Sabtu 26 Jul 2014 12:47 WIB

Gugatan Prabowo ke MK Jangan Dianggap Sinis

Rep: c87/ Red: Mansyur Faqih
Tim kuasa hukum Calon Presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mendaftarkan gugatan sengketa pemilu presiden di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (25/7) malam.
Foto: Agung Supriyanto/Republika
Tim kuasa hukum Calon Presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mendaftarkan gugatan sengketa pemilu presiden di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (25/7) malam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mengajukan permohonan perselisihan hasil pemillihan umum (PHPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (25/7) sore. Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin, menilai langkah tersebut tak perlu ditanggapi sinis.

Sebab, pengajuan PHPU ke MK merupakan hal yang biasa. Penyelesaian akhir dari masalah pemilu memang berujung ke MK. 

"Sistem hukum kita memang mendesain demikian. Jadi tidak perlu ditanggapi secara sinis. Menurut saya justru aneh kalau ada peserta pemilu yang ingin taat pada aturan dan ingin berjuang mencari keadilan dengan cara yang dibenarkan hukum malah direspons secara negatif," kata Said saat dihubungi Republika, Sabtu (26/7).

Ia juga yakin, Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) juga akan melakukan langkah serupa jika Prabowo-Hatta yang ditetapkan menang pemilu. Karenanya, siapa yang ke MK, tidak perlu dipertentangkan. 

Justru, lanjutnya, yang perlu dilihat bukan pada pasangan mana yang mengajukan PHPU. Melainkan sejauh mana permohonan tersebut beralasan menurut hukum. 

"Permohonan PHPU ke MK dapat dikatakan beralasan hukum kalau selama proses pemilu ditemukan adanya pelanggaran dan kecurangan yang tidak diprotes oleh penyelenggara pemilu. Padahal ada bukti kuat tentang pelanggaran dan kecurangan itu," jelasnya. 

Said mencontohkan tindakan yang bisa disebut pelanggaran seperti jika ada peraturan yang dilanggar oleh penyelenggara pemilu. Seperti ada rekomendasi Bawaslu tapi tidak ditindaklanjuti KPU. 

Selain itu, ada suara yang diperoleh pasangan calon padahal tidak pernah ada pemungutan suara. Lalu, ada pemilih yang jumlahnya melebihi surat suara, ada kepala daerah yang memobilisasi pemilih dengan memanfaatkan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb). 

Nantinya, MK akan menguji semua dalil hukum dan alat bukti yang diajukan oleh pemohon. Jika berdasarkan fakta persidangan terbukti ada proses pemilu yang inkonstitusional, bisa saja MK menjatuhkan putusan sela yang memerintahkan KPU melakukan pemungutan suara ulang (PSU) atau penghitungan ulang. 

"Tapi kalau pelanggaran dan kecurangan terjadi secara terstruktur, sistematis dan massif, bisa saja MK langsung menjatuhkan putusan dengan mengganti pemenang pilpres 2014. Sebab pesertanya hanya dua pasangan calon," terangnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement