Ahad 20 Jul 2014 11:17 WIB

Pengamat: Hak Pilih Tak Bisa Digunakan Disembarang TPS

Rep: Muhammad Akbar Wijaya/ Red: Hazliansyah
Suasana Pemungutan Suara Ulang (PSU) pemilihan presiden di TPS 03 Kelurahan Pinang Jaya, Kecamatan Kemiling, kota Bandar Lampung, Selasa (15/7).(Mursalin Yasland/Republika).
Foto: Mursalin Yasland/Republika
Suasana Pemungutan Suara Ulang (PSU) pemilihan presiden di TPS 03 Kelurahan Pinang Jaya, Kecamatan Kemiling, kota Bandar Lampung, Selasa (15/7).(Mursalin Yasland/Republika).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap warga negara yang memiliki hak pilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya disembarang tempat pemungutan suara (TPS). Para pemilih terikat peraturan administratif yang wajib diikuti agar pemilu berjalan tertib dan teratur.

"Ini bukan soal pembatasan hak memilih kepada warga negara, tetapi ini soal pemenuhan syarat administratif yang harus dipenuhi oleh pemilih," kata Pengamat pemilu dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (SIGMA), Said Salahudin dalam pesan tertulis kepada Republika saat menanggapi pemungutan suara ulang (PSU) di DKI Jakarta, Ahad (21/7).

Said mendukung langkah KPU DKI Jakarta melakukan PSU. Pasalnya Bawaslu menilai ada banyak temuan pelanggaran administratif yang terjadi di TPS saat pemilihan presiden (pilpres) berlangsung. Pelanggaran itu misalnya terkait pemilih tambahan atau pemilih yang berpindah TPS tanpa bisa menunjukan formulir A5 yang asli.

"Sebab, dalam formulir itu tidak ada cap atau stempel dari PPS yang menerbitkannya," ujar Said.

Persoalan lain ada pemilih yang mencoblos hanya bermodalkan KTP. Padahal, kata Said, pemilih itu bukan warga yang berdomisili di TPS tersebut dan bahkan ada yang ber-KTP dari luar DKI Jakarta. Lebih parahnya lagi, bukti identitas dari para pemilih yang tidak jelas asal-usulnya itu tidak dimiliki oleh KPPS.

KPPS sama sekali tidak menyimpan foto copy KTP dari para pemilih misterius itu. Bahkan sekadar daftar nama-nama pemilih tersebut pun tidak ada datanya. "Pelanggaran-pelanggaran itu dinilai oleh Bawaslu telah mencederai prinsip-prinsip penyelenggaraan pilpres yang demokratis," kata Said.

Said membenarkan pemilih yang tidak terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT) bisa menggunakan hak pilihnya. Namun ini tidak berarti mereka bisa menggunakan hak pilih disembarang tempat. Pemilih hanya bisa menggunakan hak pilihnya di TPS yang sesuai dengan alamat domisili di KTP.

"Prinsipnya, setiap warga negara yang sudah berusia 17 tahun atau sudah kawin boleh memilih. Tetapi prosedur hukum juga harus ditaati," ujar Said

Said menjelaskan aturan formil bahwa pemilih hanya bisa menggunakan haknya di tempat domisili sangat penting. Aturan ini bertujuan meminimalisir potensi pemilih ganda, mobilisasi pemilih, dan tidak terjadi kekurangan surat suara di TPS. Pemilih yang tidak mengindahkan aturan formil memilih akan menciptakan ketidakteraturan pemilu.

"Jadi, menurut saya sudah benar rekomendasi Bawaslu DKI Jakarta itu. Di beberapa daerah lain pun kasus serupa terjadi dan berujung dengan digelarnya PSU," katanya.

Sabtu (20/7) KPU DKI Jakarta menggelar pemungutan suara ulang (PSU) di 13 TPS di Jakarta. Ketua KPU DKI Jakarta, Sumarno dalam rilis di laman resmi KPU menyatakan PSU digelar karena diduga ada pelanggaran terhadap Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2014 pasal 11 terkait dengan pemberian hak pilih kepada pemilih yang tidak memenuhi syarat administrasi yakni pengguna KTP daerah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement