Selasa 15 Jul 2014 12:00 WIB

Ratna Somantri Angkat Pamor Teh

Red:

Akrab dengan teh sejak kecil membuat Ratna Somantri bertekad mengangkat derajat minum an menyehatkan ini. Sebagai lang kah awal, perempuan kelahiran 3 November 1978 ini pun membentuk Komunitas Pecinta Teh pada 2007. Komunitas Pecinta Teh memiliki lebih dari 600 anggota ini bertujuan berbagi pengetahuan dan wawasan lebih luas tentang teh. Tak hanya itu, komunitas yang dibentuk secara online ini pun kerap berkunjung ke berbagai kebun dan pabrik teh.

Selain membentuk komunitas, Ratna yang menjabat sebagai Ketua Dewan Teh Indonesia periode 2014-2017 ini hendak mendirikan Tea Institute. "Ini bisa dijadikan tempat masyarakat awam yang ingin mempelajari teh," ujarnya. Rencananya, kelas Tea Institute juga diperuntukan bagi pelaku industri teh.

Kelas tersebut akan digilir di beberapa lokasi, namun Ratna berharap nantinya Tea Institute bisa memiliki gedung sendiri dan dapat berdiri layaknya sekolah perhotelan. Tekad Ratna yang keturunan Sunda dan Tionghoa ini untuk mengangkat pamor teh patut diapresiasi. Ia ingin mempromosikan teh produksi Indonesia di pasar internasional. "Saya ingin maskapai penerbangan dan perusaha anperusahaan besar di Tanah Air tidak menggunakan teh impor, melainkan teh lokal dalam setiap jamuan guna mendorong majunya industri teh dalam negeri," harapnya.

Pengetahuannya yang luas mengenai teh membuat Ratna sering dipanggil menjadi pembicara di ajang kuliner ataupun bincang-bincang di berbagai media. Dalam kesempatan tersebut, ia menyampaikan aneka informasi tentang teh mulai dari seluk-beluk teh dari Indonesia hingga cara penyajian dan penyimpanan teh yang benar. Lewat bukunya berjudul Kisah dan Khasiat Teh, Ratna membeberkan segudang manfaat teh bagi tubuh.

Menurut Ratna, di Indonesia pamor teh belum setara dengan kopi yang saat ini sudah menjadi gaya hidup. Padahal daun teh yang dihasilkan Indonesia sudah bagus. "Tetapi memang penyajian dan penyimpanannya saja yang belum tepat sehingga hasil seduhannya kurang nikmat," kata dia. Kondisi tersebut membuat Ratna miris mengingat Indonesia adalah negara terbesar penghasil teh terbaik di dunia. Ratna mengenal teh dari sang ibunda sejak tinggal di Cirebon, Jawa Barat. Meski bukan seorang ahli teh, namun penyajian teh sang bunda selalu nikmat sehingga kegiatan minum teh pun menjadi agenda rutin di keluarganya.

Saat mengambil kelas pastry di Sydney, Australia, pada 2005 Ratna tak sengaja mampir ke sebuah kafe bernama Tea Centre yang menyediakan 500 teh yang tak ada di Indonesia. Dari sana ia semakin tertarik mempelajari teh lebih jauh lagi. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sepulangnya ke Indonesia, ada rekan yang mengajaknya berbisnis kafe yang khusus menyediakan teh. Sayangnya, bisnis tersebut tak berlangsung lama. Meski begitu, kecintaan Ratna pada teh tidak luntur. Hal ini terbukti dari pemilihan negara tempatnya menghabiskan waktu berlibur. "Saya memilih berlibur ke negara-negara penghasil teh seperti Cina, Taiwan, Korea, Hong Kong, dan Jepang supaya bisa sekalian menikmati dan mempelajari tehnya," ujarnya. 

Bukan Sekadar Minuman

Bagi Ratna, teh bukan hanya sekadar minuman pemuas selera. Teh sudah menjadi bagian hidup. Teh berperan dalam menciptakan perasaan bahagia dan rileks dalam kesehariannya. Dia mengatakan minum teh dengan cara benar mampu membuat tubuh, pikiran, dan jiwa menjadi rileks. "Bagi saya, teh sangat spesial. Hanya dengan meracik dan mencium aromanya sudah membuat saya rileks," ujarnya.

Ratna ingin menularkan kecintaannya terhadap teh kepada banyak orang, khususnya generasi muda. Ia tak ingin justru negara lain yang lebih menghargai bahan baku teh di Indonesia. Ia pun mengajak semua lapisan masyarakat tak hanya menjadikan minum teh sebagai kebiasaan di pagi atau sore hari, tetapi sebagai minuman berkelas yang merupakan warisan budaya bangsa. "Mari cintai teh asli Indonesia yang kualitasnya tak kalah dengan teh dari Cina," kata dia.

Mengajak masyarakat mencintai teh bukanlah hal mudah, apalagi bagi seorang perempuan. Pasalnya bidang ini lebih banyak digeluti kaum pria, baik itu pemilik kebun teh hingga pelaku industri teh. Namun bukan berarti perempuan tak punya kesempatan melakukannya. Ia menganggapnya sebagai tantangan. "Kalau punya kemampuan, laki-laki atau perempuan punya kesempatan sama," ucapnya.

Ratna berpendapat komitmen dan semangat untuk terus mempelajari teh yang notabene telah ada sejak 5.000 tahun lalu jauh lebih penting ketimbang gender. Ia merasa beruntung keluarga mendukung aktivitasnya tersebut. Sang suami tidak melarang asal Ratna tidak melupakan tugas utamanya mengurus rumah tangga. Ratna menganggap kegiatannya di dunia teh tidak dapat diukur dengan kepuasan materi. "Soalnya ini bukan murni bisnis yang merupakan sumber uang tetapi lebih banyak ke sosialisasi," kata dia.

Meski namanya sudah dikenal di dunia teh Tanah Air, namun Ratna enggan disebut sebagai Master Teh. Pasalnya Master Teh adalah orang yang serba bisa dalam dunia teh, termasuk memproduksinya. Sementara Ratna sendiri belum mampu memproduksi teh sendiri sehingga dirinya merasa belum pantas menyandang gelar tersebut. Ia lebih suka dijuluki pencicip teh dan spesialis teh karena tahu cara menyeduh, memadukan rasa yang enak, tahu mana kualitas teh yang bagus serta bisa menyajikannya dengan benar. Pekerjaan ini, kata Ratna hampir tidak ada yang menggeluti karena kurangnya publikasi. "Yang ada hanya yang bekerja di pabrik teh sebagai tea tester," ujarnya. Menjadi spesialis teh merupakan peluang bisnis besar, apalagi potensi industri teh ke depannya cukup menjanjikan dan akan bersaing dengan industri kopi. Ini terlihat dari kemasan teh siap minum yang mulai marak bermunculan di Indonesia.rep:qommarria rostanti ed: reiny dwinanda

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement