Islam lainnya di atas, ekstrimisme, radikalisme, apalagi terorisme, meski atas nama Islam, sangat tidak sejalan dengan Islam. Dalam hal ini, Islam hanya dibajak oleh para peng - usung gerakan tersebut.

SUKRON KAMIL 

Guru Besar UIN Jakarta, Direktur Pusat Studi Indonesia dan Arab 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement