Jumat 18 Jul 2014 12:00 WIB

Keberpihakan Survei Berujung Perpecahan

Red:

Perdebatan hasil quick count tak hanya mengundang polemik menyangkut lembaga survei, tetapi melibatkan pihak asosiasi lembaga survei. Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), wadah lembaga survei yang berpihak pada kubu pasangan nomor urut dua Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK), menjawab opini miring yang dialamatkan kepada mereka.

Ketua Dewan Etik Persepi Hamdi Muluk menjelaskan, Persepi merupakan himpunan sukarela yang digagas para pelaku survei opini publik. "Saya sebenarnya orang luar, saya diminta bergabung ke dalam dewan etik karena mungkin dianggap punya keilmuan metodologi riset dan statistik," kata Hamdi dalam seminar bertajuk "Quick Count, Etika Lembaga Riset, dan Tanggung Jawab Ilmuwan", di Kampus Universitas Paramadina, Kamis (17/7).

Dalam jajaran Dewan Etik Persepi, menurut Hamdi, memang ada unsur pimpinan lembaga survei, seperti Saiful Mujani (Saiful Mujani Research and Consulting) dan Andrinov Chaniago (CSIS-Cyrus). Namun, menurut Hamdi, ketika lembaga milik anggota dewan etik tersebut disidangkan, mereka dinonaktifkan dan digantikan unsur baru yang netral.

Soal mekanisme audit, Hamdi mendengar banyak yang mencurigai pihaknya. Padahal, menurut Hamdi, audit terhadap lembaga survei itu sederhana. "Quick count ini di-manage secara profesional, maka dari itu bisa kita audit. Proses quick count meninggalkan jejak yang tidak bisa dihapus. Kalau data masuk melalui sms, tinggal diperiksa nomor mana yang mengirim, bagaimana datanya," ujar dia.

Dalam kesempatan tersebut, Hamdi menegaskan, Persepi mengeluarkan dua anggotanya yang tidak ingin diaudit, yakni Jaringan Suara Indonesia (JSI) dan Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis). Hamdi menjelaskan, Puskaptis menolak hadir dengan alasan menunggu keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Juli. Sedangkan, kata Hamdi, JSI datang, tapi hanya menyerahkan surat pengunduran diri.

Hamdi mengatakan, awalnya ia mencoba lembut menyikapi kedua lembaga ini. Meski pada akhirnya harus keras hingga mengeluarkan mereka dari Persepi. Menurut dia, dugaan paling logis, keduanya tak melakukan survei hasil pilpres. "Untuk hal sederhana saja, yakni memenuhi panggilan, lalu paparkan data dan jelaskan bagaimana prosesnya, mereka tak datang. Mereka diduga tak melakukan survei karena tidak punya datanya," kata Hamdi.

Kalau mereka mengklaim memiliki data hasil survei, kata dia, Dewan Etik Persepi meminta satu hal, yakni tunjukkan dan jelaskan.

Direktur Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) Husin Yazid mengatakan, tidak mempermasalahkan dikeluarkannya Puskaptis dari keanggotaan Persepi. "Nggak masalah dikeluarkan, Persepi itu kan ilegal," ujar Yazid.

Ia menjelaskan, Persepi merupakan lembaga yang belum memiliki badan hukum yang jelas sehingga Persepi dikatakan lembaga yang tidak resmi. Ia mengaku alasan ini juga yang membuat Puskaptis menolak untuk diaudit Persepi. "Persepi tidak memiliki notaris," katanya.

Ia menambahkan, Puskaptis hanya bersedia diaudit KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu. "Kita hanya ingin diaudit KPU saja," katanya.

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanudin Muhtadi menilai seharusnya penghitungan cepat lembaga survei memberikan kontrol pada proses rekapitulasi KPU, bukannya terbalik. Menurut dia, apa yang dikatakan JSI dan Puskaptis bahwa hasil quick count harus menunggu putusan KPU adalah hal keliru.

Sebab, keberadaan mereka sebagai lembaga survei dapat membantu mengawal proses demokrasi ini. Sayangnya, baik JSI dan Puskaptis menyerahkan hasil pilpres ini kepada KPU yang dinilai rawan penyimpangan pada tingkatan bawahnya. "Jokowi-JK hanya punya saksi di TPS 83 persen, sedangkan Prabowo-Hatta 89 persen. Itu hanya TPS, bagaimana tingkatan atas? Di sanalah peran lembaga survei melalui quick count," ujar dia.

Selain itu, antarlembaga survei seharusnya tidak memiliki selisih perolehan hasil suara yang jauh kecuali sebatas margin eror. Siapa pun penyandang dana lembaga tersebut, mereka berani menampilkan data dengan konsekuensi apa pun nantinya. "Misalkan Prabowo-Hatta yang unggul, saya akan katakan. Meskipun penyandang dana mengancam tak akan melunasi pembayarannya," kata dia. rep: andi muhammad ikhbal/c54/c83 ed: muhammad fakhruddin

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement