Kamis 24 Jul 2014 17:32 WIB

Pengamat: Pidato Kemenangan Jokowi Sederhana tapi Sangat Ideologis

Rep: c87/ Red: Bilal Ramadhan
Presiden RI Joko Widodo dan wakil Presiden RI Jusuf Kalla saat berpidato kemenangan di atas kapal di Pelabuhan Sunda kelapa, Jakarta, Selasa (22/7) malam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat Politik dari Universitas Airlangga, Haryadi, menilai isi pidato kemenangan Joko Widodo (Jokowi) sangat ideologis meskipun disampaikan dalam bahasa yang sederhana. Jokowi membacakan pidato kemenangan di atas kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan Jokowi sebagai Pemenang Pilpres 2014 Selasa (22/7) malam.

Haryadi mengatakan pidato kemenangan Jokowi adalah ajakan untuk kembali ke kehidupan keseharian dan mencoba lebih baik. Dalam artian sebelumnya dalam proses pemungutan suara masyarakat Indonesia masing-masing punya sikap dan pilihan politik pribadi, tapi itu semua sudah selesai.

Menurut Dosen Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair tersebut, meskipun sederhana, isi pidato Jokowi sarat ideologis. Jokowi mencoba mengedepankan Pancasila sebagai ideologi tapi dalam bahasa yang sederhana.

“Jokowi mengajak untuk mengokohkan ikatan kesatuan sesama elemen bangsa. Kata kuncinya salam tiga jari yang merupakan implikasi sila ketiga Pancasila yakni Persatuan Indonesia yang menjadi inti pidato itu,” kata Haryadi saat dihubungi Republika, Kamis (24/7).

Dalam pidato itu, Jokowi juga menyebutkan trisakti Bung Karno yakni mewujudkan Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara kebudayaan. Haryadi mengatakan Jokowi mencoba mengkontekstualisasikan dengan kehidupan sekarang sebagai titik tekan yang dikemas dalam bingkai Pancasila.

Jokowi, kata Haryadi, ingin menunjukkan kesatuan NKRI yang berdaulat secara politik. Kata berdikari secara ekonomi diartikan sebagai kemandirian tapi bukan berarti anti investasi asing. Sebagai bangsa yang berdaulat, Indonesia tidak ingin didikte oleh bangsa asing. Modal, investasi dan interaksi dengan luar negeri tetap diperlukan.

“Berkepribadian secara kebudayaan, kita jangan hanya terjebak dalam diasfora kultural dalam budaya-budaya global yang itu sering menjauhkan kita dengan karakter bangsa. Tapi kita yang memberi warna pada budaya global,” imbuhnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement