Senin 14 Jul 2014 17:21 WIB

Akademisi UGM: Real Count Manipulatif Pembodohan Publik

Perhitungan Suara
Foto: Republika/Prayogi
Perhitungan Suara

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Gajah Mada (UGM) Ari Dwipayana mempertanyakan real count (hitung manual) yang dirilis kubu pasangan calon nomor urut satu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Pasalnya, kata dia, beberapa jam setelah pemungutan suara berakhir, ketika publik membadingkan hasil hitung cepat, tim Prabowo-Hatta mengeluarkan rilis  hasil real count.

Menurutnya, pusat tabulasi tim Prabowo-Hatta mengklaim sudah mengumpulkan data 60 persen dari total pemilih dengan konfigurasi suara: Prabowo-Hatta meraih 51,67 persen, dan Jokowi-JK 48,33 persen suara (versi berbeda ada sebutkan 52,04 persen sedangkan Jokowi-JK meraih 47,96 persen). Tim Prabowo Hatta juga mengklaim  bahwa jika 60 persen data terkumpul maka raihan suara tidak akan berubah.

Sedangkan, kata dia, Berbeda dengan data real count dari kubu Prabowo-Hatta, Tim Pemenangan Jokowi-JK juga mengeluarkan data real count dengan hasil yang berbeda, di mana Jokowi-JK meraih 53,4 persen dan Prabowo-Hatta 46,76 persen. "Dengan demikian seperti halnya quick count, real countpun punya versi yang terbelah," kata Ari dalam keterangan tertulisnya, Senin (14/7).

Strategi setiap kandidat untuk tampilkan real count versi internal, kata dia, tentu wajar saja untuk menjadi pembanding dan sekaligus kontrol atas real count yg sedang dilakukan oleh KPU. Namun, lanjut dia, yang jadi masalah adalah bagaimana cara untuk lakukan real count? Dan seberapa "real" real count yang sudah diliris? "Hal ini penting untuk dikritisi karena muncul kejanggalan real count yang ditampilkan Tim Prabowo-Hatta yang menunjukkan real count itu sama dengan hasil prediksi PKS pada tanggal 5 Juli 2014, empat hari menjelang pemungutan suara," katanya.

Real count, ujar dia, seharusnya menggambarkan pergerakan rekapitulasi suara yang dikumpulkan oleh masing-masing kandidat. Pada saat ini, sampai tanggal 15 juli proses rekapitulasi suara baru dilakukan di level kecamatan. "Itu artinya proses rekapitulasi nasional memerlukan kehandalan untuk memobilisasi hasil suara per TPS secara cepat," ujarnya.  

Menurutnya, merilis data real count yang tidak berbasis data faktual dan cenderung manipulatif dengan mengambil dari data prediksi sebelum pemungutan suara boleh disebutkan sebagai kebohongan publik dan sekaligus pembodohan publik. "Cara-cara seperti ini jelas keluar dari etika politik dan kehendak mmebangun budaya demokrasi yang sehat," kata Ari.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement