Jumat 25 Jul 2014 14:00 WIB

Mudik Kultural dan Spiritual

Red:

Tradisi mudik Lebaran secara masif hanya ada di Indonesia. Fenomena ini menyimpan dua makna. Pertama, itu tanda bahwa struktur demografi Indonesia yang sedemikian besar dihuni kalangan berumur dan berkemampuan ekonomi menengah juga dalam taraf tertentu menyiratkan belum meratanya kesejahteraan. Dua, bahwa memang watak sosioantropologis manusia Indonesia yang sangat homofestivus; merayakan besar-besaran setiap budaya, menjunjung etos kolektivitas dan kegotong-royongan, mengenang kembali masa lalu, inward looking.

Konon, leluhur kita adalah bangsa perantau. Nenek moyang kita gemar melaut. Catatan historiografi klasik dari Cina menyebut bangsa yang tinggal di selatan sebagai bangsa Kun Lun (bangsa maritim). Orang Minang juga terkenal dengan budaya merantau untuk berdagang. Setidaknya, dulu ada semacam konsesi antarorang Minang bahwa lelaki yang belum berhasil pantang "balik kampung". Orang-orang Maluku sudah ada yang sampai Madagaskar. Perdagangan rempah-rempah, menurut satu versi sejarah, bahkan sudah menyeberang sampai ke daratan Timur Tengah.

Namun, sejauh manapun pergi, barangkali juga sudah jadi watak primordial orang Indonesia untuk ingin kembali. Setinggi-tinggi bangau terbang, jatuhnya ke kubangan juga.

Tenggang rasa

Mudik secara etimologis berarti kembali ke udik, kampung halaman di desa. Kosakata ini cenderung berkonotasi negatif. Istilah ndeso kerap menjadi bahan olokan. Namun, secara terminologis, semestinya ia juga dimaknai positif; mudik adalah kembali ke kultur mula-mula.

Agaknya, modernisme dan globalisme ikut andil dalam mengikis secara perlahan kultur udik. Orang-orang desa yang hijrah ke kota menjadi kaget; urbanisasi berimbas pada cultural-shock. Sayangnya, globalisasi yang lebih mengesankan kemajuan memenangkan gejolak budaya dalam diri orang udik itu. Begitu kembali ke kampung, sebagian dari mereka memamerkan "kesuksesannya".

Gejala inilah yang perlu direnungi lagi. Mudik semestinya juga diniati dengan kembali mengenang dan mengalami akar kultur masing-masing. Sedalam apa pun orang menyelami lautan modernisme dan globalisasi, semestinya ia tidak lupa bahwa ia tetap harus kembali ke daratan tempat akar budayanya berada.

Kemegahan materi yang dibawa pulang, kemewahan perayaan Lebaran di kampung halaman, itu memang boleh. Tidak ada larangan untuk itu. Id bermakna "perayaan". Id al-Fithri (Idul Fitri) bermakna "perayaan berbuka" bahwa ibadah puasa sebulan sudah usai, zakat sudah ditunaikan, maka itu adalah waktu untuk merayakan. Catatan, pada hemat saya memaknai Idul Fitri dengan "kembali ke fitrah", sebagaimana yang umumya dipahami, adalah kurang tepat secara semantik dalam linguistik Arab.

Namun demikian, perayaan itu bukan terus kemudian menafikan rasa tepa-selira (tenggang rasa) dengan tetangga. Salah satu hikmah dari kewajiban zakat fitrah adalah agar mereka yang fakir miskin juga ikut merasa senang dalam perayaan fitri.

Mudik, dengan demikian, juga bisa kita maknai secara spiritual, memperbarui tenggang rasa dengan sesama bahwa ada banyak di luar sana yang bernasib tidak sebaik kita. Ini tradisi yang dimaknai dengan melihat diri ke dalam, inner journey.

Id juga satu derivasi dengan adah (adat), yakni tradisi yang berulang-ulang, rutin, dan diperbarui. Dinamai dengan demikian, salah satu hikmah atau ibrahnya agar tenggang rasa itu juga diperbarui, diingatkan kembali.

Perjalanan sunyi

Dalam tradisi dan perayaan Lebaran itu dianjurkan bertakbir. Takbir adalah manifesto bahwa Allah itu Mahabesar, sementara manusia hanya noktah kecil di alam semesta ini. Di hadapan Tuhan, semua manusia sama kecilnya, yang membedakan adalah kadar takwanya dan jelas bukan seberapa banyak materi yang ia punya.

Takbir semestinya dihayati dengan renungan, bukan hura-hura, bukan dengan berpesta di jalan-jalan yang kadang tidak relevan sama sekali dengan takbir yang diucapkan. Mudik bisa kita maknai sebagai perjalanan spiritual itu. Selain kembali ke akar kultural, juga kembali ke akar spiritual.

Lebaran juga menjadi media saling bermaafan. Memaafkan adalah bentuk pelepasan dendam dari ruang-ruang hati, dari fakultas-fakultas rohani dalam diri. Menurut uthak-athik-mathuk orang Jawa, Lebaran itu 3L, lebar pasane, lebur dosane, luber ganjarane (usai puasanya, lebur dosanya, jadilah berlipat-lipat pahalanya).

Lebaran di Indonesia penuh dengan tradisi. Di satu sisi tradisi itu menyiratkan gairah besar dari masyarakat pada setiap momen keagamaan semarak yang mungkin tidak kita jumpai di negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya. Sebagai tradisi, kadang ia terjerat keluar dari esensi spiritualitasnya. Kadang, ia tak jauh beda dengan festival layaknya pesta, semata untuk kesenangan dan hiburan. Dengan pemaknaan sebagaimana dipaparkan di atas, mudik sebenarnya adalah perjalanan sunyi.

Azis Anwar Fachrudin

Pengajar di Ponpes Nurul Ummah, Yogyakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement