Senin 21 Jul 2014 13:30 WIB

Menjaga Hak dan Kewajiban

Red:

Selama periode dinasti Islam hingga abad 20, kelompok non-Muslim tetap dijamin hak sipilnya sebagai warga negara di bawah pemerintahan Muslim. Mereka juga diperkenankan menjalankan keyakinan beragama dalam komunitasnya, bahkan pemimpin Islam tak segan menggunakan kemampuan mereka di berbagai bidang demi kemajuan dan kemakmuran bersama.

Sistem yang tidak jauh berbeda terhadap kelompok minoritas juga diterapkan empat khalifah selama sekira 28 tahun kepemimpinan mereka. Selama masa ekspansi Islam ke berbagai wilayah, pasukan Muslim dilarang merusak rumah ibadah dan mengganggu ibadah penganut agama lain yang tidak melakukan perlawanan.

Perlakuan hukum terhadap semua suku bangsa dan agama juga sama. Pajak jizyah juga diberlakukan bagi warga non-Muslim yang tinggal di negara Islam. Sementara, umat Islam tetap diberi tanggung jawab zakat. Wanita yang dianggap masyarakat kelas dua, juga diperhatikan haknya di berbagai aspek.

Firas Alkhateeb dalam "Jerusalem and Umar ibn al-Khattab" mengungkapkan pada 637 M saat masa pemerintahan Umar bin Khattab, Yerusalem berhasil ditaklukkan. Petinggi Kristen di sana, Sophronius, meminta jaminan Umar atas keberlangsungan ibadah mereka.

Umar memberikan jaminannya dan tetap mewajibkan pajak. Semua dimuat dalam sebuah kesepakatan yang ditandatangani Umar, Sophronius, dan beberapa saksi.

Pada masa Dinasti Umayyah (661-750 M), wilayah Islam semakin luas ke Persia dan India. Kelompok dzimmah pun tak lagi hanya Yahudi dan Kristen, tapi juga Zoroastrian di Persia dan penganut Hindu di India. Mereka dibebankan pajak dengan proteksi atas kebebasan menjalankan ibadah mereka.

Mekanisme ini efektif membangun hubungan yang harmonis antara berbagai kelompok di bawah kepimpinan dinasti Islam. Terlebih, Persia dan India. Kedua negara itu sebelumnya dipimpin raja yang membebankan kewajiban yang lebih berat.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah menulis sebuah surat kepada gubernur wilayah pemerintahannya untuk bersikap baik kepada non-Muslim dan non-Arab selama mereka juga bisa bekerja sama dengan pemerintahan.

Orang-orang non-Arab yang baru menjadi Muslim juga dibebaskan dari jizyah dan ditempatkan sebagai penjembatan antara Muslim Arab dan non-Muslim non-Arab.

Demikian pula ketika Dinasti Abbasiyah (750-1258 M) berkuasa. Interaksi Muslim dengan non-Muslim dinamis. Dalam buku mereka World Civilizations, Philip Adler dan Randall  Pouwels menulis, transaksi bisnis, pertukaran budaya, serta ilmu pengetahuan tetap terjadi tanpa larangan yang ketat, terutama wilayah non-Arab, seperti Andalusia. Kelompok budak tetap mendapat perlindungan atas hak-hak mereka.

Mereka yang termasuk dzimmah (penganut Kristen, Yahudi, dan Zoroastrian) dapat menjalankan ibadah mereka dengan tenang di tempat ibadah mereka dan mereka diperbolehkan memilih kepala komunitas. Kondisi dzimmah pada masa itu, tulis Adler dan Pouwels, lebih baik dibanding kondisi Muslim dan Yahudi yang berada di bawah pemimpin Kristen pada abad-abad setelahnya.

Menurut Firas Alkhateeb dalam "Non-Muslim Rights in the Ottoman Empire", tak sedikit pemeluk Kristen yang hidup pada masa pemerintahan Islam di bawah Dinasti Turki Usmani (1300-1922 M). Terutama, setelah penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Mahmud II pada 1453 M.

Sistem komunitas agama terorganisasi atau millet akhirnya dirumuskan. Setiap agama memiliki satu millet dengan satu pemimpin. Setiap millet diperbolehkan menerapkan hukum agama mereka karena pada masa itu hukum syariah Islam tidak diberlakukan bagi non-Muslim.

Sistem millet ini juga memungkinkan tiap agama menggunakan bahasa yang menunjang peribadatan mereka. Institusi lain di luar ibadah, seperti sekolah, juga diperbolehkan untuk dibangun. Melalui sistem ini, masyarakat dari berbagai suku bangsa, etnik, budaya, dan agama bisa hidup dengan lebih leluasa.

Dalam Pemerintahan Turki Usmani, tidak hanya pejabat berdarah Turki yang ada berperan di pemerintahan, tapi juga orang-orang Yunani, Bosnia, Arab, dan Persia. Sayangnya, sistem ini dihapuskan saat Dinasti Turki Usmani mulai memerintah dengan sistem sekuler mendekati akhir 1700-an.

Pada masa Sultan Suleyman (1520-1566 M), sistem pajak tetap diberlakukan bagi non-Muslim. Besaran pajak yang lebih rendah dari pajak yang diterapkan pemerintahan Kristen di Eropa membuat penganut Kristen banyak yang bermigrasi ke wilayah pemerintahan Islam.

Pada masa kepemimpinan salah satu raja Dinasti Mughal di India, Aurangzeb Alamgir (1658-1707 M), yang dipandang intoleran terhadap Hindu dan Sikh, mempekerjakan penganut Hindu dan Sikh di pemerintahan dan militernya. Jumlah mereka bahkan lebih banyak dari yang dipekerjakan raja sebelum Aurangzeb. Sebagai raja, Aurangzeb tidak menutup mata atas potensi yang bisa diberikan penganut agama lain bagi kepentingan bersama negara yang dipimpinnya.

Pada 1659, secara langsung ia menuliskan larangan penghancuran rumah candi dan kuil. Sejak awal menjadi raja, ia berkomitmen mengembalikan syariat Islam sebagai landasan pemerintahannya. Ia memang pernah menghancurkan kuil, tetapi itu beralasan karena tempat ibadah menjadi pusat kegiatan politik, seperti penggunaan kuil untuk pembunuhan berencana pemimpin Muslim di Mathura pada 1670.ed: nashih nashrullah. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement